Mohon tunggu...
Riki Hifni
Riki Hifni Mohon Tunggu... Freelancer - Seseorang yang mengagumi kata-kata

Lahir di Pasuruan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Cacatnya Politik Kampus: Menerka Ulang Definisi Kampus Sebagai Miniatur Negara

7 Oktober 2023   15:20 Diperbarui: 7 Oktober 2023   15:28 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Semenjak saya masih berstatus sebagai mahasiswa baru, saya berulang kali mendengar ucapan baik dari kakak tingkat, dosen, maupun teman seperjuangan, bahwa kampus adalah miniatur sebuah negara. Simpelnya seperti ini; jika kalian ingin melihat sebuah konsep negara, maka kalian cukup melihat dan menganalisis sebuah universitas atau kampus. Saya dulu sempat mengamini apa yang mereka ucapkan, tetapi kini saya malah merasa muak ketika ucapan tersebut diucapkan.

Di antara hal yang membuat saya muak adalah apa yang mereka ucapkan itu nyatanya tidak sesuai dengan realita yang ada. Bukan bermaksud untuk menggeneralisir, bahwa yang mereka katakan ada (sedikit) benarnya juga. Namun, saya meyakini bahwa apa yang mereka katakana lebih banyak yang nggak sesuai dengan kenyataan.

Ketika kampus dikatakan sebagai miniatur negara, hendaknya mahasiswa sebagai aktor dapat bekerja secara profesional selayaknya mereka yang menyandang status sebagai wakil rakyat. Itu seharusnya. Realitanya, mereka bekerja seadanya dan sama sekali nggak mencerminkan wakil mahasiswa.

Hal yang pertama kali saya amati adalah urgensi kedudukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) maupun DEMA. Kedua nomenklatur tersebut merujuk pada organisasi yang sama, ya cuma beda penyebutan. Pertanyaan saya adalah, apa sih urgensi BEM?

Jika kita lihat dari segi hakikat, BEM sendiri adalah wakil mahasiswa. Yang saya pertanyakan adalah yang mereka wakili itu mahasiswa yang mana? Bukankah mereka itu mewakili kelompok mereka sendiri?

Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah kinerja BEM itu sendiri. Hanya sedikit BEM yang bersedia mewakili keprihatinan mahasiswa yang mereka pimpin. Sebagai contoh, kinerja BEM umumnya terbatas pada diskusi, pertemuan dengan pihak berwenang, dan demonstrasi. Namun, jika kita melihatnya secara proporsional, hanya sebagian kecil pengurus yang benar-benar aktif terlibat dalam kegiatan tersebut. Pertanyaannya adalah, di mana peran aktif pengurus lainnya?

Masalah lain adalah terkait dengan jabatan mereka. Sebutan "presiden mahasiswa" mungkin tidak selaras dengan tugas dan tanggung jawab yang mereka emban. Ini hanya sebagian dari berbagai keresahan, belum lagi masalah pertanggungjawaban, program kerja, maupun pengelolaan dana yang ngawur dari mereka.

Kepentingan Kelompok yang Mendominasi 

Seperti yang sudah saya paparkan di atas, bahwa faktanya BEM saat ini memang "sedang" masuk pada fase yang problematik. Salah satu problematika yang membuat saya geleng-geleng kepala adalah kepentingan kelompok yang sangat disakralkan/ Para pengurus BEM yang notabene adalah perwakilan mahasiswa, justru nyatanya tidak mewakili itu. Mereka hanya mewakili golongan mereka sendiri.

Kita bisa mulai dari proses pemilihan anggota. Tak jarang saat proses pemilihan terjadi saling sikut antara satu dan anggota kelompok lain. Bahkan aksi saling sikut ini seringkali diikuti dengan tindakan yang tidak sehat. Entah pengaturan suara, kecurangan saat proses perhitungan, atau bahkan aksi lain yang memperparah ketidaksehatan proses demokrasinya.

Tidak sampai disitu saja, hal tersebut masih berlanjut sampai pada proses rekrutmen anggota. Di sini akan semakin tampak adanya "wakaf" politik. Mereka hanya akan menerima mahasiswa yang mempunyai pemikiran yang sama dan satu golongan dengan mereka, alias berasal dari ORMEK yang sama. Dengan kata lain, mereka yang berbeda golongan sudah pasti tidak akan diterima atau tersingkir. Kalau sudah seperti ini, bolehkan kita, eh saya mempertanyakan kinerjanya?

Partisipasi Mahasiswa yang Minim 

Dalam proses demokrasi, partisipasi pemilih menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebab, partisipasi pemilih kita dapat menilai seberapa besar animo pemilih dalam pesta demokrasi. Dalam pemilihan umum misalnya, ada target suara yang telah disepakati bersama agar pemilu bisa dikatakan sah.

Hal ini berbeda dengan yang ada di (beberapa) kampus. Hanya beberapa saja yang menerapkan kuorum dalam proses pemilihan. Sehingga yang menang, ya itu yang jadi. Bahkan seringkali menemui calon tunggal. Ya sudah pasti jadi kalau itu.

Dilema Pers Mahasiswa 

Pers adalah salah satu pilar keempat dalam demokrasi, dan memiliki peran penting dalam memastikan terwujudnya demokrasi yang baik, selain tiga pilar dalam prinsip trias politica. Fungsi pers adalah untuk mengawasi kebijakan yang diambil oleh elemen pemerintahan, dan hal yang sama berlaku untuk pers mahasiswa, yang bertugas mengawasi kebijakan dalam konteks ORMAWA dan administrasi kampus.

Namun, pers mahasiswa menghadapi dilema dalam menjalankan perannya sebagai pengawas kebijakan. Mereka sering kali menghadapi berbagai masalah dan bahkan tindakan represi atau kekerasan, yang bahkan justru banyak terjadi dari sesama mahasiswa itu sendiri.

Akibatnya, banyak anggota pers mahasiswa memilih untuk berada dalam zona yang nyaman untuk menghindari potensi konflik yang tidak diinginkan. Mereka cenderung tetap diam menghadapi berbagai ketidakwajaran yang muncul. Alasannya adalah karena mereka enggan terlibat dalam konflik dan merasa mungkin tidak ada dukungan dari rekan-rekan mereka jika mereka mengalami represi. Ini adalah masalah yang menimbulkan dilema.

Ya itulah tadi beberapa problematika yang membuat politik miniatur negara saya nilai "cacat" dan perlu dicari dan dibenahi bersama akar permasalahannya. Tentunya, penilaian cacat ini hanya menurut pengamatan saya pribadi sebagai mahasiswa dan pengamat politik kampus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun