Mohon tunggu...
Rika Riyanti
Rika Riyanti Mohon Tunggu... -

my name is Rika Riyanti. just an ordinary girl :) cita-cita mau jadi penulis, dan menerbitkan buku yang kelak mampu untuk merubah dunia :) umur 15 tahun dan kini tengah duduk di bangku SMP kelas 3 ^^ mari, kita sama-sama belajar yaa!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Hari Kasih Sayang Berubah Menjadi Tangis

14 Februari 2012   10:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:40 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Hari Kasih Sayang Berubah Menjadi Tangis

Oleh Rika Riyanti

Oceans apart day after day…

Kenangan berjalan ke belakang, masa depan tengah ditempuh. Liessa memandang sebuah fotonya dengan seorang kekasih, Gray. Sekali saja, hanya sekali bertemu dan lalu pergi untuk merantau. Dan, cerita seperti biasa. Hanya itu-itu saja, tanpa kekasihnya.

Jujur saja ini berlalu sangat menyakitkan. Hari demi hari, tanpa kekasih menemani. Sepulang pergi, atau setiap bangun pagi. Yang ada hanya sepi berkepanjangan, meskipun…

And I slowly go insane…

Terkutuk! Cinta yang terjalin lama sekali. Kini terasa hanya ada angin di sana, terlalu berpura-pura. ‘Aku kuat’ kata Liessa pada kekasihnya, Gray. Katanya lagi, cinta yang terpisahkan itulah yang membuatnya indah. Karena pertemuan, pertemuan yang sering kali justru memancing emosi. Terlalu sering bertemu, akan cepat muak dan bosan. Terasa cepat menjadi basi.

‘Ada baiknya terus seperti ini’ ujarnya. Namun, itu kembali dipertanyakan. Ah, betapa menyesalnya kini Liessa telah mengucapkan kalimat tersebut. Bisakah waktu kembali? Ia ingin meralat semua ini. Karena, semakin gadis itu memikirkannya, semakin ia menjadi gila. Gila karena cinta, cinta membuat gila, dan tidak bercinta adalah hal gila.

I hear your voice on the line…

Meskipun selalu teringat masa lalu, teringat setiap sentuhan, teringat rintihan, tetap saja sang kekasih jauh. Tak dapat disentuh, maupun direngkuh. Liessa dapat mendengarnya, mendengar suaranya, itupun jika sang kekasih menghubungi. Setelahnya, ia akan lupa. Bagaimana, seperti apa suara kekasihnya yang tercinta. Serak-serak basah? Berat? Atau apa?  Dan, gadis itu masih tidak mengerti.

But it doesn't stop the pain…

Liessa selalu melihat foto sang kekasih. Berulang kali membaca pesannya, mendengar suaranya yang sengaja direkam saat tengah menyanyi, atau saat mereka bercakap-cakap ditelpon. Justru, semakin terasa jauh. Seperti adanya banyak perbedaan; tempat, waktu, suasana. Mungkin Liessa memang lemah. Bahkan, berulang kali ia mendengar suara sang kekasih, tetap saja hatinya sakit.

“Bagaimana jika kau mati saat aku tak bisa menghubungimu?”

Siapa yang tahu? Seperti itulah cinta yang jauh. Miris sekali jika Liessa membayangkannya. Maka dari itu ia mencoba untuk melupakan. Namun, tetap saja. Terus, ia merasa sakit sampai tak bisa berpikir jernih. Telah lebih dari tiga gelas bir disesapnya. Ia memang sakit, bukan? Sakit karena cinta, dan cinta itu selalu saja membuat sakit. Sayang, tak ada obatnya.

If I see you next to never…

Bagaimana jika Liessa ingin kembali? Kembali seperti dulu kala. Saat ia tak pernah berjumpa. Saat mereka tak pernah menyapa, daripada harus terucap kalimat ‘aku takkan kembali’ setelah hubungan yang terjalin teramat lama. Namun, sayang, cinta tak bisa dipungkiri. Mungkin kita bisa bersembunyi, layaknya main petak umpet.

Sayang, cinta tak bisa disembunyikan. Ia bergelora, di dalam jiwa. Ia membara, saat mata saling memandang. Namun, kembali, bagaimana jika tak ada lagi pertemuan, kekasih? Atau, jika mereka bertemu lagi hanya untuk mengatakan selamat tinggal. Lebih baik Liessa mati. Mengakhiri hidup di dunia ini. Apalah arti hidup tanpa Gray?

How can we say forever…

Jika berakhir, semua sudah tak bisa dipungkiri, apakah bisa dikatakan selamanya cinta? Liessa tak mengerti. Selamanya, ia ingin mencintai selamanya. Namun, bagaimana bisa? Bertatap muka pun jarang, bahkan bayang tak pernah menyapa. Jadi, hanya gumpalan hitam, berupa sosok. Bayang-bayang.

Liessa ingin selamanya bersama Gray mengobrol tentang ilalang. Atau, serangga yaitu belalang. Hewan mungil kesukaan mereka berdua. Namun, Gray memilih untuk melihatnya sendiri. Meninggalkan Liessa, atau bisa dikatakan menitipkan kekasihnya pada angin, mentari, dan bintang-bintang. Jika sudah seperti itu, apa bisa dikatakan selamanya?

Wherever you go…

Liessa ingin ikut bersamanya. Bersama kekasih tersayang. Namun, ia sudah jauh tanpa bisa kembali direbut. Hanya waktu yang mungkin akan mempertemukan. Entah di dunia nyata atau dunia yang berbeda. Meskipun Liessa bisa, ia harus mencari ke mana? Gadis itu bahkan tak tahu di mana kekasihnya. Kekasih yang lebih memilih merantau daripada menjadi pengigau. Kekasih yang lebih memilih memetik anggur sendiri, daripada harus menjadi pengangguran. Sempat terlintas untuk menjemputnya ke tempat Tuhan. Namun, di mana? Di mana sang kekasih bertahan?

Whatever you do…

Cookies di atas piring telah lenyap, menjadi energi untuk tubuh gadis itu. Ia berjalan, meraih novel, dan membaca kalimat demi kalimat. Gadis itu berpikir; apa yang dilakukan sang kekasih ketika ia tengah melahap habis makan siangnya? Apa yang dilakukan kekasih ketika ia tengah menyesap tetesan terakhir pada birnya? Apapun itu, semoga bermanfaat untuknya. Apapun itu, semoga tak merebut semua perhatiannya, sampai tak ada ruang atau waktu untuk memikirkan Liessa di sini. Membeku, berkutat dengan selimut saat hujan mengguyur. Melebur.

I will be right here waiting for you…

Meskipun ia harus menunggu bertahun-tahun, menanti yang tak pasti, Liessa tidak akan menyerah. Ia tidak akan kalah hanya karena samudera memisahkan, hanya karena pegunungan yang menyembunyikan. Menghadang cinta yang meletup-letup. Namun, ia yakin akan saling percaya. Maka, Liessa di sini masih menanti. Ia akan menanti sampai Gray datang dan menjemputnya, lalu membawanya pergi bertemu Tuhan. Bersama. Semacam itulah impiannya yang terpendam.

Whatever it takes or how my heart breaks…

Gadis itu tidak peduli…

I will be right here waiting for you…

Ia hanya akan tetap menanti…

***

Sebuah kotak musik dengan mainan—berupa dua manusia; perempuan dan laki-laki—tengah dimainkan oleh pemiliknya tanpa benar-benar dinikmati. Mainan itu berputar pada porosnya seakan terlihat tengah berdansa dengan alunan lagu mellow yang menggema di seantero.

Liessa dan Gray saling menatap cermin. Tidak ada pantulan mereka di sana. Yang ada hanya pantulan dari dua orang yang sudah berumur tengah terisak menatap tubuh seorang gadis yang kini sudah terbujur kaku.

Alunan lagu masih terdengar dari kotak musik tersebut.

“Kita akan bersama… selamanya.”

Liessa tersenyum kepada Gray, sementara tangan mereka saling menggenggam dengan erat seakan tak ingin terpisahkan lagi. Liessa lalu menelengkan kepala ke arah meja yang terbuat dari kayu jati. Setengah miris ketika melihat sebuah surat kabar tergeletak di sana, yang memuat tentang dirinya:

Selasa, 14/02/2012. Seorang gadis ditemukan tak bernyawa di kamarnya dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Kabarnya, gadis itu melakukan percobaan bunuh diri dengan cara menyayat nadi pada pergelangan tangan. Tidak diketahui pasti alasan percobaan bunuh diri tersebut. Namun, orang tua mengatakan mungkin saja karena shock mendengar kekasihnya yang meninggal pada hari yang sama.

-------------------------------------------------------------------------------------

Terinspirasi dari lagu Right Here Waiting oleh Richard Marx

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun