Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Renungan) Ketika Nasi Kucing Menjadi Hidangan Rohani

26 Juni 2016   01:35 Diperbarui: 27 Juni 2016   17:24 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang Pencipta terkadang menegur kita dengan cara yang ramah. Termasuk ketika sebuah mutiara hikmah terpancar dari sebuah warung angkringan nasi kucing. Sebuah ironi yang menggugat kesadaran batin.

Warung nasi kucing biasanya menyediakan nasi bungkus sebesar kepalan tangan. Yang unik dari warung nasi kucing Pak Kumis adalah nasinya panas dari alat penanak nasi listrik dan disajikan dengan piring. Pak Kumis sibuk melayani pengunjung warung angkringan serupa gerobang dorong kayu. 

Sambil tersenyum ramah Pak Kumis menyapa wajah wajah lahap penikmat nasi putih berlauk sayur daun papaya,ikan teri,mie, dan kering tempe. Kalau pengunjung ingin menambah lauk, tersedia berbagai macam gorengan seperti tahu susur, tahu bacem, tempe mendoan. 

Selain itu juga terhidang sate telur puyuh, ampela, dan kepala ayam. Dengan sambal yang menggugah selera, nasi kucing Pak Kumis terkadang membuat saya harus nambah.

Namun sekarang ini saya tidak akan berbicara tentang hidangan lidah. Hidangan rohanilah yang harus saya telan dengan rasa malu setelah menyesap pengalaman ini.

Sekitar tiga hari menjelang bulan puasa Pak Kumis memberitahukan kepada saya agar datang ke warung angkringannya pada hari pertama berbuka puasa. Selain itu Pak Kumis meminta saya agar menyebarkan informasikan kepada teman teman yang biasa makan di warungnya bahwa pada hari pertama berbuka puasa, semua hidangan akan digratiskan. Saya pun mengiyakan. 

Walaupun pada akhirnya saya tidak memenuhi undangan buka puasa gratis tersebut. Nurani saya menolak kemasukan makanan gratis di warung angkringan Pak Kumis. Perut ini pasti berontak ketika pemiliknya tega menerima sedekah dari warung pedagang kecil yang mengais rupiah demi rupiah dari dagangan hidangan rakyat sederhana.

Beberapa hari yang lalu saya makan di warung Pak Kumis ketika pengunjung sedang sepi. Hati ini masih mengganjal ingin menanyakan langsung kepada Pak Kumis gerangan apa yang menggerakkan hatinya untuk menggratiskan semua makanan pada hari pertama puasa.

“Saya boleh bertanya sesuatu Pak Kumis,” kata saya.

“Ada apa mas?” tukasnya.

“Mengapa pada hari pertama puasa Bapak menggratiskan barang dagangan Bapak?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun