Mohon tunggu...
Rika Yoesz
Rika Yoesz Mohon Tunggu... -

freelance

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prajurit-prajurit Tanpa Tanda Kasih

6 Januari 2015   12:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:43 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tas ransel sudah siap di pundak, disebelah kanan koper ukuran besar sudah siap dikeret. Hari ini mau tak mau sang Fasilitator pemberdayaan PNPM MPd harus mengakhiri penantian yang tidak jelas kepada siapa penantian itu ditujukan. Pasca keluarnya surat penghentian mendadak oleh PMD pusat per 31 Desember 2014, maka sejak itu pula lah, fasilitator tak punya wewenang apa pun terhadap pembangunan desa meskipun pembangunan itu belum selesai hingga serahterima berikut laporan administrasi dan keuangannya.

Fasilitator itu menarik nafas berat, antara kekhawatirannya dengan pembangunan desa yang tinggal 30 % lagi rampung di 10 desa dan uang yang masih beredar 4 M, dengan kekhawatiran dia menapaki hidup selanjutnya. Sekenario berakhirnya PNPM Mandiri Perdesaan memang sudah diketahui hingga 2014. Dan seluruh Fasilitator pun memahami betul hal tersebut, karena program di UU desa sudah siap menyambut kehadiran presiden baru. Itu sebabnya, sebagai prajurit pemberdayaan ia harus bertanggungjawab menyelesaikan program ini dahulu hingga batas akhir yang sesuai jadwal dan alur PNPM batas akhir tersebut hingga 31 Maret. Ia pun mengabaikan bergerilya mencari penghidupan lain. Harapan itu juga disampaikan oleh pimpinan dari tingkat kabupaten, propinsi hingga di Jakarta. Untuk tetap bertanggungjawab menyelesaikan pekerjaan pendampingan hingga batas akhir di 31 Maret 2015.Yah, ia adalah prajurit yang siap dengan perintah pengendalian.

Lima tahun lebih ia mengabdi menjadi fasilitator kecamatan, rekan-rekannya yang lain ada yang lebih dari itu. Ia ditempatkan di sebuah kepulauan di Kabupaten kepulauan Meranti, sebuah medan tempur yang sebenarnya berat. Rekan kerjanya yang lain juga tak kalah berat dan ekstreem seperti di kecamatan Gaung, kuala Kampar, rupat, mandah, dan lainnya .Tak hanya berat menelusuri kepulauan yang harus menyebrang dengan speedboat kecil, menelusuri pertapakannya pun harus siap menahan guncangan jalan yang tak rata. Hal yang tak kalah berat adalah menghadapi masyarakat. Ada masyarakat yang tidak paham dengan haknya, tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang pongah ingin menguasai keberuntungan sendiri dari kue pembangunan desa. Gesekan-gesekan itulah yang harus dihadapi fasilitator untuk meluruskan program tersebut agar program itu menjadi tepat sasaran, tak jarang api permusuhan dialamatkan kepada mereka. Tetapi mereka adalah prajurit yang siap tempur menghadapi persoalan yang menjadi dinamika dalam pekerjaannya.

Sekali lagi sang fasilitator menatap kepulauan dari dermaga yang siap ia tinggalkan hari ini. Surat dari PMD terngiang-ngiang dalam batinnya, sebait ucapan terima kasih diakhir kalimat, yah hanya sebait kalimat dari pengabdian mereka yang bertahun-tahun lamanya. Diluar sana ada yang sudah melakukan aksi, tapi keributan hanya digaungkan oleh prajurit-prajurit PNPM MPd, termasuk juga melalui media massa. Tapi sepertinya, nafsu pimpinan di atas sana begitu besar untuk mengakhiri program tanpa sekenario yang matang sekalipun mengorbankan keuangan Negara yang bisa menguap entah kemana. Aset-aset desa yang entah dititipkan kepada siapa serta mekanisme yang mengambang dan bundelan berkas yang menggunung. Harusnya ini dipersiapkan dengan matang. Semntara di luar sana sebagian orang yang sudah tak sabar menyambut UU desa, yang seolah tak sabar segera menutup PNPM MPd. Bukan, tuntutan para fasilitator untuk menyelesaikan scenario berakhirnya PNPM MPd bukan menghalangi pelaksanaan UU Desa, tuntutan ini jangan dipandang sebagai lawannya UU Desa, tapi lawan bagi kesemrautan sebuah akhir yang tidak terkontrol.

Berakhirnya PNPM Mandiiri Perdesaan pada tahun 2014 merupakan suatu keniscayaan. Sebuah program kerja memang seharusnya punya batas waktu tertentu dalam melakukan treatment terhadap "target operation" nya, sesuai visi dan misi serta tujuan program tersebut dan selakyaknya sebuah program yang terencana dengan baik, maka program tersebut harus memiliki kesinambungan, ini kaidah perencanaan yang baik dalam mewujudkan suatu visi dan misi yang strategis, berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendekatan pemberdayaan.

Lahirnya UU no. 6 tahun 2014 yang terinspirasi dari pengalaman PNPM serta ikut dirumuskan dan diperjuangkan oleh pelaku PNPM membuktikan bahwa sejak awal pelaku PNPM sadar bahwa PNPM bukan untuk selamanya dan para Fasilitator pun juga sangat menyadari hal tersebut.yang sekarang sedang diperjuangkan oleh para fasilitator, bukanlah menolak berakhir nya PNPM Mandiri Perdesaan ini, tapi lebih pada "cara" penghentian program yang terkesan sekonyong-konyong tersebut dan nyaris tanpa skenario exit (exit strategy), karena hal ini pasti menimbulkan kegoncangan... karena program ini sudah sangat besar baik dari skala cakupan wilayah, anggaran maupun pengaruh nya terhadap kehidupan masyarakat di desa-desa, karena itulah banyak sekali suara yang menyayangkan berakhirnya program tersebut..

Selain itu penghentian yang tiba tiba juga akan menimbulkan potensi kerugian yang sangat besar, yaitu berupa potensi hilangnya baik modal sosial maupun modan finansial serta modal lainnya (SDM, Kelembagaan,dll), yang telah dihasilkan oleh PNPM Mandiri Perdesaan selama ini, sayang kepekaan terhadap hal tersebut hanya disadari oleh beberapa pihak saja.

Informasi yang berkembang, katanya pihak kemendagri (Cq. Ditjen PMD) telah mengantisipasi hal tersebut dengan tetap menanggarkan alokasi dana pendampingan sebagai persiapan masa transisi pada tahun 2015, namun sayang karena ada pergantian pemerintah dan pergantian kementrian, maka keberadaan anggaran tersebut belum dapat dijalankan , sehingga terjadi stagnan yang menyebabkan harus terhentinya kontrak kerja para fasilitator pada akhir desember 2014 lalu. Sehingga program ini harus berhenti secara mendadak (Sudden Death), dalam kondisi masih ada lebih dari Rp. 1/2 T dana yang belum disalurkan kepada masyarkat desa.

Tapi, sejak hari ini, seminggu setelah kontrak itu berakhir, ia harus berani menatap keluar. Pengabdian dan perjuangannya untuk hari ini telah selesai. Di luar sana masih banyak menanti dirinya untuk siap menjalani aktivitas lain, bukankah mereka orang 2 pilihan yang sudah tertempa. Tak perduli, sekalipun ia adalah prajurit tanpa tanda kasih. Yah memang sebegitulah penghargaan yang diberikan pemerintah yang baru kepada orang-orang yang telah mengabdi bertahun-tahun, mudah2an sangkaan karena ini eks nya program pemimpin lama, bukan karena itu sehingga mereka adalah imbasnya.

Yok, kita Move On.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun