Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Morat-Marit Perawat di Indonesia

6 Maret 2023   23:07 Diperbarui: 13 Maret 2023   08:45 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang perawat. Foto: KOMPAS/RIZA FATHONI

Profesi perawat di Indonesia merupakan sebuah profesi yang cukup dikenal, tak jarang muda-mudi Indonesia memiliki minat yang tinggi untuk menjadi perawat. 

Saat ini di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kumulatif tenaga perawat yang sudah teregistrasi atau memiliki surat tanda registrasi (STR) mulai 2012 hingga 2021 tercatat sekitar 1.097.000, termasuk yang melakukan registrasi ulang. 

Sementara per Februari 2022 jumlah perawat dengan STR aktif berjumlah sekitar 633.000 dengan rasio 2,46 per 1.000 penduduk. Bayangkan, berapa banyaknya para perawat di negeri ini yang diklaim oleh Kemenkes, sudah dilakukan pemerataan berkala termasuk golongan PNS dan Non-PNS. Apalagi, ramai dengan rencana adanya pengadaan P3K yang katanya dapat memenuhi hak-hak pekerja di sektor pemerintahan. 

Kementerian Kesehatan dalam rapat bersama komisi IX DPR-RI bukan saja menyentil soal BPJS kesehatan yang dinilai defisit, melainkan juga menyinggung kinerja perawat di rumah sakit yang seola-olah digambarkan sebagai pembantu. 

Hal ini memang menjadi masalah klasik, ketika Menkes Budi juga turut merasakan betapa kontrasnya perbedaan 'kasta' antara perawat dan dokter di rumah sakit seluruh Indonesia. 

Ketika menonton acara televisi sejenis Grey Anatomy, Code Blue, dan sejenisnya, seringkali perawat digambarkan memang bekerja bersama dokter tetapi tidak terlalu ditonjolkan. 

Segmen lainnya ketika film The Good Nurse rilis di Netflix, semua mata tertuju kepada kasus perawat yang membunuh pasien. Lantas, pertanyaan pun muncul, apakah perawat memiliki kinerja yang sama seperti dokter? 

Perbedaan yang Jarang Ditelisik

Perawat tentu memiliki jalan sejarah yang berbeda dengan dokter, ibarat pagar tetangga yang menyatu karena di tanah yang sama. Dokter tentu memiliki sejarah karena akar ilmu nya, dimulai sejak masa Mesir Kuno, kejayaan Islam dan imperialisme di negeri barat. 

Benang emas ilmu kedokteran melahirkan pars tokoh yang terkenal, seperti Ibnu Sina, atau di Indonesia Dr. Cipto lulusan Stovia. Profesi dokter dahulu kala memang identik dengan kaum laki-laki terlihat dari alur sejarah kedokteran yang banyak menuliskan peran para dokter yang terkenal karena jasa-jasanya. 

Selain itu, upaya penyembuhan, penemuan-penemuan di bidang pengobatan yang dianggap sebagai senjata ketahanan hidup menjadi indikator bahwa label "dokter" Erat dengan label pahlawan. 

Dokter ibarat otak manusia yang siap memerintah karena telah mampu menginterpretasikan apa yang dirasakan di sekitarnya. Maka, wajar apabila dokter memiliki kewenangan dalam mendiagnosis pasien berdasarkan tumpuan ilmu yang dimiliki. 

Lain lagi dengan perawat, saat ini pendidikan keperawatan menganugerahkan gelar "ners" (nurse) sebagai pencapaian tertinggi profesi. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni "nutrire", yang artinya "to nourish" atau memelihara. 

Sejarah keperawatan memang dimulai dari tembok gereja dan perang Dunia. Nurse merujuk kepada wanita-wanita yang menyusui anak orang lain di Eropa di masa dulu. Itulah mengapa profesi ini identik dengan pekerjaan kaum hawa. 

Bila dokter ditunjukkan untuk mengobati, perawat ditunjukkan sebagai yang merawat. Setelah diagnosis dokter dan instruksi diberikan, perawat akan membantu untuk menyembuhkan dengan cara merawat pasien. 

Ibaratnya, perawat adalah kaki-tangan yang sama-sama saling membantu demi kesembuhan pasien. Perbedaan lainnya, perawat memiliki aspek kedekatan dengan pasien karena seringnya interaksi dalam merawat. Hal ini mencetuskan pernyataan bahwa perawat juga dapat diandalkan manakala berkaitan dengan krisis yang terjadi terhadap pasien. 

Perawat juga dapat menyampaikan analisis, asumsi, meminta melakukan tindakan eksplisit kepada pasien, bila mana dokter sudah mengambil keputusan, karena wewenang tersebut hanya dimiliki oleh dokter. 

Sampai di sini, terlihat bahwa sebenarnya antara dokter dan perawat memiliki kinerja yang setara dalam artian membantu pasien untuk sembuh layaknya sebuah prinsip yang tak boleh hancur. 

Perbedaan lainnya terletak dari sisi etika profesi dan hukum yang memiliki derajat dan dimensi berbeda, namun tetap sama-sama berbuat adil dan menjaga kerahasiaan pasien agar tidak merugikan. 

Penyebab Utama Perbedaan Kasta

Di Indonesia selain perbedaan aturan hukum, perbedaan gaji juga begitu terasa. Perawat memiliki kesenjangan gaji karena pondasi hukum yang belum sepenuhnya memihak perawat termasuk persoalan perlindungan diri dan keluarga, prestasi dan jasa. 

Tulisan Shanti Dwi Kartika dilansir dalam situs DPR.go.id, Selain masalah kesejahteraan dan tuntutan hukum kepada perawat, masalah pendidikan keperawatan juga merupakan problem yang harus dibenahi, khususnya mengenai jenjang pendidikan yang masih beragam dan belum ada standardisasi pendidikan. 

Fakta di lapangan menyatakan jumlah perawat yang setiap tahun terus bertambah seiring dengan lulusan dari institusi pendidikan keperawatan yang tidak terkendali, menyebabkan krisis ketidakstabilan antara giat ekonomi (lapangan pekerjaan) dengan pemenuhan hak-hak perawat.

 Dokter di Indonesia memang masih dikatakan tak sebanyak perawat menurut Menkes Budi, seharusnya kebutuhan dokter minimal 1/1000 penduduk dan di Indonesia termasuk kurang. 

Belum lagi faktor opini masyarakat Indonesia yang menganggap profesi dokter adalah profesi 'mahal' dan 'pintar', seringnya penampilan film dan berbagai produk hiburan yang mengisyaratkan superiornya profesi dokter cukup membuat pengaruh di masyarakat. 

Padahal, profesi perawat juga memiliki biaya pendidikan yang tidak sedikit, dan dalam pencapaian nya juga memiliki indikator kesulitan tersendiri seperti melalui tes, serangkaian kompetensi keperawatan, pelatihan bidang terasa, dan penerbitan izin yang harus memenuhi beberapa persyaratan. 

Lantas, Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, pemerintah Indonesia sebenarnya hanya perlu menguatkan undang-undang keperawatan Nomor 38 tahun 2014, bukan menghapusnya dalam Omnibus Law. 

Bukan hanya profesi dokter yang memiliki payung hukum kuat berdasarkan permintaan IDI sedari dulu, saat ini seharusnya penguatan tersebut juga harus diiringi dengan pengaturan solusi berupa penguatan profesi yang mencangkup kesejahteraan perawat meliputi gaji yang perlu dinaikan dan pemenuhan perlindungan yang seringkali mengalami kebobolan. 

Banyaknya berita berupa pelecehan, perselisihan terhadap perawat seharusnya menjadi tolak ukur pemerintah dalam membangun lingkungan kerja yang sehat untuk perawat. 

Hal ini juga berefek domino terhadap aturan kerja di rumah sakit yang seringkali mengabaikan hak perawat sebagai pekerja, seperti cuti yang tidak diberikan, tugas dan jam kerja yang berlebihan. Bila pemerintah mendukung, maka perlahan tidak akan ada lagi perbedaan kasta yang merupakan problem klasik negeri ini. 

Nasib dokter memang terlihat lebih baik dibandingkan perawat dari segi perlindungan dan taraf kesejahteraan, saat ini seharusnya pemerintah memiliki fokus nyata untuk dapat menghargai perawat dengan mengabulkan tuntutan perawat melalui organisasi nya, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 

Kedua, pemerintah seharusnya dapat memberikan penghargaan terhadap dua profesi ini secara nyata dan komprehensif melalui berbagai promosi publik dan apresiasi setingkat nasional karena jasa-jasa yang telah diberikan. 

Ingatlah bagaimana tsunami Covid-19 atau yang lebih lawas ketika endemik Malaria terjadi di Indonesia Timur, bagaimana dokter dan perawat merupakan garda terdepan yang membantu sesama manusia agar sembuh, belum lagi konflik batin bagaimana mereka juga harus melindungi keluarga di rumah, dan bertahan hidup di tengah gempuran ekonomi. Apakah insentif yang diberikan pemerintah sudah cukup? Bila cukup, seharusnya tidak ada polemik beda kasta saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun