Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Depok dan Apa yang (Mungkin) Harus Dibenahi?

10 Juli 2023   05:47 Diperbarui: 10 Juli 2023   07:07 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Saya sebenarnya belum ingin menulis tentang ini, tapi tangan saya gatal ingin menulis. Bagaimana kota Depok dengan slogan Kota Idaman justru harus dipertanyakan, "idaman untuk siapa?". 

Bulan Mei-Juli ini, kabar terkait anak presiden Jokowi yaitu Kaesang ramai diperbincangkan karena ingin maju jadi walikota Depok. Depok seperti yang dilansir dalam  Portal Resmi Kota itu, Depok awalnya hanya wilayah yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor. 

Saya pun paham bagaimana bentuk tata-pemerintahan Kota Depok yang sebenarnya sedang berusaha ingin menjadi Kota mandiri yang sejajar dengan kota di sekelilingnya. Seperti halnya Tangerang Selatan yang terkenal karena perumahan elite, Bekasi dengan industri atau Bogor dengan walikota yang dikenal, Depok justru belakangan hanya dikenal karena berita heboh yang kadang diluar nalar. Sebut saja kasus Babi Ngepet. Bagaimana dengan maksud pemerintahan yang ingin mandiri tersebut? Jujur saja, beberapa inovasi yang dibuat oleh pejabat Kota sepertinya hanya dikenal kalangan tertentu saja, seperti timses misalnya. Lantas, apa mereka yang pantas disebut sebagai warga idaman? 

Sejak awal 2000an, ayah saya yang kebetulan asli Kota ini bercerita bahwa jalanan masih banyak yang rusak, tanah memang banyak yang kosong, apa lagi wilayah Sawangan sampai perbatasan Kabupaten Bogor, bisa dibilang tempat jin buang anak.

Mimpi ibukota Jawa Barat dipindah ke wilayah Kota Depok memang mustahil karena melihat kemajuan yang berimbas nantinya, tapi sekarang dengan kemajuan perekonomian, justru wilayah tersebut semakin semrawut bukan dikatakan maju dari segi kualitas. Sisi kuantitas dengan pembangunan perumahan yang pesat tapi tidak memperhatikan amdal, banyak berita jalan rusak, macet, banjir atau longsoran karena letak pembangunan di sisi sungai atau menutup jalan sungai. Belum lagi kurangnya perhatian terhadap pengguna jalan. Jangan tanya soal UMR, karena tidak sama dengan DKI Jakarta jadi Depok dikenal sebagai Kota yang jadi tempat tinggal saja. 

Saya ingat betul, ada seorang akademisi Universitas Indonesia yang berkata bahwa Depok itu semrawut, tata wilayah-kelola wilayah yang acak-acakan. Namun, dengan universitas yang mentereng ada di sana, hal itu tidak dimanfaatkan oleh pemkot, misalnya dengan meminta nasihat para ahli sebelum merencanakan kebijakan. Membuat program sumber daya dengan universitas dan cenderung stagnan dengan gaya kepemimpinan yang ada. Saya juga pernah mengenal sosok insan pers yang menyuarakan keadilan, bagaimana kasus yang melibatkan oknum pejabat di wilayah Kota Depok justru tidak diberitakan karena kerasnya "pegangan" Di sana. 

Kedua, sampai saat ini saya pun bingung, di zaman serba digital, saya tidak bisa menemukan aplikasi sejenis Jaki yang dimiliki Pemprov DKI dalam upaya melayani masyarakat. Saya pun masih bingung letak pusat pemerintahan Kota Depok, yang sebagian letaknya di dalam perumahan di wilayah Depok sana. Sampai saya pun masih bertanya-tanya, kenapa ya caleg DPRD, cawalkot Kota Depok juga selalu orang yang sama, apakah warga Depok memang idaman bagi para kandidat? Tuntutan warga Depok seringkali saya lihat di sosial media, tapi tak sedikit yang membela juga. Saya rasa kalau tanding di ring tinju, dua petinju tidak akan kalah atau menang, tapi terus bermain sampai salah satunya mengalah. Lucunya, banyak warga yang menandai pak walikota Idris untuk segera mendengar keluhan mereka, tapi ya namanya sosmed masa iya selalu dipantengin, ya gak pak? 

Saya pun pernah ikut dalam suatu organisasi masyarakat yang saya kira adalah mereka yang ingin perubahan terstruktur bagi Depok, ternyata itu hanyalah kumpulan warga yang mendukung walikota. Apa isinya? Hanya hiburan saja, ibarat arisan keluarga. Saya menunggu momen yang tepat untuk bicara, misalnya permasalahan terkait pungli dengan solusi bahwa warga dalam kumpulan tersebut bisa jadi kanal pengaduan ke pihak berwajib, hasilnya apa? Saya bukan termasuk warga idaman mereka, karena dibilang jangan ugih, jangan ngelangkahin pak walikota.. Yaudah deh, saya gak mau langkahin, kenal juga enggak. 

Terkait antusiasme Kaesang yang bakal maju jadi walikota Depok, saya rasa itu ibarat angin segar seperti halnya kabar jabatan Khalifah yang digantikan oleh Harun Al-Rasyid, orang yang agak jauh dari garis keturunan Khalifah Abbasiyah sebelumnya. Saya hanya berpesan kepada siapapun orang yang ingin jadi walikota Depok, 

pertama, warga Depok masih belum semua anak-anak muda, para orang tua yang sebenarnya adalah ladang suara sesungguhnya. Kalau pakai strategi konten, jangan sekali-kali seperti Kaesang dalam salah satu podcast, hasilnya? Warga Depok mulai terkena kampanye hitam yang sebagian memang tidak terlalu menelaah pemberitaan. Coba saja cara manual, mustahil sebagian warga tidak kenal politik hitam dengan cara mulut ke mulut. Toh, masih ada kok di setiap kampung yang jadi agent of change dari satu partai. 

Kedua, coba bikin organisasi pemuda-pemudi yang benar-benar organisasi bukan kumpulan arisan. Warga Depok pasti banyak yang pintar, ahli dan ingin perubahan, coba bangun dari dasar, dari sekelas RT-RW, fungsikan para duta yang terpilih, organisasi sejenis atau mungkin abang-mpok Depok yang jarang kelihatan. 

Ketiga, UMKM Depok sebenarnya banyak bangeet tapi mereka masih terbelenggu para jawara yang jadi preman juga, apa lagi ada Ormas yang minta uang keamanan. Kalau ditanya, toh ditemenin juga sama pak Pulisi dan satpul. Saya pernah wawancara seorang pedagang di salah satu Setu yang jadi tempat wisata baru-baru ini. Dia dipalak 30 ribu per hari, itu pun belum termasuk uang rokok, kadang nyopet es atau kopi. Parkir liar juga dikuasai Ormas, sekali parkir di bahu jalan kena 2000 berbekal kertas nomor yang ditempelin sama ibu-bapak-bocah baru lulus SMP. 

Keempat, perbaiki kualitas udara. Taman bermain banyakin. Muda-mudi Depok lagi banyak-banyaknya dan istilah ngelancong jangan lagi di dalam perumahan warga, kuburan, apa lagi tanah kosong, kasihan banget kan? 

Kelima, strategi politik di Depok itu gampang kalau anda sekalian dekat dengan pemuka agama, pemuka masyarakat, punya uang kampanye, kenal perusahaan media pers di sana dan yang penting kamu punya keluarga/koneksi orang yang berpengaruh dan dikenal warga Depok asli (contoh, tokoh asli Betawi). 

Bukan rasis, tapi memang (sebagian) warga Depok saat ini masih ada yang melihat "suku, agama, pekerjaan" Sebagai tolak-ukur dalam kriteria pemimpin. Memang sangat disayangkan, tapi saya berharap hal ini segera usai bagaimana tujuan kita adalah kota yang maju dan IDAMAN bagi segala umat. 

Two ways to tango 

Viva la vida.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun