Mohon tunggu...
Rikard Rahmat
Rikard Rahmat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Save Ahok!

8 Maret 2016   16:49 Diperbarui: 8 Maret 2016   17:01 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja Ahok mendeklarasikan diri bersama Heru Budi Hartono sebagai pasangan independen untuk DKI 2017, PDIP seperti kebakaran jenggot. Sebagaimana ditulis detik.com (8/03), Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengumpulkan elite PDIP di kediamannya, Senin (7/3) malam kemarin. Hasil pertemuannya, Megawati memerintahkan PDIP DKI memperkuat konsolidasi dan melawan deparpolisasi di saat jelang Pilgub DKI 2017.

Rakyat Jakarta pun harus siap untuk 2 (dua) hal. Pertama, ada kemungkinan yang sangat besar bahwa PDIP akan mengusung calon sendiri. Jadi, Pilkada DKI akan memiliki minimal 2 pasangan calon. Kedua, khusus untuk pemilih Ahok, ada kemungkinan Ahok akan dikepung dari berbagai sisi. 

Kepungan yang paling sangar, tentu saja, berasal dari PDIP, pertama-tama karena merasa tersinggung (1) dengan pilihan Ahok ke jalur independen padahal sebelumnya Megawati telah memberi lampu hijau bagi dirinya untuk berpasangan dengan Djarot; (2) sikap Ahok yang dianggap lancang dengan mengultimatum sebuah partai besar yang selama ini banyak mendukungnya di DKI; (3) terancamnya peluang emas bagi kader potensialnya, yaitu Djarot, akibat gagal menjadi pendamping Ahok. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Ahok memberi waktu 1 (satu) minggu bagi PDIP untuk memutuskan mendukung pasangan Ahok-Djarot di jalur independen atau tidak.

Sikap PDIP yang terkesan tersinggung dan reaktif ini (melihat hubungan yang mesra sebelumnya dengan Ahok) sesungguhnya tidak menguntungkan PDIP, malah menimbulkan antipati terhadap partai tua ini. Mengapa?

Pertama, rakyat DKI memilih figur, bukan partai. Kalaupun PDIP mengusung calon sendiri, figur Ahok jauh lebih kena di mata pemilih DKI karena prestasi-prestasinya. Ingat kembali Pemilu presiden pada waktu lalu: banyak orang memilih Jokowi bukan karena diusung PDIP, melainkan karena sosok Jokowi itu sendiri. Kalau PDIP usung figur sendiri dan ternyata kalah, muka mau ditaruh di mana?

Kedua, sikap PDIP yang mengulur-ulur penentuan pasangan calon mencoreng citranya sendiri, sekalipun itu atas nama “mekanisme partai”. Ironisnya, di banyak kesempatan lain, banyak politisi PDIP yang memberi lampu yang cukup terang bagi Ahok. Megawati juga bahkan sudah merestui Ahok-Djarot cukup lama. Sikap mengulur-ulur itu memberi pesan adanya tawar-menawar tertentu, setidaknya pada akhirnya membuat Ahok tunduk sebagai “petugas partai”.

Siapa pun tahu, apalagi setelah pengalaman Jokowi berhadapan dengan partainya, status sebagai “petugas partai” membelenggu kebebasan dan kreativitas gubernur. Kekhawatiran seperti inilah yang justru tidak diinginkan warga DKI, melalui Teman Ahok. Di negeri ini, “petugas partai” identik dengan “harus mengikuti kehendak dan kepentingan partai”, yang tidak harus sejalan dengan kepentingan rakyat (meskpun PDIP sering dengan percaya diri mengatakan kehendak PDIP adalah kehendak rakyat). Lha, merevisi UU KPK, yang dimotori PDIP, emangnya kehendak rakyat? Pie tho?

Lagi pula, dan ini yang paling penting: gubernur dengan prestasi yang luar biasa seharusnya ditetapkan (baca: didukung kembali) dengan mekanisme yang luar biasa pula, bukan mekanisme biasa. Untuk Ahok kok lama dan susah amat? “Letoy, PDIP” kata para ABG. (Colek Bu Mega dan Sekjen Partai PDIP!)

Ketiga, sikap itu membuat Ahok terombang-ambing. Bisa saja dalam perjalanan proses mekanisme partai, Ahok tidak dipilih karena tidak sesuai dengan kriteria partai. Wajar dong Ahok ultimatum? Toh, tidak ada yang jamin kan? Siapa yang rugi? Iya, Ahok dan terutama warga DKI. Sementara, seperti kata Teman Ahok, waktu sisa untuk mengumpulkan KTP sudah habis.

Keempat, sikap itu menunjukkan PDIP terlalu gengsi dan tinggi hati. Ego partai terlalu besar, bukan aspirasi rakyat. Padahal, untuk rakyat, janganlah terlalu gengsi. PDIP juga dari rakyat. Karena itu, kalau rakyat menginginkan Ahok maju, janganlah dihalang-halangi atau dipersulit. Dengan kata lain, sikap PDIP yang tidak menyerap aspirasi rakyat dan malah balik mengepung Ahok hanya akan mengatakan satu hal: PDIP mengikuti kepentingan partai, bukan kepentingan rakyat.

Kelima, dengan mengusung calon sendiri dan melawan Ahok secara terbuka, itu juga berarti PDIP siap menghadapi perang terbuka dengan rakyat. Hal ini tidak baik untuk citra PDIP sendiri, apalagi harus mengikuti PILKADA serentak pada 2017. Para pendukung Ahok pasti akan menghukum partai tua ini dengan dua cara: tidak memilih calon PDIP (dan sebaliknya memilih Ahok) dan tidak memilih calon-calon PDIP pada Pilkada serentak 2017. Hukuman lebih keras akan terjadi jika PDIP berkoalisi dengan calon dengan partai-partai lain, yang selama ini menjadi lawan sengit Ahok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun