Presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara partai politik atau koalisi partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum. Aturan ini pertama kali diberlakukan untuk menyederhanakan jumlah kandidat dalam pemilu, dengan harapan dapat mendorong stabilitas politik dan meminimalkan risiko fragmentasi dalam pemerintahan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menetapkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25% suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Regulasi ini telah menuai banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat, akademisi, dan praktisi politik.
Seiring waktu, muncul tuntutan untuk menghapus presidential threshold dengan berbagai alasan, mulai dari pembatasan demokrasi hingga potensi monopoli kekuasaan oleh partai besar. Namun, penghapusan aturan ini juga tidak terlepas dari potensi dampak baik positif maupun negatif yang dapat memengaruhi stabilitas politik di Indonesia. Dampak positifnya, penghapusan presidential threshold dapat memperluas peluang partai-partai kecil untuk berkontribusi dalam pemilihan calon presiden, sehingga meningkatkan keberagaman pilihan politik bagi masyarakat. Sebagai contoh, partai-partai kecil dengan kandidat potensial dapat lebih mudah mencalonkan presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai besar. Di sisi lain, dampak negatifnya termasuk risiko munculnya terlalu banyak kandidat, yang dapat membingungkan pemilih dan menciptakan fragmentasi politik. Selain itu, tanpa ambang batas, ada kemungkinan presiden terpilih tidak memiliki dukungan mayoritas di parlemen, sehingga dapat menghambat stabilitas dan efisiensi pemerintahan.
Fakta Tentang Presidential Threshold
- Asal-Usul Presidential Threshold Presidential threshold diterapkan pertama kali di Indonesia pada Pemilu 2004. Tujuannya adalah untuk menyederhanakan jumlah calon presiden yang maju dalam pemilu, sehingga tidak terlalu banyak kandidat yang menciptakan kebingungan di kalangan pemilih. Dengan membatasi calon yang dapat maju, sistem ini diharapkan mendorong stabilitas politik melalui koalisi antarpartai.
- Implementasi Saat Ini Dalam praktiknya, presidential threshold memaksa partai politik kecil untuk bergabung dalam koalisi dengan partai besar demi memenuhi ambang batas 20% kursi DPR atau 25% suara nasional. Akibatnya, partai kecil sering kali kehilangan identitas politik karena harus berkompromi dengan agenda partai dominan dalam koalisi.
- Konstitusionalitas yang Diperdebatkan Aturan ini telah berulang kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon menilai bahwa presidential threshold bertentangan dengan prinsip demokrasi karena membatasi hak partai politik untuk mengajukan calon presiden. Namun, MK selalu menolak permohonan tersebut dengan alasan aturan ini sah secara hukum dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Contoh Kasus dan Dampaknya
Kasus 1: Minimnya Alternatif Pilihan Calon Presiden
Dalam Pemilu 2019, hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Situasi ini menciptakan dinamika politik yang sangat terpolarisasi, dengan masyarakat terbagi menjadi dua kubu besar yang mendukung masing-masing pasangan calon. Minimnya jumlah calon juga mengurangi peluang munculnya ide-ide baru atau pendekatan berbeda terhadap isu-isu nasional, yang dapat memperkaya diskursus politik selama kampanye. Dengan hanya dua pasangan calon, masyarakat merasa pilihan mereka sangat terbatas. Situasi ini memicu polarisasi tajam di masyarakat karena minimnya ruang untuk calon alternatif yang mungkin lebih representatif.
Dampak Minimnya Alternatif Pilihan Calon Presiden
- Polarisasi Sosial yang Tajam : calon presiden dan wakil presiden, situasi politik cenderung terpolarisasi secara ekstrem. Masyarakat terbagi menjadi dua kubu besar yang mendukung masing-masing pasangan calon. Hal ini memperburuk perpecahan sosial karena masing-masing kubu merasa harus memilih salah satu pihak yang ada, tanpa ruang untuk pilihan yang lebih beragam.
- Tertutupnya Ruang bagi Alternatif Politik : Minimnya jumlah calon presiden berarti bahwa masyarakat memiliki pilihan yang terbatas, sehingga kesempatan untuk menemukan calon yang benar-benar mewakili beragam aspirasi politik atau ideologi juga sangat kecil.
- Kualitas Demokrasi Menurun : Demokrasi yang sehat memerlukan variasi pilihan politik untuk memastikan bahwa pilihan masyarakat benar-benar mencerminkan beragam suara dan preferensi. Ketika pilihan terbatas pada hanya dua calon, ini mengurangi representasi politik dari berbagai lapisan masyarakat, sehingga kualitas demokrasi bisa terganggu.
Kasus 2: Dominasi Partai Besar
Partai-partai besar, seperti PDI Perjuangan dan Partai Golkar, memiliki keuntungan besar karena memiliki peluang lebih besar untuk memenuhi presidential threshold. Sebaliknya, partai-partai kecil sering kali terpaksa bergabung dengan koalisi yang dikendalikan oleh partai dominan untuk tetap relevan dalam proses politik.
Dampak dari Dominasi Partai BesarÂ
- Oligarki Politik: Ketika partai besar mendominasi politik Indonesia, mereka memiliki kontrol yang besar dalam menentukan kebijakan dan keputusan politik utama, termasuk pemilihan calon presiden. Hal ini menciptakan sistem yang didominasi oleh segelintir partai yang memiliki pengaruh besar, sementara partai kecil tidak memiliki ruang yang cukup untuk berkembang. Oligarki politik ini berisiko memperburuk kualitas demokrasi karena kontrol politik tidak tersebar merata di berbagai partai atau kelompok masyarakat.
- Melemahnya Keberagaman Politik: Dengan dominasi partai besar, suara dan aspirasi kelompok politik yang lebih kecil cenderung terpinggirkan. Hal ini mengarah pada kurangnya representasi terhadap keberagaman politik dan sosial yang ada di masyarakat. Keberagaman ide dan solusi yang seharusnya muncul dari berbagai kelompok politik menjadi terbatas, karena partai-partai besar cenderung menarik dukungan dari kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan serupa, sementara kelompok yang memiliki ideologi atau kepentingan berbeda tidak cukup diperhitungkan.
- Hambatan Regenerasi Kepemimpinan: Ketergantungan pada partai besar untuk memenuhi presidential threshold dapat membuat proses regenerasi kepemimpinan di tingkat nasional terhambat. Hanya mereka yang berada dalam jaringan partai besar yang memiliki akses untuk mendapatkan dukungan politik yang cukup, sementara individu atau calon dari partai kecil yang lebih inovatif atau memiliki ide baru bisa terpinggirkan. Hal ini dapat memperlambat munculnya pemimpin-pemimpin baru yang memiliki perspektif segar untuk negara.
Kasus 3: Partisipasi Politik yang Menurun
Keberadaan presidential threshold juga berdampak pada partisipasi politik masyarakat. Dengan pilihan calon presiden yang terbatas, banyak pemilih merasa apatis terhadap proses pemilu karena mereka merasa tidak ada calon yang benar-benar merepresentasikan aspirasi mereka. Apatisme ini tercermin dalam peningkatan jumlah suara tidak sah atau golput (golongan putih) selama pemilu, serta rendahnya antusiasme dalam kampanye atau diskusi politik. Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019, tercatat bahwa partisipasi pemilih menurun di beberapa daerah, yang menjadi indikator bahwa sebagian masyarakat merasa tidak memiliki opsi yang benar-benar mereka dukung.
Dampak Partisipasi Politik yang Menurun
- Apatisme Politik: Ketika pemilih merasa bahwa pilihan calon presiden terbatas hanya pada beberapa calon yang berasal dari partai besar, mereka bisa merasa kurang terwakili dan tidak menemukan calon yang benar-benar mencerminkan nilai atau aspirasi mereka. Rasa tidak puas ini mendorong apatisme, di mana pemilih memilih untuk tidak terlibat dalam proses pemilu atau memilih golput (golongan putih). Hal ini mencerminkan ketidakpercayaan terhadap sistem politik dan merusak kualitas keterlibatan warga negara dalam demokrasi.
- Menurunnya Partisipasi Pemilih: Seiring berjalannya waktu, jika partisipasi pemilih menurun, terutama karena apatisme politik, maka kualitas pemilu akan terpengaruh. Pemilu yang tidak melibatkan mayoritas warga negara bisa merusak legitimasi proses politik itu sendiri, yang pada gilirannya mengancam stabilitas demokrasi. Pemilu yang tidak mencerminkan keinginan atau aspirasi mayoritas masyarakat tidak akan memberikan hasil yang mencerminkan kehendak rakyat, sehingga integritas demokrasi dipertanyakan.
- Pengaruh terhadap Kualitas Demokrasi: Partisipasi politik yang rendah dapat mengurangi pengawasan terhadap pemerintahan dan memperburuk kualitas keputusan yang diambil oleh elit politik. Ketika masyarakat tidak merasa memiliki peran penting dalam pemilu, mereka tidak termotivasi untuk memeriksa atau mengkritik kebijakan yang dijalankan pemerintah, yang pada akhirnya memperlemah mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi.
Argumen Mendukung Penghapusan Presidential Threshold
- Memperluas Pilihan Bagi Pemilih Penghapusan presidential threshold akan membuka ruang bagi lebih banyak pasangan calon presiden. Dengan demikian, masyarakat memiliki lebih banyak alternatif untuk memilih calon yang sesuai dengan aspirasi mereka.
- Mengurangi Polarisasi Politik Dengan lebih banyak pasangan calon yang maju, pemilu tidak lagi menjadi ajang pertarungan dua kubu besar. Hal ini dapat mengurangi polarisasi politik yang ekstrem di masyarakat.
- Meningkatkan Keadilan Politik Penghapusan aturan ini akan memberikan kesempatan yang sama bagi semua partai politik, baik besar maupun kecil, untuk mengajukan calon presiden. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan dan inklusivitas.
- Mendorong Regenerasi Kepemimpinan Tanpa presidential threshold, partai-partai kecil atau baru yang memiliki tokoh potensial dapat lebih mudah mengajukan calon presiden. Hal ini dapat mendorong munculnya pemimpin-pemimpin baru yang membawa visi dan inovasi segar bagi Indonesia.
Argumen Menolak Penghapusan Presidential Threshold
- Potensi Membingungkan Pemilih Jika terlalu banyak pasangan calon presiden yang maju, pemilih dapat merasa bingung dalam menentukan pilihan. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pemilu sebagai mekanisme seleksi pemimpin.
- Koalisi yang Tidak Stabil Tanpa presidential threshold, partai politik tidak lagi dipaksa untuk membentuk koalisi sebelum pemilu. Akibatnya, koalisi dapat menjadi tidak stabil karena baru terbentuk setelah pemilu.
- Efisiensi Pemerintahan yang Menurun Jika presiden yang terpilih tidak memiliki dukungan mayoritas di parlemen, proses pengambilan keputusan dapat menjadi lebih sulit. Hal ini dapat menghambat jalannya pemerintahan.
Solusi Alternatif dari Perbedaan Pendapat
- Menurunkan Presidential Threshold Sebagai kompromi, ambang batas dapat diturunkan dari 20% menjadi, misalnya, 10% atau bahkan dihapuskan untuk memungkinkan lebih banyak partai mengajukan calon presiden tanpa menciptakan terlalu banyak pasangan calon.
- Meningkatkan Pendidikan Politik Pemerintah dan partai politik perlu meningkatkan pendidikan politik di masyarakat agar pemilih dapat lebih bijak dalam menentukan pilihan, terlepas dari jumlah pasangan calon yang ada.
- Penguatan Sistem Pemilu Sistem pemilu perlu diperkuat untuk memastikan bahwa proses pemilu tetap transparan dan akuntabel, meskipun terdapat lebih banyak pasangan calon yang maju.
Kesimpulan
Penghapusan presidential threshold adalah isu yang kompleks dengan dampak signifikan terhadap sistem politik Indonesia. Di satu sisi, aturan ini membatasi hak partai politik dan masyarakat untuk memiliki pilihan yang lebih luas dalam pemilu. Di sisi lain, penghapusannya juga berisiko menciptakan fragmentasi politik yang dapat menghambat stabilitas pemerintahan. Oleh karena itu, perlu ada kajian mendalam dan pendekatan kompromistis untuk menemukan solusi terbaik yang dapat memperkuat demokrasi tanpa mengorbankan stabilitas politik di Indonesia.
Langkah-langkah seperti menurunkan ambang batas, meningkatkan pendidikan politik, dan memperkuat sistem pemilu dapat menjadi jalan tengah yang mengakomodasi kebutuhan demokrasi sekaligus menjaga efisiensi pemerintahan. Sebagai contoh, menurunkan ambang batas dapat dilakukan dengan revisi undang-undang untuk menyesuaikan persentase kursi DPR yang diperlukan, sehingga lebih banyak partai dapat mencalonkan presiden. Meningkatkan pendidikan politik dapat diwujudkan melalui program edukasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan organisasi masyarakat yang memberikan informasi tentang pentingnya pemilu. Selain itu, penguatan sistem pemilu bisa dilakukan dengan memperbaiki tata kelola pemilu, seperti penggunaan teknologi untuk memastikan transparansi dan akurasi penghitungan suara. Dengan demikian, Indonesia dapat terus berkembang sebagai negara demokrasi yang inklusif, stabil, dan berdaya saing di kancah global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H