Mohon tunggu...
Rikho Kusworo
Rikho Kusworo Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis Memaknai Hari

Karyawan swasta, beranak satu, pecinta musik classic rock, penikmat bahasa dan sejarah, book-lover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Renungan) Sahabat Hindarkan Sesat

31 Januari 2016   06:36 Diperbarui: 31 Januari 2016   08:59 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“A friend does not hide mistakes to avoid the disputes, precisely because of his love he ventured to tell the truth “

Kemarin siang saya mendapat kiriman di kontak BBM sebuah kutipan yang berbunyi seperti di atas. Tidak penting kutipan itu dari siapa karena memang saya tak berhasil menemukannya di mesin pencari. Yang terpenting adalah munculnya kembali kesan dari seorang sahabat. Kenangan adalah satu hal yang membuat seorang sahabat menjadi unik.Seberapa kental sahabat ini mampu membangkitkan masa yang lalu mempunyai nilai tersendiri dalam khasanah batin kita.

Sebuah memori percakapan dengan seorang sahabat wanita dua puluh tahun yang lalu terangkat kembali.                       

“Tahu nggak yang gak disukai anak anak dari Lu?” tandas Kemuning.

Tertegun saya mendengar pertanyaan yang tak terduga itu.

“Apa Nining ?” sahutku.

“Elu tu kalau ngomong nggak pernah mau kalah” jawab Kemuning yang biasa saya panggil Nining.

Percakapan itu terjadi ketika saya mendatangi kos Kemuning karena merasa telah berbuat salah terhadap sahabat yang lain Kinanti. Dalam suatu perdebatan terlontar sebuah rahasia yang oleh Kinanti dipercayakan kepada saya untuk disimpan. Meluncurnya rahasia itu dari mulut saya lebih karena sifat tidak mau mengalah dalam beragumentasi.

Sepulang dari kos Kemuning, terbayang saat saat ketika saya sering berdebat dengan kawan kawan dekatku, perempuan atau laki laki. Bahkan pernah seorang kawan perempuan langsung memalingkan muka,pergi dengan mata berkaca kaca setelah bersilat lidah. Jengkel karena adat saya  yang tidak mau mengalah kalau bergumen.

Sebenarnya saya hanya ingin dikenal sebagai orang yang paling tahu dan ingin dihargai. Pikiran picik dan kerdil saya waktu itu sama sekali tidak melihat bahwa setiap jiwa mempunyai sudut pandangnya sendiri. Pun saya pun tak hirau bahwa di atas langit masih ada langit. Sifat sok tahu saya overdosis.

Keterbukaan Kemuning ketika itu menyibak dan menjadikan sisi minus saya  gamblang,tersodor dalam ranah kesadaran. Dalam benak ini lirih menggumam,”Beginilah ternyata kawan kawan dekat memaknai sosokku,keras kepala dan tidak mau mengalah”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun