Tidak Adil
Perintah undang-undang ini memperkuat amunisi publik, setelah sebelumnya Pemprov NTT seakan sulit memahami argumentasi berbasis common sense dan pertimbangan keadilan untuk melawan privatisasi Pede.
Pertama, atas argumentasi privatisasi untuk memajukan pariwisata dan pendapatan daerah, misalnya, rakyat bertanya: bagaimana mengatakan untuk kepentingan rakyat sementara partisipasi rakyat untuk menentukan apa dan bagaimana Pede dikelola, diabaikan begitu saja? Faktanya, perumusan kebijakan tentang Pede itu dilakukan secara diam-diam di ruang gelap, antara gubernur dan investor. Apa yang dapat diharapkan dari sebuah keputusan di ruang gelap selain sebuah persekongkolan untuk memuluskan kepentingan pribadi? Adakah sesuatu yang terang datang dari ruang gelap? Apalagi, keputusannya berupa privatisasi.
Kedua, Gubernur Lebu Raya mungkin akan mengatakan kebijakan itu dilandasi kewarasan dan niat baik kendatipun tidak melibatkan pertimbangan publik. Namun, apa yang dimaksudkan dengan niat baik ketika dari seluruh wilayah Pantai Pede, tidak ada ruang yang tersisa untuk publik?
Jelas sekali, kita akan menjadi bahan olok-olok dunia dan generasi mendatang bahwasanya di sebuah kota pantai, rakyatnya tidak dapat menikmati keindahan pantainya karena seluruhnya telah diserahkan ke investor. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, di luar lahan tigapuluhan ribu meter persegi itu telah berdiri banyak hotel yang eksklusif, yang sampai saat ini juga menyimpan persoalan hukum yang serius karena melanggar Garis Sempadan Pantai (GSP).
Demi membela kewarasan dan memperjuangkan keadilan, publik Mabar telah bersatu-hati meneriakkan semboyan: “Bukan Uang, tapi Ruang (Natas Labar)”. Kebahagiaan dari menikmati keindahan alam tidak bisa diukur dengan uang. Apalagi, kebahagiaan itu toh tidak diberikan oleh pemerintah, tetapi oleh alam. Ketika pemerintah Mabar saat ini dianggap gagal memuaskan dahaga rakyat akan pembangunan, masa kepuasan yang diberikan oleh alam mau dicaplok juga?
Kalau privatisasi itu dibatalkan, pariwisata Mabar sama sekali tidak terganggu. Masih banyak peluang dan ruang lain yang bisa digali dari kepariwisataan demi menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Persoalannya, pemerintah terlihat belum berhasil menangkap dan memaksimalkan peluang-peluang itu. Pembatalan privatisasi juga tidak menghilangkan peluang pemerintah Mabar untuk mendapatkan penghasilan. Itu kalau uang yang mau dicari. Ekstremnya, Pede yang tersisa dibiarkan apa adanya pun, setiap pungutan Rp2000 kepada setiap orang yang memasuki Pede potensial menghasilkan penerimaan daerah yang bahkan melampaui pajak investor.
Ketiga, seandainyapun ada undang-undang yang membenarkan hak Pemprov NTT atas lahan Pede tersebut (seandainya!) dan tafsiran kita keliru atas bunyi Undang-Undang No 8 Tahun 2003, itu pun tidak serta merta membenarkan tindakan privatisasi Pemprov NTT. Kemungkinan kekeliruan itu diangkat pihak tertentu akhir-akhir ini di media sosial, yang menegaskan adanya hak privat Pemprov NTT untuk mengelola aset-aset miliknya.
Pembenaran oleh suatu aturan atau undang-undang (kalau ada!), termasuk atas hak privat Pemprov NTT untuk mengelola aset Pede, tidak bisa mengalahkan akal sehat serta rasa keadilan publik. Aturan hukum atau undang-undang semestinya tidak berlawanan dengan akal sehat dan rasa keadilan.
Di sinilah letak pentingnya kebijaksanaan dalam merancang kebijakan. Hak privat Pemprov, kalau dibenarkan, perlu diletakkan dalam perspektif itu.
Kebijaksanaan itu tercermin dalam keputusan yang bijak, sebagaimana implisit dinyatakan dalam kata ke-bijak-an itu sendiri. Keputusan yang bijak atau kebijaksanaan itu lahir dari pribadi-pribadi pemimpin yang setia menjaga integritas diri, yang secara sosial-politik berbuah pada kesetiaan mendengarkan dan melaksanakan aspirasi rakyat. Undang-undang, misalnya, bisa saja memberi ruang kepada kepala daerah untuk mengeksploitasi sumber daya mineral di tiap-tiap daerah. Namun, pemimpin yang bijak tidak akan melakukannya jika sumber mineral itu berada di bawah perkampungan penduduk, di tanah ulayat yang menjadi basis ekonomi-sosial-kultural sebuah komunitas, ataupun di kawasan hutan lindung. Jadi, hanyalah pemimpin yang bijaksana yang dapat membedakan bahwa apa yang ‘dapat’ tidak selalu ‘boleh’ dilakukan. Pemimpin seperti ini tidak serta merta mempersamakan ‘dapat’ dan ‘boleh’.