Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Alpukat Lokal vs Alpukat Bule

15 Juli 2024   22:05 Diperbarui: 15 Juli 2024   22:58 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimohon untuk tidak meniru segala tulisan yang dimuat. Jika pembaca menemukan tulisan yang sama persis, silahkan kontak penulis. 


---KISAH ALPUKAT LOKAL VS ALPUKAT BULE------------------------------

Parmin, petani Alpukat yang rajin dan pantang menyerah. Usia genap 60 tahun tak lekas membuatnya malas bergerak. Istrinya Sumiyem hanya manyun melihat tingkah suaminya itu yang hanya memandangi 5 pohon alpukat di lahan miliknya. 

"Masuk pak, dah maghrib. Masih saja dilihat itu pohon?!", Sumiyem manyun. 

Parmin hanya diam melihat lima pohon alpukat itu, kakinya sembari menginjak tanah yang sedikit basah akibat seharian hujan. 

Dia membawa payungnya ke dalam rumah, langsung ke kamar mandi untuk berwudhu. 

Setelah Parmin salat, ia berdoa kepada Allah SWT yang isi do'anya: 

"Ya allah, saya hanya berharap engkau hapuskan dosaku, aku hanya ingin lima pohon alpukatku laku terjual lagi dan tengkulak masih setia dengan alpukat lokal milikku". 

" Ya allah, kenapa engkau mendatangkan alpukat bule ke wilayah sini? Apakah kau tega membuat diriku dan istriku kelaparan?". 

Tiba-tiba petir menyambar pohon kelapa di belakang rumahnya, sampai listrik padam dan Sumiyem teriak. 

"Allahuakbar!!!!", Sumiyem terkejut. 

Parmin langsung mengajak istrinya keluar rumah dan terlihat beberapa tetangga datang membawa payung. Parmin mengikuti para tetangga untuk memeriksa apa yang terjadi. 

Sumiyem bersama ibu-ibu lain hanya mengobrol dan tak lama kemudian para bapak-bapak lansia itu datang. "Kabel tertimpa dahan kelapa". Sumiyem kembali manyun karena mati listrik ini akan membuatnya tidur dengan nyamuk. " Siap-siap bentol kulitku". 

Dua jam berlalu, tiba-tiba datang mobil Avanza dari arah timur. Mobil itu dikenal oleh masyarakat sini, ia adalah tengkulak. Panggil saja bang Bona, orang Medan yang tubuhnya kekar. 

"Asalamualaikum, saya mampir sebentar. Listrik mati disini, untung bukan film hantu ini". Bang Bona itu memakai senter hape untuk menemukan Parmin yang lagi duduk di teras rumahnya. Tetangga lain yang sedari tadi mengobrol mulai menerima Bona sang tengkulak untuk mengobrol. 

Sumiyem manyun lagi, ia tak berani masuk rumah untuk menyiapkan minum. Ia bersama para ibu pergi ke rumah lain untuk mengobrol, alasan beli minum itu hanya cara halus agar sang tengkulak bisa menyampaikan maksudnya. Tak beberapa lama para bapak-bapak itu mengobrol ngalor-ngidul sampai satu persatu pun pulang. Tinggalah Parmin dan Bona. 

"Min, diriku mau pohon alpukatmu. Aku beli saja semua, semuanya satu pohon. Aku beli 2 juta", Bona menawar. 

" Tak bisa lebih bang? Saya ada 5 pohon, beli semuanya bang, tak ada yang mau makan", Parmin menawar lagi. 

"Yasudah, ku beli 4. Dapat uang kau, aku senang juga dapat alpukat kau. Aku habis belanja juga, 4 saja ya", Bona mencoba mengakhiri. 

"Yasudah bang, Terima jadi lah", Bona tersenyum Parmin tersenyum. 

Uang itu di tangan Parmin sekarang, pohon nya mulai ditandai oleh Bona dan satu anak buahnya. Esok pagi pohon itu diambil buahnya dan Parmin hanya punya satu pohon. 

Malam itu Sumiyem pulang, Bona sudah tak ada di rumah. Sumiyem tak lagi manyun, melihat suaminya pegang uang. 

-----------

"Ada rezeki, pohon laku tapi sisa satu".

" Syukuriii toh pak!!!", ketus Sumiyem. 

Malam itu Parmin dan Sumiyem tertidur karena listrik belum menyala, mereka tertidur dengan nyamuk. 

------

Pagi itu pohon alpukatnya dipangkas. Sisa satu pohon yang ada di halaman rumahnya. Sumiyem pergi berbelanja dengan teman-teman seperjuangannya (ibu-ibu rumah tangga yang bertetangga). Parmin kembali merenung, melihat alpukat yang botoh dan menyegarkan. 

"Saya mau coba alpukat yang saya tanam", layak setan yang masuk ke jiwa, Parmin memetik buahnya dan mulai memakan alpukat itu. 

"Cuiiihhhh"

"Sudah tua tapi rasanya seperti ini". 

Parmin tetap memakannya walaupun pahit, ia paham kenapa alpukat miliknya bisa kalah dengan alpukat bule. 

TV yang sedari tadi menyala di dalam rumah Parmin sedang menayangkan acara makan enak oleh seorang artis. Artis gemuk itu denga logat medan memuji alpukat kocok yang dibuat oleh pelaku UMKM. 

"Wah gilakkk wak, enak kali ini loh", artis itu memuji manisnya alpukat walau tanpa susu kental manis. 

Saat sesi wawancara dengan sang penjual, artis itu bertanya: "ini alpukat enak sekali, pakai alpukat dari mana ini?", si artis bertanya. 

"Alpukat Meksiko ini, tapi biasanya kami dari lain negara juga", ucap sang penjual. 

Parmin menarik nafas "Alpukat Bule rupanya". 

Ia kembali keluar rumah dan memandangi pohon alpukat miliknya. Tak lama berselang ia mulai memakan alpukat lagi sampai kekenyangan. Parmin berdoa sambil menyentuh pohon alpukat itu: " Ya allah, kasihlah pohon ini nikmat berupa rasa yang manis. Kalaupun gak manis minimal matang sempurna dan bisa bikin ketagihan". 

Sembari masuk ke dalam rumah dan menonton TV, tak disangka empat buah alpukat ia makan. Ternyata alpukat pertama yang dimakan itu satu-satunya alpukat yang pahit karena setelahnya, rasanya tak terlalu buruk. Disaat kekenyangan itulah ia baru tersadar bahwa doa nya kemarin malam telah dikabulkan. 

Pertama, diriku meminta pohon alpukat ini laku dan menghasilkan uang. 

Kedua, pohon alpukat ini membuatku kenyang. 

Pada akhirnya ia juga sadar, bahwa alpukat lokal vs Bule itu bukan persaingan tidak sehat layak kampanye hitam para politikus korup. Persaingan sehat ini harus terus ada, agar iman seorang petani alpukat bisa terus terjaga dan ikhtiarnya terus ada. Setidaknya ada Tuhan yang mengabulkan keinginannya dan keinginan tumbuhan-Nya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun