Mohon tunggu...
Rikard Rahmat
Rikard Rahmat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politics of Deception ala Fadli Zon

15 April 2016   15:48 Diperbarui: 15 April 2016   15:54 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tonton Indonesia Lawyers Club-TVOne bertema "Polemik Lahan Sumber Waras" 12 April yang lalu?

Dari dulu, saya termasuk penggemar setia acara ini. Tapi, akhir-akhir ini, terutama dalam beberapa tayangan terakhirnya, acara ini cenderung tendensius dan menjauh dari mutu. Setidaknya ada tiga istilah untuk mengungkapkan fakta ILC 12 Februari itu: kebodohan etis, pembodohan etis, dan politics of deception.

Kebodohan Etis
Kebodohan etis itu adalah fakta diri seolah-olah mampu berbicara tentang dan menampilkan kebenaran, etika, dan moral, namun faktanya bobot bicara dan perilakunya jauh dari semua itu. Sekalipun terkait juga dengan perilaku/tindakan, kebodohan etis lebih sering terkait dengan kualitas pandangan seseorang.

Dengan kata lain, alur argumentasi dan fakta-fakta yang diungkapkannya tidak benar, namun diungkapkan dengan percaya diri dan meyakinkan seolah-olah sudah benar. Dalam kasus ekstrem, sebagian orang yang mengidap kebodohan etis tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Kenyataan ini jamak terjadi di negeri kita, tidak hanya di ILC itu: ngotot membela/mempertahankan apa yang dianggapnya benar, padahal di ujung sana mayoritas orang menganggap cara pandang atau cara pikirnya menyesatkan. Pemirsa bisa menunjuk siapa yang paling mewakili tipe ini dalam debat ILC itu (clue: sering muncul di tipi dan pernah di-bully dengan ramai).

Pembodohan Etis
 Pembodohan etis adalah upaya yang disengaja untuk menipu dan sengaja menyesatkan rakyat agar, dalam kasus topik ILC itu, orang akhirnya tidak memilih Ahok atau sekurang-kurangnya semakin turun tingkat elektabilitasnya. Pembodohan etis sering dilakukan orang-orang yang jago politik, para demagog, yang berharap pendengar sedemikian bebalnya sehingga menelan bulat-bulat apa yang mereka sampaikan dan pada gilirannya melakukan apa yang mereka harapkan (misalnya tidak memilih Ahok).

Pembodohan etis itu mirip dengan politics of deception, politik tipu daya. Harapan mereka sama: rakyat begitu bodohnya sehingga akan melakukan apa yang mereka harapkan. Rakyat mudah tertipu karena mereka jago membungkus ketidakbenaran-ketidakbenaran yang mereka ungkapkan dengan pilihan kata yang terkesan ilmiah, alur argumentasi yang terkesan runtut, serta mimik muka yang meyakinkan. Apalagi, dalam kasus ILC, sebagian “deceptor” itu toh sering menghiasi opini media massa terkenal, merupakan akademisi terkenal, mantan politisi, dan bahkan menyandang predikat wakil rakyat.  

Mari kita lihat salah satu contoh pembodohan etis atau politics of deception itu:

Dalam acara itu, Fadli Zon kurang lebih berpendapat: "Kerugian negara akibat pembelian lahan Sumber Waras itu tidak hanya 191 miliar, tetapi bahkan sebuah total loss, artinya kerugiannya sebesar harga pembelian itu seluruhnya. Itu berarti: sekitar 750 miliar. Alasan Fadli: HGB Lahan itu akan berakhir tahun 2018, yang berarti, menurut pemahaman Fadli, setelah tahun itu otomatis menjadi milik Pemprov DKI atau milik negara.”

Sepintas, masuk akal. Dan memang begitulah pemahaman banyak orang awam selama ini yang tidak paham soal HGB dan HGU. Tetapi, argumen Fadli (yang sayangnya tidak dikritisi moderator ILC dan bahkan dibenarkan oleh rekannya Prijanto dkk) masuk dalam kategori politics of deception.

Kalau mengikuti pemahaman Fadli, bodoh sekali Ciputra Grup menggelontorkan 600 miliar rupiah untuk membeli lahan yang sama, padahal mereka tahu (dalam kaca mata pemahaman Fadli) pemilikan mereka atas lahan itu akan berakhir pada 2018; setelahnya akan menjadi milik Pemprov.

Apakah Fadli tidak tahu bahwa pemahaman tentang status HGB dan HGU seharusnya tidak begitu? Pasti tahu. Apalagi dia wakil rakyat; pembuat undang-undang pula. Hemat saya, Fadli tidak sebodoh itu, dan karena itu pandangannya tidaklah tepat dikenai label “kebodohan etis”, meskipun ia (sama dengan orang orang yang mengidap kebodohan etis) ngotot-bertahan dengan ide tersebut dan mengungkapkannya berulang-ulang dengan mimik wajah yang meyakinkan. Fadli hanya sedang melakukan politics of deception.

Banyak contoh lain yang dikemukakan para lawan Ahok dalam acara ILC itu, yang semuanya mengungkapkan entah kebodohan etis ataupun politics of deception.  

Contohnya: Predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK untuk daerah-daerah yang kemudian terbukti gubernur atau bupatinya ditangkap KPK karena korupsi. Politics of deception dalam ILC mengatakan: BPK tidak harus masuk terlalu detail dan teknis, dan wajar kalau ada indikasi korupsi kepala daerah yang lolos dari auditing mereka. Pertanyaan warasnya: bukankah BPK harus masuk (audit) sampai sedetail mungkin sehingga meminimalisir sedapat mungkin kemungkinan lolosnya berbagai indikasi korupsi? Kalau tidak berhasil masuk secara detail dan kemudian ternyata gubernurnya terkena status tersangka, bukankah itu bukti kegagalan BPK juga? Jangankan Sumatera Utara, Provinsi NTT yang selalu langganan peringkat 2 korupsi di NTT pun selalu lolos dari auditing BPK. Tetangga sebelah saya bilang: di negeri antah berantah, bukan Indonesia, kalau soal begini (mengapa provinsi korup tetap lolos dari audit “BPK”-nya), itu karena berlaku kebiasaan terhadap para auditor: pergi dijamu, pulang disangu!

Di tengah-tengah berbagai upaya untuk membebaskan negeri ini dari korupsi dan di tengah-tengah upaya untuk mempertahankan gubernur yang bersih di Pemilu DKI pada Februari yang akan datang, hendaknya kita selalu awas dan kritis terhadap orang-orang yang mengidap kebodohan etis serta para deceptoryang, sedihnya, lebih sering muncul di tipi dan media massa nasional, daripada orang-orang baik dan waras. Hati-hati! Tapi, kabar baiknya: rakyat Jakarta sudah cerdas-cerdas semua.

(Eh, ngomong-ngomong, untuk Ketua BPK, gimana kabar Panama Papers-nya?  Bapak bilang, perusahaan itu telah beralih ke anak, atas sepersetujuan dan sepengetahuan Bapak. Tapi, ini sangat mengganggu kami, rakyat sederhana dan bodoh hukum ini: bukankah Bapak semestinya meng-audit dan mengingatkan perusahaan anak sendiri terlebih dahulu, baru meng-audit (pejabat) negara? Peace, Pak Ketua.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun