Kendati demikian, program-program dan dukungan fiskal tersebut diharapkan dapat menurunkan angka prevelensi stunting menjadi 22% pada 2025. Target ini sebenarnya terus difokuskan seperti di tahun 2023 ini, seiring sindiran presiden soal dana stunting yang sebagian besar dipakai untuk rapat.Â
Target tersebut bukan hal yang mustahil untuk dicapai, seperti halnya Vietnam yang berhasil menurunkan angka stunting dan dianggap berhasil. Hal tersebut sebenarnya bisa dicontoh dan diikuti oleh pemerintah Indonesia, ketika suatu kebijakan yang memang tepat sasaran dirasa layak dicoba. Maka, di mana titik permasalahan penanganan stunting sebenarnya?Â
Miskonsepsi Kebijakan Stunting
Beberapa ibu di parenting group sosial media curhat soal pembagian jatah makan anak untuk menghindari stunting yang tak sesuai dengan apa yang digembor-gemborkan pemerintah. Ada puskesmas yang memberikan langsung biskuit sejumlah satu dus untuk ibu yang sebenarnya tidak masuk kategori merah rawan stunting, ada juga puskesmas yang tidak sama sekali memberikan makanan penunjang dengan alasan tidak ada stok.Â
Lain cerita beberapa ibu yang merasa makanan yang diberikan di posyandu tidak cukup, karena setiap bulan hanya diberikan 1 bungkus biskuit dan potongan buah, serta snack bayi yang tak sesuai kondisi masing-masing seperti snack yang berminyak dan bikin batuk, snack tidak cocok usia dan ada yang justru tidak dapat sama sekali.Â
Hal ini layaknya sebuah hal yang kontradiktif dengan pemberitaan yang beredar soal anggaran pemerintah pusat dalam menangani kasus stunting. Miskonsepsi yang terjadi justru lahir di masyarakat, yang menganggap pemerintah belum dapat mengawasi apa yang terjadi di lapangan secara nyata, kebijakan stunting yang belum kokoh.Â
Selain itu, miskonsepsi ini bersebrangan jika membahas sisi belanja pemerintah pusat. Bisa saja konsep belanja pemerintah justru dikucurkan ke lain hal seperti rapat dinas dalam menyelenggarakan kebijakan di wilayah terkait yang padahal bisa dikucurkan ke hal lain seperti kualitas makanan yang juga memerhatikan sisi kuantitas dan kualitas: menu makanan yang bukan cuma mahal tapi juga ditambah dan dapat dibagikan juga kepada bayi yang masih termasuk garis hijau namun menuju garis merah (rawan stunting).Â
Masyarakat sepertinya juga paham mengenai konsep anggaran pemerintah yang sengaja dialokasikan antara lain melalui pos belanja dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan subsidi. Sayangnya, belum sepenuhnya dapat dijalankan secara efektif dan bersifat transparan. Hal ini ketika dikonfirmasi kepada pihak puskesmas saja, menyerahkan semuanya ke perangkat desa/kelurahan dan selepas itu tidak mendapat jawaban yang pasti.Â
Sedangkan dari sisi TKDD, melalui pemberitaan yang beredar dan berdasarkan situs pemerintah, Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk penanganan stunting melalui Dana Alokasi Khusus yang memang ditujukan untuk mendanai kegiatan khusus di daerah yang menjadi prioritas nasional seperti wilayah timur Indonesia dengan kasus tertinggi stunting: Papua dan NTT. Hal ini seharusnya juga berlaku bagi wilayah sekelas ibu kota Jakarta, dan kota-wilayah kabupaten lainnya, karena belum sepenuhnya bebas kasus stunting.Â
Oleh karena itu, program-program dan dukungan fiskal tersebut harus mulai dievaluasi dan diperhatikan lebih oleh pusat, karena bagaimana pun diharapkan dapat menurunkan angka prevelensi stunting menjadi 22% pada tahun 2025. Target tersebut tidak akan bersifat mustahil untuk dicapai apabila pusat transparan dan mengawasi aliran dana stunting hingga di tiap pusat kesehatan, posyandu.Â
Selain itu, saran yang dapat dilakukan antara lain menambah jumlah kader/relawan muda dalam memberikan dukungan sosialisasi ke masyarakat, hal ini turut menumbuhkan rasa idealis bagi kaum ibu agar tidak terpatok pada pola asuh yang apa adanya seperti ciri khas pengasuhan orang tua zaman dulu.Â