Kehadiran Covid-19 ini memang sangat menyakitkan. Ia "menyeret" para penguasa untuk mengeluarkan kebijakan kepada rakyatnya agar melakukan aktivitas di rumah. Mulai dari belajar, berjualan, bekerja, dan lain-lain.
Tidak sedikit yang merespon bahwa kegiatan di rumah sangat membosankan, baik bosan karena tidak bisa jalan-jalan menikmati kehidupan di luar, maupun bosan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti pekerja dengan gaji harian misalnya.
Dengan hadirnya Covid-19 seperti itu, mampukah kita berterima kasih kepadanya? Iya, berterima kasih kepada sosok yang selama ini menyakiti kita, membuat kita bosan, dan juga bersedih. Apakah kita mampu? Berat? Berat memang, kalau kita hanya memandangnya dengan satu sudut pandang saja (negatif). Kita perlu "kacamata" lain (positif) untuk mampu melakukannya. Udah siap? Lanjut.
Saya akan mengajak anda untuk melihat fenomena yang saat ini sedang viral. Fenomena yang sedang viral itu ternyata bermula dari unggahan seseorang di Twitter. Unggahan pada 24 April, pemilik akun Twitter @genzejutaakal mengunggah screen capture dari pemiliki akun Twitter @_parsiholan_. Dalam postingannya menuliskan, "Teman saya kerja di perusahaan swasta bergaji 80 jutaan per-bulan. Baru 2 bulan dirumahkan, rumah tangganya langsung berantakan karena selama ini keluarganya berbiaya tinggi. Kredit mobil mewah, kpr rumah di Kota Wisata harga 3 M. Tabungan tipis. Sekarang mereka bingung. Kasihan." (beepdo.com).
Apa yang bisa kita lihat dari cerita tersebut? Sisi negatif. Iya, sisi negatif yang dapat kita lihat dari fenomena di atas adalah, di mana Covid-19 mampu membuat orang kehilangan pekerjaan, lebih lagi dalam kisah itu ia telah bergaji 80 juta per-bulan. Sedih, iya pastinya.
Tetapi, di sisi lain, perlu disadari, bahwa kita benar-benar sedang "ditampar" oleh Covid-19 atas kelalaian kita dalam menjalani hidup. Bagaimana tidak, kondisi pekerja dengan gaji 80 juta tersebut membuat ia tergoda untuk memenuhi gaya hidup yang mahal, seperti kredit mobil mewah, dan lain-lain, yang pada akhirnya, ketika ia dirumahkan selama dua bulan, rumah tangganya berantakan. Terang saja, ia tidak mampu membayar cicilannya yang mewah tersebut.
Oke, oke. Saya, anda, dan kita semua paham, tidak mudah untuk menghindar dari kondisi tersebut. Terkadang di antara kita juga ada yang terjebak pada situasi yang sama, bukan? di mana ketika kita memiliki gaji yang lumayan besar, gaya hidup kita juga akan mengikutinya, bahkan dengan kredit sekalipun.
Tetapi, setidaknya kita harus berterima kasih kepada Covid-19. Karenanya, kita dapat benar-benar diingatkan kembali (melalui kisah tersebut) untuk mengetahui, memahami, dan mengatur mana sebenarnya sesuatu yang kita inginkan, dan kita butuhkan dalam hidup ini, baik di saat miskin maupun kaya, kita tetap harus menyadarinya, khususnya di saat-saat seperti ini.
Terakhir, dari kisah tersebut, jika kita hanya memandang sisi gelap Covid-19, maka kita hanya akan menghujatnya terus-menerus karena telah membuat kita kehilangan pekerjaaan. Pun membuat rumah tangga menjadi berantakan.Â
Namun, jika kita lihat dari sisi lain (terang), maka kita akan berterima kasih kepada Covid-19, karena telah menyadari kita tentang kelalaian kita selama ini; sering kali memenuhi keinginan hidup, yang nyatanya tidak begitu kita butuhkan.
Sekali lagi, terima kasih Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H