Mohon tunggu...
Rika Amalia Putri
Rika Amalia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Otoritas Orang Tua dalam Memaksa Kawin Anak Usia 21 Tahun Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam

1 Juni 2023   15:58 Diperbarui: 1 Juni 2023   16:00 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB III

Pada bab ini menerangkan mengenai letak geografis, keadaan demografis, kehidupan sosial masyarakat, kondisi keagamaan, dan keadaan perekonomian di Desa Sibual Buali. Penggambaran mengenai desa ini memudahkan pembaca untuk mengetahui keadaan tempat penelitian tanpa harus datang langsung ke desa tersebut.
Letak geografisnya Desa Sibual Buali merupakan desa yang memiliki luas 500 Hektar dengan banyak sungai yang digunakan masyarakat untuk mengairi persawahan mereka.. Berikut batas-batas Desa Sibual Buali :
 Sebelah Utara berbatas dengan Mareng/ Hutan
Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Tanjung
Sebelah Timur berbatas dengan Desa Saba Hotang
 Sebelah Barat berbatas dengan Desa Siraisan
Untuk sampai ke Desa Sibual Buali harus melewati titi gantung atau yang penduduk sebut sebagai rambin yaitu jembatan gantung dengan panjang 2 meter dan lebar 2 meter. Rambin tersebut adalah jalan satu-satunya untuk sampai ke Desa Sibual Buali. Dengan adanya rambin memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan dunia luar.
Secara demografis, Desa Sibual Buali dihuni oleh 440 KK dengan 2200 jiwa dan mayoritas adalah perempuan sebanyak 1335 jiwa dan sebanyak 865 jiwa adalah laki-laki. Pada mulanya Desa ini bernama Tandihat yang berarti tanah dan lahat yang kemudian diganti menjadi Sibual Buali seperti nama salah satu sungai di desa tersebut. Semua masyarakat di Desa Sibual Buali memeluk agama Islam sehingga otoritas setempat membangun fasilitas keagamaan seperti masjid, mushola, dan pengajian.
Kehidupan masyarakat di Desa Sibual Buali masih sangat kental dengan tradisi peninggalan leluhurnya yang dapat dilihat dari bagaimana mereka menjalankan kehidupan sehari-hari. Hidup berkelompok dan homogen serta masih melestarikan  gotong royong sebagai bentuk rasa persatuan yang masih melekat pada masyarakat setempat. Selain itu, masyarakat setempat juga menanamkan nilai tolong menolong terutama ketika ada acara pernikahan dan kematian.
Ketika ada tetangga yang akan mengadakan pernikahan masyarakat setempat akan berpartisipasi dan bergotong royong untuk membantu mempersiapkan acara tersebut. Remaja laki-laki dan remaja perempuan yang disebut naposo nauli bulung akan mempersiapkan pelaminan untuk calon pengantin, bapak-bapak akan memasak nasi dan lauk sejak jam 4 pagi. Sedangkan para ibu mempersiapkan nasi bungkus dan menghidangkan masakan untuk para tamu undangan.
Di Desa Sibual Buali tamu undangan yang pertama kali diundang selain kerabat dekat adalah keluarga satu marga. Selain itu, terdapat larangan untuk menikah dengan marga yang sama. Hal ini ditegaskan oleh Bapak Mara Umus sebagai salah satu tokoh adat di Desa Sibual Buali setelah diwawancarai peneliti.
Tak jauh berbeda dengan pernikahan, partisipasi masyarakat ketika ada tetangga yang meninggal terlihat masyarakat saling bahu membahu mengurusi jenazah mulai dari perawatan jenazah hingga penguburan. Para remaja putra pun tak ketinggalan untuk ikut andil dalam mempersiapkan liang lahat. Ibu-ibu akan membawa minimal satu tabung kecil beras ketika melayat. Tak hanya sampai disitu masyarakat juga akan ikut doa bersama hingga hari ketiga.
Masyarakat Desa Sibual Buali secara keseluruhan beragama Islam dan berjalan dengan lancar terbukti dengan banyak kegiatan keagamaan yang penguatan mental dan spiritual.
Akan tetapi, masyarakat Desa Sibual Buali sangat tertutup dengan sesuatu yang dianggap baru sehingga mereka tidak maju, baik dalam pengetahuan maupun dalam perkembangan zaman.
Penduduk desa mayoritas menganut Mazhab Syafi'i dapat dilihat ketika dalam kegiatan ibadah maupun perkawinan. Berkaitan perkawinan tidak semua masyarakat mengetahui Undang-Undang Perkawinan sehingga banyak masyarakat yang masih memaksa anaknya menikah.
Sebagaimana masyarakat pada umumnya yang masih membutuhkan penunjang kehidupan. Masyarakat Desa Sibual Buali bermata pencaharian sebagai petani. Ada sebagian kecil yang berprofesi sebagai PNS, TNI, POLRI, maupun karyawan swasta. Namun, masyarakat Desa Sibual Buali masih tergolong masyarakat miskin.
Meski demikian, masyarakat tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dibantu dengan bantuan dari pemerintah dapat dibangun fasilitas yang dapat menunjang kehidupan masyarakat, sehingga perekonomian masyarakat kedepannya lebih baik dari sekarang.

BAB IV

Pada bab ini penulis menjelaskan bahwa dalam penelitiannya mengambil sampel dari 4 orang warga Desa Sibual buali untuk menjadi narasumber dalam penelitiannya dengan interval usia 22 sampai 28 tahun. Keempat sampel tersebut memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda, satu diantaranya merupakan tamatan SMP dan 3 diantaranya merupakan tamatan SMA.
 Pun demikian dengan  pekerjaan keempat narasumbernya, yaitu seorang wiraswasta, dua orang tani, dan satu orang belum bekerja. Berdasarkan keterangan yang didapat dari wawancara menyatakan bahwa narasumber dipaksa menikah oleh orang tuannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber sebagai pihak yang dipaksa menikah dengan orang tuanya selaku pihak yang memaksa terjadinya pernikahan paksa dapat disimpulkan bahwa anak dipaksa menikah disertai beberapa alasan, yaitu;
Mempererat tali kekeluargaan dengan keluarga pasangan yang masih kerabatnya.
Untuk menghindari adanya kejadian yang tidak diinginkan.
Rendahnya tingkat pendidikan.
Tanggung Jawab orang tua untuk menikahkan anaknya agar tidak salah dalam memilih pasangan.
Pendapat Imam Syafi'i yang memperbolehkan untuk menikahkan anaknya.
Sedangkan sebagai seorang anak tidak dapat menolak permintaan orang tuanya yang terus mendesak agar menikah. Selain itu, juga disertai ancaman bahwa apabila menolak maka orang tua tidak akan mau mengatur hidup sang anak, tidak dianggap anak hingga ada yang akan diusir.
Dari hasil observasi peneliti menemukan bahwa penduduk Desa Sibual Buali merupakan penduduk yang taat dalam beragama, akan tetapi pemahaman mengenai perkawinan dalam ajaran Islam dan hukum positif masih kurang. Peneliti juga mewawancarai seorang Mujahid di salah satu Desa Sibual Buali bahwasannya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang tua memaksa anaknya untuk menikah, yaitu;
Tradisi
Memaksa anak untuk menikah sudah menjadi tradisi turun temurun di Desa Sibual Buali. Seiring berkembangnya zaman tradisi tersebut mulai berkurang. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bagi orang tua untuk menikahkan paksa anaknya apabila melanggar peraturan yang dibuat oleh tokoh masyarakat dan golongan tua di Desa tersebut, seperti
Laki-laki dan perempuan tidak boleh pacaran terlalu berlebihan.
Tidak boleh berdua-duan di tempat yang sepi.
Tidak boleh pacaran di atas jam 10 malam.
Keinginan Orang Tua
Orang tua melaksanakan perkawinan paksa terhadap anak-anak mereka
didasarkan atas berbagai alasan, antara lain;
Kekhawatiran orang tua bahwa anak tidak menikah.
Mendapatkan pendamping yang tidak bertanggung jawab.
Mendekatkan kembali hubungan persaudaraan.
Tanggung Jawab Orang Tua
Para orang tua berpendapat bahwa perkawinan seorang anak sudah menjadi tanggung jawab orang tua, maka kapan pun bisa untuk menikahkan anaknya. mereka
berkeyakinan dengan segera menikahkan anaknya akan selesai tanggung jawab
sebagai orang tua.
Pendapat Imam Syafi'i
Berkenaan dengan pernikahan terkadang orang tua memaksa anaknya menikah dengan anggapan bahwa menurut pendapat Syafi'i membolehkan hal tersebut.
Peneliti juga mewawancarai beberapa tokoh di Desa Sibual Buali yang secara garis besar menganggap bahwa menikahkan paksa anak demi kebaikan itu menjadi hal yang lumrah selama anak tersebut belum menikah, entah anak yang berusia 21 tahun kebawah atau usia 21 tahun kebawah karena menikahkan anak adalah tanggung jawab dari orang tua.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) dimana dalam sebuah perkawinan harus didasari persetujuan dari calon mempelai. Hal ini ditegaskan kembali oleh KHI Pasal 98 ayat 1 bahwa anak usia 21 tahun itu sudah dewasa dan dapat berdiri sendiri, kecuali apabila ia cacat. Sedangkan pendapat Imam Syafi'i yang memperbolehkan memaksa anak untuk menikah sudah dibatasi oleh peraturan yang berlaku di Indonesia. Sehingga tidak dibenarkan untuk memaksa anak menikah. Selain melanggar KHI, pernikahan harus didasarkan kesukarelaan dan kecintaan sehingga dapat menciptakan rumah tangga yang bahagia dan melahirkan anak-anak yang sehat, sholih dan sholihah.

BAB V

Pada bab terakhir ini berisi mengenai kesimpulan dari hasil penelitian di Desa Sibual Buali, yaitu memaparkan secara singkat faktor-faktor yang melatarbelakangi otoritas orang tua dalam memaksa kawin anaknya dan juga tinjauan KHI mengenai memaksa anak yang sudah dewasa untuk menikah yang tidak sesuai dengan KHI dan disertai unsur paksaan dalam pelaksanaan perkawinan tersebut.
Selain itu peneliti juga memberikan saran kepada Warga Desa Sibual Buali terkait menikahkan paksa anaknya untuk meminta persetujuan dari anak agar tidak melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia.

Kesimpulan :
Pernikahan secara paksa tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku terlebih lagi dalam KHI sudah tertulis apabila dalam menikahkan anak harus mendapat persetujuan dari calon mempelai.
Kebiasaan yang terjadi di Desa Sibual Buali merupakan tradisi peninggalan leluhur yang masih terjadi. Menikahkan anaknya dengan calon pasangan pilihan orang tua bagi mereka adalah tanggung jawab para orang tua. Dilandasi dengan pendapat Imam Syafi'i bahwasanya menikahkan anak tanpa persetujuan diperbolehkan. Padahal sudah dibatasi dengan KHI bahwa menikah harus didasari dengan kesukarelaan dan kecintaan agar tercipta rumah tangga yang rukun dan dapat melahirkan anak-anak yang sehat, sholih dan sholihah. Di Desa Sibual Buali juga terdapat larangan untuk menikah dengan satu marga.
Otoritas orang tua dalam memaksa menikah anaknya yang berusia 21 tahun seharusnya bukan lagi tanggung jawab orang tua karena anak usia 21 tahun sudah dianggap dewasa dan dapat menentukan nasibnya sendiri termasuk memilih pasangan. Jadi menikahkan anak secara paksa hanya dapat dilakukan orang tua ketika anaknya berusia dibawah 21 tahun dan belum pernah menikah karena orang tua masih berperan sebagai perwaliannya.
Terlepas dari menikahkan paksa anaknya,  warga Desa Sibual Buali merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi gotong royong dalam kehidupan sehari-hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun