Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat kaya akan keberagaman baik suku, ras maupun agama yang tersebar dari sabang sampai Merauke. Tak heran jika banyak sekali tradisi maupun budaya yang unik di Indonesia yang memiliki makna dan harapan tersendiri.
Tetapi dijaman sekarang rasanya tradisi dan budaya seakan mulai sirna dan pudar oleh kekuatan teknologi yang kian hari makin gencar-gencarnya membuat kreasi dan inovasi yang dirasa lebih penting dan lebih dibutuhkan dibanding tradisi kolot yang dijaga masyarakat Indonesia.
Tetapi disalah satu desa yang ada di Bima, Nusa Tenggara Barat, tepatnya di desa Ngali, ada segenap kekuatan, segenap harapan dalam diri masyarakat Ngali untuk tetap menjaga keutuhan warisan budaya dan tradisi turun tenurun dari nenek moyang mereka. sebuah tradisi yang dinamakan  dengan Ndempa Ndiha.
Secara etimologi Ndempa Ndiha terdiri dari dua kata Ndempa yang artinya adalah perkelahian/pertarungan dan Ndiha adalah ramai atau keramaian. Baik dari akar kata maupun pengertian dari masyarakat sekitar, Ndempa Ndiha merupakan suatu kegiatan perkelahian bebas yang dilakukan secara beramai-ramai oleh masyarakat Ngali.
Tak ada catatan yang pasti mengenai kapan tradisi ini diselenggarakan pertama kali dan oleh alasan apa tradisi ini dilakukan. namum menurut beberapa tetuah desa Ngali, tradisi ini sudah ada sejak jaman pra kemerdekaan dimana dulunya masyarakat Ngali yang notabene sebagai petani sudah terbiasa melawan kerasnya alam dalam menjaga dan merawat hasil tani mereka. Sehingga ketika musim panen tiba, masyarakat Ngali ingin menjalani hari-hari sehabis panen dengan sesuatu pekerjaan ataupun kegiatan yang keras walaupun tidak setiap saat dan tidak ingin menghabiskan hari demi hari dengan bermalas-malasan tanpa pekerjaan lain atau kegiatan lain yang dilakukan dan Ndempa Ndiha lah yang dipilih masyarakat Ngali dalam mengisi waktu luang mereka.
Ndempa Ndiha biasanya dilakukan di suatu lahan yang luas baik itu di persawahan maupun lahan luas lainnya. Ndempa Ndiha dimulai ketika ba'da ashar sampai menjelang maghrib dan biasa dimulai dengan pertarungan anak-anak rentan umur13 tahun ke atas sebelum orang dewasa ikut terlibat dan mengambil alih arena pertarungan.
Arena pertarunganya adalah lingkaran yang dibentuk penonton atau masyarakat yang menyaksikan pertarungan dan didalam lingkaran tersebut di isi oleh dua kubu yang yang akan saling bertarung, dan ketika adzan maghrib berkumandang barulah masyarakat bergegas pulang dan menghentikan kegiatan tersebut. Ndempa Ndiha inipun tidak asal-asalan alias mempunyai aturan tersendiri dalam prakteknya.
Pertama tidak diperbolehkan membawa dan menggunakan senjata tajam dalam perkelahian. Kedua tidak diperbolehkan ikut nimbrung bagi yang dewasa ketika anak-anak sedang bertarung, dan yang ketiga tidak ada dendam atau emosi berlebih sehabis Ndempa Ndiha dilakukan.
Inilah salah satu tradisi yang harus dijaga dan diwariskan oleh masyarakat Bima lebih-lebih masyarakat Ngali, tradisi turun temurun yang sudah ada sejak belasan tahun yang lalu yang syarat makna dan harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H