Mohon tunggu...
rika novayanti
rika novayanti Mohon Tunggu... -

I am high and colorful as the rainbow

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(SOK) membaca FPI lewat si Erich Fromm

7 Februari 2011   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal inilah yang kemudian (mungkin) melembaga, dan sering kali melupakan hubungan personal antara seseorang dengan tuhannya.

Dalam konformitas ini, manusia adalah bentuk patuh, masokhisme, sementara tuhan dalam pandangan mereka adalah sosok sadisme, bentuk yang ingin mendominasi dan tidak memberi ruang bagi objeknya untuk berfikir. Hal ini membawa manusia dalam jerat seperangkat aturan yang tak terbantahkan.

Hal-hal mengerikan ini telah menghilangkan agama dan tuhan dalam bentuk personalnya di negara ini. Agama adalah lembaga mengerikan yg jika kamu tidak memilih untuk berada di dalamnya maka kamu adalah pendosa yg tak terampunkan kesalahannya.

Saya tidak mumpuni untuk menyalahkan agama. Saya tidak sedang menyalahkan agama. Saya tidak sedang menyalahkan apapun. Hanya saja saya pikir tuhan punya tempat yang jauh lebih berguna selain sebagai penanda di kartu-kartu identitas.

Lagi pula, begitu dia atau tiada di kartu identitas, apakah itu menjadi hal yang mengukuhkan ada atau tiadanya seseorang?

Ahmadiyah misalnya, tak ada agama itu dalam kartu identitas, mungkin hal itukah yg menyebabkan pemerintah enggan peduli pada ke-ada-annya? Sehingga hanya bisa prihatin sambil membiarkan yang 'tiada' kembali menjadi tiada?

Saya bukan pembaca intense erich fromm. Bingung saya melihat cara-cara beragama di indonesia ini. Apakah 'trance' bagi kelompok Baasyir, FPI dan lain-lain bukan hanya pada konformitas mereka, tetapi juga akhirnya karena konformitas dan masokhisme itu semakin kental, mereka mulai memaksa orang-orang lain untuk masuk dalam lingkaran mereka sebagaimana yang (mereka pikir) dititahkan oleh tuhan mereka?

Atau janga-jangan segala yang mereka lakukan justru manifestasi dari segala ketakutan yang tidak tampak? Karena mereka belumlah merasa aman dengan hubungan keagamaan yang selama ini mereka bangun. Mereka justru terus mencari cara untuk menghilangkan keterpisahannya, mengira-ngira cara terbaik salah satunya melalui pembantaian-pembantaian yang mereka lakukan. Seperti ketika seorang anak kecil yang dengan kejamnya mencari tahu mengenai capung dengan cara mempreteli sayap capung. Begitu juga cara mereka mencari cara mengatasi keterpisahan dan ketakutan yang tak tampak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun