Mohon tunggu...
Rikard Rahmat
Rikard Rahmat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

BPJS Kesehatan yang Nekad dan nan-Ambisius

23 Maret 2016   11:02 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:18 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah tulisan di Kompasiana beberapa waktu lalu di bawah judul “BPJS Kesehatan dan Kegalauan Karyawan Swasta”, saya menulis apa yang sebetulnya mulai terbukti sekarang. Berikut petikannya:

Negara bisa saja tetap memberlakukan jaminan kesehatan secara menyeluruh melalui BPJS, tetapi dengan satu syarat: benahi dahulu infrastruktur layanan kesehatan mulai tingkat Posyandu, klinik, Puskesmas, sampai RSUD. Pembenahan itu berfokus pada lima indikator mutu yang paling utama: mutu atau kompetensi tenaga medis, kelengkapan dokter spesialis di klinik-klinik, kecepatan layanan, jaminan ketersediaan obat-obatan, vaksin, dan fasilitas penunjang, serta kebersihan dan kenyamanan. Melihat kondisi objektif saat ini, rasa-rasanya kita harus menunggu sampai 15–20 tahun lagi. Itu pun kalau negara serius mengurusinya mulai dari sekarang. Sebelum semua itu dibenahi secara mendasar, BPJS akan terus menjadi kontroversi serta beban bagi sebagian warga negara.”

Kontroversi BPJS Kesehatan

Apakah yang terbukti itu? Itu adalah: BPJS Kesehatan akan terus menjadi kontroversi karena dibangun di atas basis yang terlampau ambisius tanpa memperhitungkan realitas berupa kemampuan anggaran pemerintah, infrastruktur layanan kesehatan, serta sikap mental rakyat Indonesia. Bagaimana menjelaskannya?

Pertama, kemampuan anggaran pemerintah. Pemerintah bersama DPR sudah mengetuk palu bahwa jangkauan peserta BPJS Kesehatan adalah seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya warga masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi. Lugasnya: orang kaya raya sampai rakyat miskin-jelata dapat menikmati layanan BPJS Kesehatan. Iya, 250 juta orang.

Itu berarti, sebagai konskuensinya pemerintah harus siap melayani 250 juta orang. Seharusnya, bagian dari kesanggupan itu adalah memberikan dana talangan ketika BPJS Kesehatan mengalami defisit. Lha, kan undang-undang JKN itu diketok dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi? Bagaimana faktanya?

  • Pemerintah galau-gundah-gulana ketika fakta menunjukkan BPJS Kesehatan mengalami minus 7 triliun pada awal tahun ini. Mau dapat uang dari mana? Penerimaan pajak dan penghasilan negara nonpajak di luar harapan.
  • Dari kelompok peserta penerima upah, belum semua juga memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan. Mereka ini umumnya berasal dari kalangan karyawan menengah ke atas yang tidak mau merisikokan diri dan keluarganya dengan menjemput layanan BPJS Kesehatan (meskipun menyetor iuran bulanan), dan lantas memilih layanan kesehatan sendiri sekalipun dengan biaya sendiri. Kualitas layanan BPJS Kesehatan dianggap kurang kredibel, rumit, dan penuh risiko. Tidak bisa dibayangkan kalau mereka juga memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan. Defisit BPJS Kesehatan pasti akan berlipat-lipat.
  • Belum semua warga negara menjadi peserta saja BPJS Kesehatan sudah minus, bagaimana kalau seluruh warga negara (250 juta orang) menjadi pesertanya? Tidak bisa dibayangkan kalau mereka juga memanfaatkan layanan BPJS Kesehatan. Defisit BPJS Kesehatan bukan berlipat-lipat lagi, tetapi BPJS Kesehatan bangkrut.

Ketika pemerintah gundah gulana meng-cover BPJS Kesehatan yang mengalami defisit, bukankah itu berkebalikan dengan pemandangan saat-saat awal ketika pemerintah bersama DPR dengan kepercayaan diri yang tinggi mengesahkan UU JKN? Bagaimana kajiannya waktu itu? Kok jadi begini?

Mungkin kita meniru-niru Amerika Serikat dengan OBAMA-CARE-nya. Namun, kita lupa, negara ini memiliki sumber daya keuangan yang berlimpah, termasuk misalnya untuk menutupi defisit.

Kedua, infrastruktur layanan kesehatan. Di mana-mana dikeluhkan infrastruktur BPJS, yang membuat orang khawatir dengan banyak risiko: antri, was-was akan kompetensi tenaga medis, fasilitas dan obat-obatan seadanya, tidak adanya dokter spesialis, tenaga medis tidak ada di tempat, risiko dalam perjalanan ketika harus ke rumah sakit rujukan, dan lamanya proses di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit rujukan. Ada juga kekhawatiran dengan adanya penetapan jumlah maksimum honorarium jasa dokter, yang berdampak pada kualitas layanan. Konsumen juga ragu apakah obat dan vaksin yang dibutuhkan tersedia secara lengkap, gratis, dan bermutu (nongenerik). Kebijakan diskriminatif rumah sakit rujukan berupa pembatasan jumlah kamar rawat inap bagi pasien BPJS juga telah menjadi keluhan yang umum. Belum lagi kebijakan pembatasan jumlah pasien per dokter per hari yang bisa berakibat penundaan waktu pengobatan. Last but not least, tenaga medis di rumah sakit pemerintah kerap dituding bersikap diskriminatif terhadap “pasien BPJS”.

Pemerintah mencoba mengatasi keterbatasan di rumah sakit pemerintah dengan menggandeng rumah sakit swasta. Namun, tampaknya hitung-hitungan kerja samanya kurang memperhitungkan variabel-variabel sebagaimana biasanya berlaku pada sebuah institusi bisnis. Sama halnya ketika penerbit swasta diminta untuk mencetak buku-buku elektronik buatan pemerintah, namun harganya hanya mengikuti harga pokok produksi (HPP). Tidak mengherankan, kerja sama semacam itu ditanggapi dengan dingin.

Sebagai jalan keluarnya, pemerintah menaikkan iuran bulanan. Jalan instan ini membuat orang menyindir “Berani mengesahkan UU kok gak modal”, “Mau enaknya saja.” Pihak yang paling gusar, tentu saja, adalah karyawan-karyawan perusahaan yang selama ini belum sedikit pun menikmati layanan BPJS Kesehatan karena dianggap penuh risiko dan tidak nyaman, namun tetap membayar iuran bulanan.

Rakyat kecil juga pasti keberatan dengan kenaikan iuran itu. Bagi mereka, pemerintah harus subsidi. Namun, pada saat yang sama, pemerintah menyatakan tidak memiliki anggaran berlebih.  

Mungkin pemerintah dan DPR meniru-niru Amerika Serikat dengan ObamaCare-nya. Tapi kita lupa bahwa jauh sebelum ObamaCare itu berlaku, infrastruktur kesehatannya sudah relatif merata dan berkualitas di seluruh wilayah atau negara bagian. Itulah yang membuat mereka percaya diri menggolkan OBAMA-CARE. Di negara kita, ketimpangan infrastruktur sangat mudah terlihat. Kualitas infrastruktur BPJS Kesehatan di kota-kota saja masih jauh dari harapan.

Ketiga, sikap mental rakyat Indonesia. Seharusnya dulu sudah dipikirkan bahwa variabel menentukan terhadap keberhasilan program JKN tidak hanya menyangkut infrastruktur medis, tetapi juga “infrastruktur” mental warga negara. Mungkin kita meniru Amerika Serikat dengan ObamaCare-nya. Namun, yang tidak dilihat adalah mental kedua warga negara berbeda. Di negara maju seperti AS, kepedulian terhadap kesehatan cenderung tinggi. Oleh karena itu, para warganya lebih peduli pada pencegahan penyakit dibandingkan negara-negara berkembang seperti kita. Persoalan gizi dan pola hidup sehat menjadi bagian integral dari kepedulian itu. Selain itu, standar kesehatan mereka juga sudah relatif baik, sebagaimana tercermin dari usia harapan hidupnya. Kita masih jauh, namun sudah mencoba-coba meniru-niru sistem di Amerika Serikat.  

Jalan Keluar

Menurut saya, ada setidaknya 3 (tiga) jalan keluar. Pertama, revisi UU JKN. Di dalam undang-undang itu harus dipastikan bahwa dalam hal defisit, tanggung jawab negaralah untuk meng-cover, bukan tanggung jawab warga negara dalam bentuk kenaikan iuran, terutama rakyat miskin.

Kedua, defisit BPJS Kesehatan dapat diatasi dengan menaikkan iuran peserta penerima upah minimal sebesar 100%, dengan catatan: mereka dapat dan bebas memilih Rumah Sakit langganan yang menurutnya baik dan nyaman. Selama ini, semua peserta diperlakukan sama (dan itu tidak fair): tunduk pada model layanan berjenjang. Jadi, mereka ini memiliki kartu khusus. Hal ini mengandaikan bahwa pemerintah (BPJS Kesehatan) mampu membuat perjanjian kerja sama dengan rumah-rumah sakit swasta besar, yang saling menguntungkan alias tidak membebankan salah satu pihak. Kalau hal ini diterima dan disepakati, pemerintah harus lebih serius menggalang keanggotaan dari perusahaan-perusahaan swasta. Dalam konteks ini, memberi punishment bagi perusahaan swasta yang lalai mendaftarkan anggotanya terasa lebih fair karena imbal baliknya setara, yaitu mendapat layanan kesehatan yang memuaskan.

Apakah pemilik perusahaan bakal menjadi korban? Tidak juga. Sebelum BPJS Kesehatan berlaku, perusahaan telah mengalokasikan anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehatan karyawannya. Kalau ada perusahaan yang tidak mengalokasikan anggaran yang cukup, saya kira itu pemerintah (dalam hal ini departemen ketenagakerjaan) kurang tegas dan keras saja, sebab umumnya secara objektif mampu.

Ketiga, pada saat yang sama, pemerintah harus serius membenahi infrastruktur layanan kesehatannya di seluruh Indonesia. Kesan kami sebagai warga negara, pertambahan peserta BPJS Kesehatan tidak diimbangi komitmen menambah kualitas dan kuantitas infrastruktur layanan kesehatan secara merata di seluruh Indonesia. Akibatnya, keluhan yang sama berulang berkali-kali.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun