Biasanya aku jarang menelepon ibu. Namun sejak ayah tidak ada aku jadi sering menelepon ibu. Aku jadi galak kepada ibu. Seolah ibu tidak lebih mengerti dunia ini dari pada aku.
Ibu layaknya pemerintah, dan aku mahasiswa yang tidak bisa membedakan antara kritis dan nyinyir. Ada saja kebijakan ibu yang membuatku marah, lalu meneleponnya dengan nada galak. Padahal, apa yang aku tahu soal dunia ini? aku baru saja menjadi 23 tahun beberapa bulan lalu, padahal Ibu sudah hampir setengah abad umurnya.
Aku selalu sok tahu, karena sok merasa lebih banyak baca, dan lebih mengerti perkembangan mutakhir dunia. Sementara perkembangan mutakhir yang ibu tahu "hanyalah" Adik laki-laki ku yang sialan itu mulai menggunakan obat-obatan terlarang.
Aku anak yang tidak berbakti. Aku kesal sekaligus lega berada jauh dari rumah. Aku kesal karena tidak dapat membantu adikku mengerjakan pekerjaan rumah, atau mengajarinya membuat pidato berbahasa inggris. Akan tetapi aku lega karena tidak perlu menghadapi kericuhan rumah yang setiap pagi seperti kapal pecah, penuh dengan teriakan.
Aku lelah, tetapi aku selalu melupakan kelelahan ibu. Aku takut, tetapi aku melupakan ketakutan Ibu.
Aku anak yang egois karena hanya peduli pada ketakutanku. Aku membaca ibu lewat rasa takut, aku melihat dunia lewat rasa takut. Lewat rasa takut juga aku menyalahkan segala-galanya, ya segalanya, kecuali Tuhan. Karena aku percaya adalah aku dan manusia di sekitarku yang bertanggung jawab atas semua ini. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri.
Maka aku semakin ketakutan. Tidak ada yang bisa kusalahkan, juga bukan Tuhan. Tanpa ada yang bisa disalahkan. Meraba-raba. Aku mengerti agama sebatas fatamorgana, aku membaca filsafat hanya seperti menonton silat, dilihat sesaat, aku mengerti seni tak lebih dari warna warni.
Maka aku mulai menyalahkan diri sendiri. Mulai mencari pledoi akan segala ketakutan, Â stress dan frustasi. Aku membenarkan diriku merokok dan minum bir di ujung Setiabudi. Konyol. Panik membuat manusia lupa berpikir.
Akhirnya ketakutan pun selalu termanifestasi dalam setiap perkataan galakku pada ibu.
Aku sedih karena adikku terpaksa tidak masuk sekolah menengah bergengsi karena mahalnya uang masuk. Aku membayangkan segala kemudahanku bersekolah di mana pun tempat yang aku pilih. Aku tahu adikku hanya menahan diri ketika dia bilang dia senang sekali dengan sekolahnya yang sekarang ini. Namun aku tidak punya keberanian menangis di hadapan ibu.
Maka aku marah.