Kemudian, yang tidak kalah menyedihkan daripada itu, sebagaimana yang diungkapkan Shaleh, dkk., dalam bukunya Asbaabun Nuzul, sebagian dari adat mereka; adat Arab Jahiliyyah, bahwa apabila seseorang laki-laki (suami) meninggal, anak yang tertua, atau keluarganya yang lain, berhak mewarisi perempuan (istri) tersebut. Janda (istri) tersebut bisa untuk dinikahinya sendiri, atau dinikahkannya dengan orang lain, yang kemudian maharnya diambil oleh orang yang mewarisi janda tersebut, atau dengan tidak menikahkannya sama sekali. Lalu Allah turunkan surah An-Nisa ayat 19 yang menjelaskan tentang kedudukan seorang perempuan, juga pada ayat 22 yang menjelaskan tentang larangan menikahi perempuan bekas istri ayah tersebut:
Terjemah: (19) Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Terjemah: (22) Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Lembar sejarah wanita Arab pada zaman Jahiliyyah begitu suram. Zaman yang gelap itu sangat merendahkan wanita. Kedatangan Islam (Alquran) benar-benar memberikan cahaya bagi perempuan. Ia mengangkat derajatnya, juga menjaganya, serta memberikan hak-hak manusiawi yang sempurna. Itulah Islam, ia datang sebagai rahmatan lil 'alamin, khususnya dalam hal ini kepada perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H