Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu metode untuk memilih pemimpin, baik legislatif maupun ekskutif. Hal demikian bisa diliha dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan umum. Sehingga pemilu menjadi metode yang sah dan konstitusional di Indonesia. Meski demikian, konsep pemilihan pemimpin melalui pemilu tetap saja menimbulkn pro dan kontra, termasuk bila dilihat dari sudut pandang pemikiran politik dalam islam. Penelitian ini merupakan penelitian konseptual dengan membandingkan konsep pemilu dengan konsep pemilihan pemimpin dalam islam.Â
Metode pemilihan pemimpin melalui pemilu memiki kesamaan dengan beberapa metode pemikian politik dalam islam, seperti adanya kesamaan antara pemilu dengan baiat dan musyawarah. Alasan tersebut menjadi dua diantara beberapa dasar bagi kelompok yang pro terhadap pemilu, serta tidak adanya panduan baku dalam al-Qur'an dan Hadits yang mengharuskan melaksanakan satu metode tertentu dalam pemilihan pemimpin. Sedangkan yang kelompok yang kontra terhadap pemilu berdalih tidak ada dalil baik dalam al-Qur'an maupun Hadits tentang pelaksanaan pemilu, serta prinsip pemilu adalah mencari suara yang terbanyak dan ini dilarang dalam syariat.
Sejarah Pemilu dalam Islam Pemilihan umum (pemilu) sejatinya sudah ada sejak jaman dahulu, meski cara penerapannya tidak sama persis dengan jaman sekarang. Setidaknya, hal tersebut dapat dilacak dalam sejarah perpolitikan umat Islam di mana saat itu telah dikenal beberapa cara dalam pengangkatan kepala negara. Adapun mekanisme pemilu yang tertera dalam literatur klasik ada tiga metode, dan ini yang berkembang dalam tradisi suni. Pertama, pembaiatan yang dilakukan oleh ahlul halli wa al-'aqdi. Ketika komite ini sudah membaiat seorang pemimpin dan kemudian diikuti oleh seluruh orang, maka pemilihan seperti ini sudah sah dan legal.Â
Metode seperti ini pula yang digunakan untuk membaiat sahabat Abu Bakar al-Shiddiq dan sayyidina Ali ibn Abi Thalib ra. Jika dilihat dengan perspektif kontemporer, sebenarnya pemilihan Abu Bakar---setelah melalui perundingan yang cukup alot---dari segi cara dan proses yang dilakukan adalah sama dengan cara yang dipakai dalam parlemen pada masa kini. Team khusus akan dibentuk untuk menentukan layak tidaknya seorang calon pemimpin dengan melihat kemampuan calon tersebut sebelum dinyatakan layak atau tidak untuk bertarung dalam pemilihan umum.Â
Kedua, pencalonan oleh pemimpin sebelumnya (istikhlaf). Istikhlaf adalah sistem pemilihan pemimpin dengan dengan cara pencalonan (rekomendasi) oleh pemimpin sebelumnya. Hanya kadang kala juga dalam bentuk penyebutan sifat-sifat yang ada pada calon pemimpin yang akan dilantik. Cara ini juga dikenal dengan istilah wilayat al-'ahdi. Dalam sistem pemerintahan Islam cara pemilihan yang seperti ini pernah berlaku dua kali yaitu pada pemilihan Umar ibn Khattab.
Ketika Abu Bakar al-Shiddiq dalam keadaan sakit parah beliau bertanya kepada beberapa orang sahabat seperti Abdul Rahman bin Auf, Usman bin Affan dan Said bin Khudhair mengenai Umar bin Khattab dan mereka merekomendasikan Umar kepada Abu Bakar. Setelah mendapat rekomendasi dari para sahabat, Abu Bakar meminta Usman untuk menulis wasiat pemiliahan Umar. kemudian Abu Bakar berbicara di depan publik dan mengeluarkan pernyataan mengenai pencalonan Umar sebagai pengganti Khalifah. Setelah mendapat persetujuan umat maka terjadilah pembaiatan oleh publik di dalam Masjid.
Ketiga, rekomendasi dari seorang pemimpin untuk membuat tim formatur yang terdiri dari ahlul halli wa al-'aqdi untuk memilih seorang pemimpin dari kalangan mereka, setelah itu ahlul halli wa al-'aqdi membaiatnya yang kemudian juga diikuti oleh semua orang.
Cara seperti ini pernah terjadi ketika pengangkatan Utsman ibn Affan.Adapun pemilihan Usman bin Affan terjadi setelah Umar Bin Khattab kritis akibat tikaman Abu Lu'luah. Umar merasakan nyawanya tidak akan tertolong, maka beliau berpesan kepada sahabat untuk memilih salah seorang di antara sepuluh orang yang mendapat jaminan masuk surga dari Rasulullah sebagai calon pengganti beliau. Selang tiga hari Umar bin Khattab wafat maka terpilihlah Usman bin Affan sebagai pemimpin umat Islam yang ketiga dan terjadilah pembaiatan secara Umum. Hubungan Pemilu dengan Baiat
Baiat adalah sebuah ikatan antara seorang pemimpin dengan rakyatnya, di mana rakyat wajib mematuhi pemimpinnya dan pemimpin wajib menjaga dan melindungi warganya. Sedangkan mekanismenya, pertama ahlul halli wa al-'aqdi menyeleksi para calon pemimpin dengan kriteria utama kecakapan dalam hal kepemimpinan, setelah berhasil menemukan satu orang yang dianggap mencukupi syarat setelah itu baru dibaiat oleh seluruh rakyat. Konsekuensinya, rakyat wajib mematuhi pemimpin yang telah resmi dibaiat.
Hubungan Pemilu dengan Musyawarah
Para ulama kontemporer berbeda pendapat, apakah pemilu masuk dalam kategori musyawarah atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, seperti Muhammad Rasyid Ridla dan Al-Maududi mengatakan bahwa pemilu masuk dalam kategori musyawarah. Argumen dari kelompok ini adalah: (1) QS. Al-Syura [42]: 38 yang artinya: "...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka", intruksi untuk bermusyawarah dalam ayat ini bersifat universal untuk semua orang, dengan begitu maka pemilu masuk dalam kandungan ayat tersebut.