Sore itu, Ia termenung dalam diam di teras depan rumahnya. Ia masih terheran-heran tak mengerti bagaimana bisa orang-orang memiliki pandangan antap terhadap mimpi dan cita-citanya itu.Â
Pandangan aneh nan tajam, seolah-olah ia adalah gadis kecil yang mempunyai impian untuk sukses (dengan caranya sendiri) namun jauh dari norma-norma yang dianut oleh masyarakat sekitar.Â
Sekilas, hal itu nampak klise mengingat sudah banyak manusia-manusia di dunia ini baik lelaki maupun perempuan yang bebas mengejar apapun cita-cita mereka. Namun, berbeda dengan nasib gadis berambut hitam panjang agak kecoklatan ini.
Namanya adalah Sabrina. Gadis remaja dengan bola mata indah serta rambut hitam panjang agak kecoklatan itu sontak membuat Bu Lastri terkejut, sekaligus teman-teman sekelasnya. Bukan tanpa alasan, pasalnya, ketika ia ditanya apa mimpinya kelak ketika dewasa nanti oleh gurunya tersebut, dengan tegas dan tanpa pikir panjang Sabrina menjawab keinginannya untuk menjadi pemain sepak bola.
Aneh bukan? Semua orang tau bahwa menjadi pemain sepak bola seharusnya diperuntukkan bagi kaum adam, dan memang seyogyanya begitu. Namun, hal semacam itu tidak berlaku bagi gadis kecil seperti Sabrina. Sedari kecil, Sabrina sudah menunjukkan bakatnya sebagai pemain bola.Â
Ia sering ikut bermain bola bersama teman-teman sebayanya di lapangan samping tempatnya tinggal. Meskipun wanita, teknik permainannya tidak bisa di remehkan, sudah setara rekan-rekannya yang notabene laki-laki.Â
Ditambah lagi lingkungan keluarga yang juga sangat dekat dengan dunia sepak bola. Ia terlahir di lingkungan pecinta sepak bola. Meskipun bukan pemain profesional, keluarga Sabrina adalah penggila bola yang fanatik. Ayahnya adalah seorang fans Liverpool, sedangkan kakak laki-lakinya merupakan penggemar berat Manchester United.
Kedua klub tersebut adalah rival abadi. Saat kedua klub sedang berhadapan, ayah dan kakak laki-lakinya menonton dengan seru disertai sorakan-sorakan kegembiraan ketika salah satu pemain mencetak gol.Â
Sabrina pun ikut tenggelam larut dalam suasana yang mungkin terkadang menyebalkan karena suara jeritan yang menggaggu seisi rumah, akan tetapi juga penuh dengan kebahagiaan itu dalam keluarganya. Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi Sabrina dalam tumbuh kembangnya sebagai gadis yang lincah.Â
Barangkali dengan menjadi pemain bola akan membuat Ayah dan kakak laki-lakinya itu merasa bangga, pikir Sabrina dengan polosnya. Hari demi hari Sabrina habiskan lebih banyak waktu dengan berlatih bermain bola bersama teman-teman laki-lakinya di lapangan komplek.
Sabrina adalah satu-satunya gadis yang memiliki hasrat untuk menjadi pemain bola. Harus diakui, bukan hanya impian saja, kemampuan Sabrina dalam bermain bola juga sangat bagus. Bahkan, kemampuannya justru berada diatas teman-teman sebayanya yang kerap bermain bola dengannya itu.Â
Sampai kadang-kadang teman-teman laki-lakinya itu melarang Sabrina untuk ikutan bermain sepak bola bersama, hal ini tentu membuat Sabrina bersedih sepanjang hari. Akan tetapi Sabrina tidak berputus asa, ia tetap merengek untuk ikut bermain sepak bola, walaupun sekedar menjadi penjaga gawang.Â
Namun, orang-orang di sekitarnya menganggap Sabrina sebagai gadis yang aneh, di saat teman-teman perempuannya bermain boneka, Sabrina bermain sepak bola.
Hal ini menjadi stereotip yang menyebalkan bagi gadis seperti Sabrina. Bahkan karena cita-cita yang berbeda dari teman sebayanya itu, membuat Sabrina hanya sedikit mempunyai teman, hal yang lumrah terjadi ketika terdapat seseorang yang berbeda dari kebiasaan yang ada.
Bu guru Lastri pun sebenarnya sudah berulang kali memberikan pengertian kepada Sabrina bahwa kelak ketika dewasa, wanita yang baik itu adalah wanita yang harusnya banyak menghabiskan waktu di rumah saja, mengurus dan mendidik anak-anaknya. Sudah barang tentu jika cita-cita sepak bola yang diimpikan Sabrina itu merupakan impian yang aneh dan tidak cocok bagi kaum wanita.
Perkataan bu guru Lastri tersebut semakin membuat Sabrina merasa bingung. Mengapa perempuan tidak boleh mendapat perlakuan yang sama dengan laki-laki? Mengapa perempuan hanya bisa menonton dan memberikan tepuk tangan sebagai penghias tempat duduk kepada pemain sepak bola yang didominasi oleh laki-laki? Bukankah dari segi hak tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan?
Pertanyaan-pertanyaan polis Sabrina tersebut membuat bu guru Lastri terdiam membisu. Oleh karena itu, bu guru Lastri melaporkan hal tersebut kepada ayahnya Sabrina. Alih-alih mendapat dukungan, bu guru Lastri malah mendapat jawaban yang mencengangkan.
Sejak jauh-jauh hari, Ayahnya Sabrina sudah tau apa yang dilakukan putri tercintanya itu. Ia pun memaklumi keinginan Sabrina tersebut sebagai hal yang lumrah dilakukan oleh gadis peralihan usia remaja menuju dewasa pada umumnya.Â
Ayahnya percaya barangkali mimpi anaknya tersebut berubah menjadi seperti mimpi teman-teman perempuan lainya yakni menjadi guru, dokter, maupun perawat. Berbeda dengan Ayahnya, sang Kakak yang telah beranjak kuliah itu justru mendukung seratus persen apa yang menjadi keinginan Sabrina sang adik tercintanya.
Sang kakak menganggap bahwa keinginan Sabrina merupakan hal yang baru dalam kebiasaan di masyarakat yang seharusnya mengalami perubahan. Tidak lagi membeda-bedakan jenis kelamin dalam pekerjaan, dan memberikan ruang yang adil bagi perempuan.
Dengan begitu disparitas pembatas antara perempuan dan laki-laki dalam hal hak dan pekerjaan akan semakin menipis hingga tak berjarak. Sebagai bentuk dukungannya kepada sang adik, Kakak Sabrina seringkali membelikan jersey bola Manchester United lengkap dengan nomor pungung tujuh milik Cristiano Ronaldo pada adiknya itu.Â
Selain itu, sang kakak juga membelikan sepatu bola. Sang kakak selalu berpesan pada Sabrina bahwa untuk meraih cita-cita menjadi pemain sepak bola yang hebat, ia harus bekerja keras dan giat berlatih.
Melihat senyum manis dari adiknya tersebut, Sang kakak merasa bersyukur Sabrina termasuk gadis kecil yang beruntung, terlahir dari keluarga yang berkecukupan dan mendapat dukungan. Sudah berapa banyak gadis yang mempunyai cita-cita berbeda daripada umumnya, lantas kemudian dengan berat hati harus mengubur dalam-dalam impiannya itu.
Sang kakak juga menaruh harapan besar jadi apapun adiknya kelak, ia berharap sang adik dapat membawa manfaat terhadap orang banyak. Sabrina berulangkali meminta kepada kakaknya untuk memasukkan ia ke dalam akademi sepak bola.Â
Dengan semangat dan harapan yang tinggi, Sabrina pun berlatih dengan gigih. Tapi apalah daya, Sabrina dan kakaknya merasa kebingungan lantaran tidak ada satupun akademi sepak bola yang mau menerima seorang perempuan menjadi pemain mereka. Miris tapi nyata.
Walau kadang-kadang impian itu muncul kembali, mimpi gadis remaja yang berakhir dalam kamar dengan isak tangis itu takkan bisa dilanjutkan. Cita-cita jujur yang dipertentangkan oleh orang-orang dewasa yang mengaku paling mengerti, orang-orang dewasa seperti bu guru Lastri yang seharusnya tidak berhak mencampuri cita-cita seorang gadis seperti Sabrina.
Cita-cita yang seharusnya tidak dianggap sebagai cita-cita yang aneh. Apalagi cita-cita tersebut berasal dari hati gadis remaja yang jujur, dan mempunyai daya imajinasi yang luas.Â
Misal saja jika terdapat bocah kecil yang bercita-cita menjadi pengkhianat bangsa, maka orang-orang seperti bu guru Lastri berhak untuk melarangnya. Tapi tidak dengan mimpi dan cita-cita gadis seperti Sabrina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H