Kesembilan, visi strategis, pandangan2 strategis untuk menghadapi masa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan apa pun yang akan diambil saat ini harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.
Dalam konteks politik dan kekuasaan, Islam selalu menekankan pentingnya kesadaran kolektif bahwa kekuasaan tertinggi atau puncak segala kekuasaan dan politik adalah "siyasah ilahiyyah wa inabah nawabiyyah" yang menunggalkan otoritas kekuasaan hanya pada Allah swt. Dalam bahasa maududi, pandangan ini selaras dengan politik keadilan (siyasah 'adilah) yang memberikan napas kepada pemerintahan Islam dari zaman Nabi hingga sekarang.
Sistem pemerintahan yang dibangun Nabi Saw berakar dari konsep "al-mujtama' al madani" yang bermuara pada sistem nilai yang dikaitkan kepada tradisi "al hanifiyyah al samhah" sebagai tujuan siyasah syar'iyyah yang meletakkan dasar-dasar politik islam sebagai risalah universal.
Pemerintah Nabi Saw melahirkan perspektif global untuk memupuk kesepahaman di kalangan elite dan rakyat dalam bentuk tindakan bersama atas dasar yang mufakat yang memperhitungkan aspek moral dan prinsip-prinsip hidup yang mulia dan bermartabat.
Hal mendasar yang menjadi poros perbincangan dalam politik pemerintahan Islam adalah konsep syura, prinsip amar ma'ruf nahi-munkar, pembentukan ahl al-hall wa al-'aqd, malahah, dan dasar immah.
Secara sederhana, dari awal pembentukan negara, Nabi telah memikirkan dan merancang fasilitas penggemblengan sumber daya manusia dan pembelajaran publik, semisal sistem halaqah di masjid, kuttab, untuk mengajak masyarakat membaca dan menulis. Di situlah berkumpul ulama dengan berbagai agenda diskusi pemikiran, musyawarah, dan pendidikan umat.
Kekuatan ini senantiasa konsisten untuk memulai gerakan perubahan dan mempertahankan prinsip akidah, moral, dan akhlak. Tentu saja semuanya dibingkai dalam frame solidaritas untuk pembangunan bangsa dan negara, dalam atmosfer keragaman, pluralitas, dan kebebasan beragama.(Abdul Mukti Tabrani:2014)
Kepemimpinan yang efektif sangat dipengaruhi oleh kepribadian pemimpin. Setiap pemimpin perlu memiliki aspek-aspek kepribadian yang dapat menunjang usahanya dalam mewujudkan hubungan manusia yang efektif dengan anggota organisasinya.
Kesuksesan atau kegagalan suatu organisasi ditentukan oleh banyak hal, yang salah satunya adalah kepemimpinan yang berjalan dalam organisasi tersebut. Pemimpin tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh positif bagi bawahannya untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diarahkan dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan.
Ketua NU sebagai pimpinan jalannya organisasi dituntut untuk bisa menjalankan peran dan fungsinya sebagai seorang pemimpin dengan baik. Karena sikap dan tindakan seorang pimpinan dijadikan sebagai indikator atau tolok ukur seberapa besar antusias atau tingkat partisipasi bawahan dalam menjalankan kewajibannya.
Ketua NU juga dapat mengatur masyarakatnya secara keseluruhan tetapi bukan berarti memerintah tanpa diimbangi dengan tindakan yang bisa memberikan motivasi terhadap bawahannya. Karena dalam menjalankan tugasnya sebagai pengayom masyarakat, ketua NU juga sebagai contoh dalam masyrakat.(Achmad Cholil:2012)