Mohon tunggu...
Rika Apriani
Rika Apriani Mohon Tunggu... Novelis - Writer, author, blogger. Nama Pena: Zanetta Jeanne.

Creating my own imaginary world through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Andai Aku Bisa Merebutmu

13 Maret 2024   08:08 Diperbarui: 13 Maret 2024   08:14 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels.com / Marta Wave

Aku tak tahu apa yang membuatku menyukai gadis itu. Saat aku pertama kali melihatnya di taman, aku langsung tertarik kepadanya. Sebenarnya gadis itu tidak lebih cantik dari perempuan-perempuan lain yang datang ke taman. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang menghipnotisku, tak jemu-jemunya aku memandang wajahnya. Ada sesuatu dalam senyumannya yang menarikku, seakan-akan magnet yang kuat dan tak bisa lepas. Oh, sungguh mempesona.

Seperti biasa gadis itu datang dan menghabiskan waktunya dengan kegiatan rutin di sore hari. Yaitu membaca buku di bangku cokelat di dekat pohon Flamboyan yang teduh berbunga warna merah di sudut taman. Terlihat raut wajahnya yang serius membaca buku yang dibawanya. Masih sama seperti kemaren, novel Anna Karenina, karya besar pengarang terkenal asal Rusia, Leo Tolstoy. Aku cukup mengagumi pilihannya akan novel yang dibacanya. Sepertinya ia termasuk orang yang memiliki kepintaran di atas rata-rata, mengingat tidak semua orang menyukai novel realis yang cukup idealis untuk dibaca.

Sesekali gadis itu melemparkan remah-remah kecil roti yang dibawanya ke arah merpati-merpati yang sedang berkumpul di dekatnya. Kemudian ia tersenyum dan melanjutkan bacaannya. Rutinitas yang ia lakukan di taman kurang lebih sama sehingga aku menjadi hapal di luar kepala tentang kegiatan gadis itu setiap sore. Namun sayang, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Aku tak punya keberanian untuk menyapanya, apalagi untuk mengobrol dengannya.

Keasyikanku mulai terusik ketika suatu sore ada seorang lelaki datang ke taman kami dan berkenalan dengan gadis itu. Aku tak mampu mencegahnya. Aku hanya bisa mengamati dari kejauhan. Makin lama kulihat mereka berdua semakin dekat. Setiap sore mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol berdua, bahkan tertawa bersama. Aku terbakar api cemburu. Aku iri melihat keakraban mereka. Seharusnya aku yang berada di samping gadis itu. Bukan lelaki itu. Apa daya, aku hanya bisa pasrah saat ini.

Tapi aku bertekad untuk merebut gadis itu darinya. Sebelum semuanya terlambat. Semalaman aku berlatih kata-kata yang hendak kuucapkan jika aku bertemu kembali dengan gadis itu di taman. Sebelum lelaki itu datang, akan kukatakan perasaanku yang terdalam kepada gadis itu. Dan aku akan memintanya untuk meninggalkan lelaki itu, untuk menjadi gadisku.

Oh tidak, mengapa lelaki itu yang datang duluan sebelum gadisku. Ini benar-benar di luar rencana. Menurut jadwal mereka setiap sore, seharusnya gadis itu yang duluan datang, baru menjelang lima belas menit kemudian si lelaki datang. Kenapa sekarang datang lebih awal? Ini sungguh-sungguh merusak rencanaku sore ini.

Oh, tidak, tidak. Apa yang dilakukan lelaki itu? Ia menghias kursi taman yang biasa mereka duduki dengan bunga-bunga mawar putih. Apa rencanamu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Tanpa kusadari tiba-tiba gadis itu datang menghampiri lelaki itu dan tanpa menunggu waktu lama, lelaki itu seketika menekukkan satu lututnya ke tanah, sambil menyodorkan sebuah kotak kecil ke hadapan gadisku.

Tunggu dulu, tunggu dulu. Apakah lelaki itu baru saja melamar gadis cantikku? Jangan kau lakukan itu. Jangan ganggu dia. Dia gadisku. Dia milikku. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi entah kenapa tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Gadis itu terlihat kaget namun bercampur senang. Dan ia menganggukkan kepalanya dengan senyumnya yang mempesona. Jangan terima lamarannya. Jangan!

Tak kuasa aku menahan pilunya rasa hati ini. Hatiku seperti ditusuk-tusuk. Sakit sekali. Dadaku sesak, tak bisa bernapas. Tanpa kusadari air mata mengalir di pipiku. Seorang anak kecil datang menghampiriku dan mengamati wajahku. “Ma, lihat Ma. Lelaki itu menangis.” Sambil ia menunjuk ke arahku. Aku berusaha untuk memalingkan muka untuk menghapus air mataku, tapi aku tak bisa menggerakkan badanku. Semuanya kaku. Ibu dari anak lelaki itu menghampiriku dan memandangku. “Bukan Nak, itu bukan air mata. Itu hanya percikan air dari air mancur di depannya. Mana ada patung bisa menangis. Hari sudah petang, sebaiknya kita pulang sekarang ya.” Ibu itu menggandeng tangan anaknya, lalu mereka berdua berlalu dari hadapanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun