“ Even if we do, it doesn’t mean that we are going to be lost forever. Do not worry about taking the path less travelled. As you’re experiencing now,for instance. If other people see what you have achieved, more of them will follow your footsteps”
Sahabat saya ini sudah bermental baja sejak kuliah sehingga memilih path less travelled, jalan yang hampir tidak pernah dirambah orang. Semua berawal ketika sahabat ini bergumul selama berminggu minggu dengan mimpinya. Batinnya terus mendesak menyudahi pergulatan itu . Akhirnya dia memutuskan berdamai dengan mimpi itu. Sebuah mimpi konyol yang harus dia genggam erat erat seperti halnya botol kecil berisi tetesan air terakhir harapan ke naungan masa depan.
Menginjak semester terakhir ketika dia harus membuat Proyek Tugas Akhir sebagai syarat kelulusan. Dia berpikir untuk mengambil tema tertentu sebagai topik dalam proyek tugas akhirnya. Sebuah tantangan besar mengingat jenis teknologi yang ditekuni untuk tugas akhir itu adalah bidang yang langka, bahkan oleh dosen-dosennya nya sendiri.
Itulah kepingan awal mewujudkan mimpi besarnya. Dalam guratan guratan hatinya seolah sudah tertulis sesulit apapun dan bagaimanapun caranya, dia akan tetap melewatinya.
Dengan berbekal sedikit ilmu komputer, dia menemui beberapa dosen untuk menjadi pembimbing. Dosen dosen itu menolak membimbing dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan halus seperti tidak menguasai dan tidak tertarik dengan topiknya. Suatu kali sahabat saya pernah menghadap seorang dosen yang akhirnya menolak membimbingnya. Dosen ini berkata,”Kamu tidak tahu tentang teknologi ini, mengapa kamu menjadikannya menjadi proyek tugas akhir” sergahnya setelah membaca proposal.
Spontan sahabat saya membantah,” Kalau saya sudah tahu, dan topik itu mudah, untuk apa saya jadikan proyek tugas akhir Pak?”
Dengan susah payah akhirnya dia menemukan dosen yang mau menjadi pembimbing. Dalam perjalanan menyelesaikan tugas akhir seorang dosen menertawakan sahabat saya ini.
“Anak ini mempersulit dirinya sendiri…Dia akan terancam tidak bisa menyelesaikan tugas akhirnya” selorohnya kepada dosen lain yang duduk disampingnya.
Semua dosen yang mendengar celotehan itu tertawa terbahak bahak, menganggap sahabat saya seolah seperti badut yang tidak lucu. Kalau tidak lucu mengapa mereka tertawa, bukanlahcara untuk menghormati badut adalah dengan mentertawakannya.Kalau begitu memang dosen dosen ini ingin merendahkan martabat si badut. Sahabat saya tersenyum kecut mendapati diri berada dalam posisi sebagai obyek cemoohan. Jauh di lubuk hati mentalnya sedikit banyak tergerus.
Kadang dia berpikir mengapa insan pendidik yang seharusnya memotivasi justru berperan sebagai palu yang menganggap mahasiswanya sebagai paku. Dia berusaha menyemangati dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia adalah paku baja yang tidak mudah dibengkokkan.
Singkat cerita dengan keahlian yang didapat dari tugas akhir itulah akhirnya sahabat ini mengecap kehidupan di eropa barat bersama istri dan kedua anak balitanya. Sebuah perjuangan untuk membangun impian.
Terima kasih sahabat telah mengajariku untuk melihat dari sisi pandangmu.
Selamat berakhir pekan.
Ungaran, 24 Juli 2016
Rikho Kusworo