Angan Adi melayang ke masa lalu. Hari ini genap tiga tahun semenjak peristiwa itu terjadi. Saat itu ia baru saja turun dari kapal pesiar Robinson Cruise yang berlabuh di Los Angeles Cruise Port, ketika ia menerima kabar di telepon genggamnya dari kepolisian setempat.
“Hello, apakah ini Adi Robinson? Kami dari Los Angeles Police Department.” Suara seorang lelaki di ujung telepon mencari keberadaan dirinya.
“Ya, betul ini dengan Adi. Ada apa ya?” Adi mencoba mencari tahu.
“Kami hendak memberikan info bahwa kedua orangtua Anda, Mr. Bill Robinson dan Mrs. Emma Robinson mengalami kecelakaan helikopter. Sekarang mereka sedang dibawa oleh ambulans ke Cedars-Sinai Medical Center untuk mendapatkan pertolongan.” Lelaki itu membawa kabar buruk untuk Adi.
“Apa? Baik, saya akan segera ke sana.” Adi tercekat dan suaranya terdengar amat panik. Ia kemudian menutup teleponnya dan dengan tergesa-gesa berjalan menuju ke tempat biasa mobilnya diparkir.
Adi lalu memacu mobil sport Mercedes AMG GT berwarna merah miliknya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit tempat Mr. dan Mrs. Robinson dirawat. Sesampainya di rumah sakit, Adi langsung ke bagian Unit Gawat Darurat dengan setengah berlari. Ia disambut oleh perawat wanita yang mengenakan pakaian serba putih-putih.
“Ruangan tempat Mr. Bill Robinson dan Mrs. Emma Robinson dirawat di mana, Ma’am?” Adi bertanya dengan napas terengah-engah.
“Anda siapanya ya?” Perawat wanita ini malah balik bertanya.
“Saya anaknya.” Andi menjawab dengan tidak sabar.
“Silakan menunggu di ruang tunggu dulu ya. Kedua orangtua Anda sedang ditangani oleh dokter sekarang.” Perawat yang berperawakan setengah tua itu mempersilakan Adi untuk duduk di dalam ruangan yang cukup lebar namun lengang di dekat UGD.
Lima belas menit telah berlalu. Adi masih menunggu dengan cemas. Tiba-tiba seorang dokter keluar dari ruangan tindakan dan menghampiri Adi.
“Apakah Anda keluarga dari Mr. Bill Robinson dan Mrs. Emma Robinson?” Raut wajah dokter itu terlihat datar.
“Ya betul, saya anaknya.” Adi mulai merasakan firasat yang tidak baik.
“Kami sudah berusaha sebaik mungkin, namun dengan sangat menyesal kami beritahukan bahwa kedua orangtua Anda tidak dapat tertolong lagi. Mereka akhirnya menghembuskan napas terakhir karena mengalami luka berat di bagian kepala dan bagian tubuh yang lainnya.” Dokter tersebut menepuk bahu Adi secara perlahan untuk memberikan kekuatan saat menerima berita duka itu.
Seketika Adi merasakan lututnya lemas lunglai. Ia hampir jatuh ke lantai jika tubuhnya tidak ditopang dengan sigap oleh dokter yang berada di sebelahnya.
Mendadak seperti ada mata pisau yang mengiris-iris dadanya. Perih, namun tak berdarah. Lalu semuanya gelap. Adi tak ingat apa-apa lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H