Mohon tunggu...
Politik

Berdamai dengan Masa Lalu

14 September 2015   23:50 Diperbarui: 15 September 2015   00:45 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BERDAMAI DENGAN MASA LALU

(Rikardus Perapti Junaidi)

 

Pengalaman kelam pada masa lalu, sering meninggalkan luka teramat dalam pada diri manusia. Banyak yang terus larut dalam duka masa lalu mereka, meski tidak sedikit pula yang akhirnya keluar dari periode kedukaan untuk kemudian melanjutkan  hidup. Tentu keberanian tersebut, berangkat dari kerelaan memaafkan masa lalu mereka. Rela memaafkan semua yang terjadi,  untuk kemudian memulai periode cerah dalam hidup. Namun tentu saja perlu untuk digarisbawahi, bahwa memaafkan belum tentu harus melupakan. Inilah yang saya maksud dengan berdamai dengan masa lalu.

Berkaca pada situasi Indonesia hari ini, semua menyadari bahwa ada begitu banyak persoalan bangsa pada masa lalu yang belum memperoleh titik terang, apalagi penyelesaian. Pihak-pihak yang merasa dirugikan, pun pula para pencari keadilan terus saja berjuang mendapatkan pencerahan, dan keadilan. Adu argumentasi hingga demonstrasi terhadap penguasa, terus terjadi dalam upaya mengejar keadilan.

Tragedi mei, salah satu konflik bersejarah di indonesia, hingga kini masih menyisakan luka di hati keluarga, juga seluruh bangsa. Mungkin kita sudah lupa betapa penderitaan kaum reformis, mahasiswa, aktifis LSM, dan pejuang hak asasi manusia yang berkorban termasuk nyawanya, untuk menumbangkan rezim otoriter. Harapan sebagian besar pejuang pada masa itu, tentu saja adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Semua memperjuangkan demokrasi dan pemerintah yang bebas KKN, militer harus profesional, pers bebas, penghormatan atas hak asasi manusia dan segala seruan penuh harapan melalui gerakan reformasi. Namun dalam perjalananya, semua harapan itu sulit dilaksanakan karena faktor budaya, politik, hukum, sosial dan ekonomi feodal yang terlanjur melekat lebih dari empat dekade masa Orba.

Korupsi tetap merajalela, malahan dalam bentuk yang lebih merata, meluas, canggih, dan tidak tahu malu. Memang tidak ada lagi dwifungsi ABRI, pers lebih bebas, konstitusi bisa diamandemen, tetapi semua itu belum dapat menyejahterakan rakyat. Rakyat tetap miskin, malahan semakin miskin karena daya beli jauh menurun. Pemimpin politik terus berkelahi dan budaya mau menang sendiri terus merajalela.

Maka menyaksikan kenyataan Indonesia hari ini, bukan tidak mungkin tragedi mei akan terulang kembali. Apalagi bila kita terjebak dalam euforia semu, kebebasan bicara yang kebablasan, pameran kekayaan yang berlebihan secara terbuka dihadapan umum tanpa tenggang rasa di tegah kemiskinan rakyat. Misalnya ada pernikahan artis dengan biaya fantastis, disiarkan oleh lebih dari satu stasiun televisi secara langsung di tengah penderitaan sebagian besar masyarakat yang masih prihatin kehidupannya. Para pemimpin politik, wakil-wakil rakyat yang terus saja berkelahi di gedung DPR, agenda pemberantasan korupsi yang belum memuaskan, juga harga bahan bakar dan kebutuhan pokok yang melonjak, terus saja menyengsarakan rakyat. Kalau semua itu berlanjut, bukan tidak mungkin tragedi mei akan terulang kembali.

Jadi mari kita mulai dengan memaafkan. Pertama-tama memaafkan apa yang terjadi di masa lalu,   tanpa harus melupakan apa yang pernah terjadi. Kita berdamai dengan masa lalu, agar tidak menjadi buta terhadap apa yang sebenarnya terjadi hari ini di negara kita tercinta ini. Jangan sampai kita menuntut keadilan untuk apa yang terjadi di masa lalu, sementara itu kita lupa pada keadilan yang seharusnya kita miliki dan perjuangkan pada hari ini. Kita akan membuat pengorbanan para pejuang perubahan menjadi lebih berarti dengan memaafkan tanpa melupakan. Sebab dahulu mereka berjuang demi diri mereka dan demi kita yang bertahan hingga masa ini. Jadikan semua pengorbanan itu bernilai untuk keadilan kita hari ini. Damailah Indonesiaku.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun