Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kritik Film Invisible Hopes: Dokumenter Mustahak Kehidupan Perempuan di Balik Jeruji

7 Agustus 2021   21:31 Diperbarui: 7 Agustus 2021   21:38 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Youtube Lam Horas Productions

 Sebuah poster film muncul di pandangan saya, memperhatikan sejenak diiringi rasa penasaran. Mengapa harus menampilkan potret seorang anak, pesawat kertas dan jeruji besi di sekelilingnya? Sebagai perempuan, sifat keibuan saya tergerak. Senja bulan Februari di Jakarta, saya putuskan untuk menonton film dokumenter ini. Dua kata di awal dan akhir, Menyedihkan-Mustahak!

Sinopsis

Film pertama di Indonesia yang mengungkapkan tentang kehidupan memprihatinkan anak-anak yang lahir dari ibu narapidana yang terpaksa hidup dan menjadi korban terselubung di balik jeruji penjara Indonesia.

-----

Sutradara: Lamtiar Simorangkir

Produksi Lam Horas Film, di dukung oleh Kedutaan Besar Swiss dan Kedutaan Besar Norwegia.

-----

Sebuah Kritik:

Sebagai seorang perempuan yang hidup di Indonesia, film dokumenter Invisible Hopes cukup membuat saya tersentuh. Rasa sedih campur aduk dengan marah. Bukan maksud melebih-lebihkan tapi film ini berhasil membuktikan dengan patut atau 'mustahak' bahwa pelaksanaan hukum di Indonesia belum bergairah sekaligus patut ditonton oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sejalan dengan realita yang disajikan dengan ornamen warna tak terlalu silau sedari awal, hal itu masih belum bisa membuat setiap potongan gambar terasa nyata. Saya sebagai penonton awam yang suka nonton film dokumenter, sejujurnya mengalami rasa campur aduk di dua-tiga menit pertama. Dengan kondisi bioskop yang dingin, adegan mulai mengalir dengan layak menampilkan dialog para perempuan yang menghuni lapas khusus perempuan. Kata-kata umpatan yang disematkan di dalam tiap adegan sangat ciamik. Sayangnya, ekspresi dari mimik para puan ini kurang begitu ditampilkan. Bagi saya pribadi, film dokumenter sangat mengandalkan realita yang valid dibarengi tampilan semestinya. Mungkin dimaksudkan dingin dan suram dan hal itu saya nilai hanya sekitar 75 persen saja. Hal ini cukup membuat saya sedikit tersenyum.

Youtube Lam Horas Productions
Youtube Lam Horas Productions

Youtube Lam Horas Productions.
Youtube Lam Horas Productions.

Kedua, rasa jenuh saya mulai terasa di pertengahan film. Hampir semua para perempuan di lapas mengalami masalah yang serupa yakni, problematika kompleks dan klise yang diakibatkan atas nama 'cinta'. Tapi, perasaan saya mulai terkoneksi ketika mulai menampilkan kisah kehidupan para anak di sana. 

Saya mengucap serapah dalam hati, "Gila!, ini beneran?". Emosi penonton yang terkoyak mulai bersahutan, jalan terjal antara sedih ketika disajikan realita menyakitkan dari para perempuan dan anak di penjara dan marah kepada 'mereka' yang tidak mempedulikan hal tersebut. 

Padahal, hak perempuan sudah sepantasnya diperhatikan lebih dalam oleh negara. Sebagaimana pengaturan mengenai hak perempuan dalam tahanan oleh Majelis Umum PBB di tahun 2010 dalam The Bangkok Rules. 

The Bangkok Rules memberikan sejumlah aturan bersama yang harus diberlakukan baik untuk perempuan yang normal maupun perempuan dengan kebutuhan khusus (perempuan hamil, perempuan dengan masalah narkoba dan perempuan disabilitas) di dalam tahanan termaktub dalam pasal 28B. 

Sebagai seorang penonton dan perempuan, film Invisible Hopes terkesan menunjuk negara yang dinilai belum dapat memenuhi hak perempuan di balik jeruji dan hal ini merupakan nilai sempurna dari tangan hebat seorang Lamtiar Simorangkir.

Sebagai sebuah sajian yang relevan, film dokumenter yang berdurasi satu jam lebih ini berusaha menonjolkan 'apa yang terjadi' tapi masih kurang dari segi konklusi yang membuat sedikit timpang dalam membentuk opini para penonton yang sebelumnya membawa perasaan naik-turun. 

Bahkan, ekspektasi saya di awal ingin sekali film Invisible Hopes membawa peran lebih dalam dari para pejuang perempuan, feminisme secara luas dan elegan. Tapi ekspektasi saya sangat jauh. 

Selanjutnya, dialog yang 'sakral' dan berkesan dari Invisible Hopes bagi saya adalah ungkapan dari para anak yang memanggil ayahnya. Selebihnya adalah kalimat yang menjadi bumbu penambah emosi yang membuat penonton sadar pemenuhan hak-hak nya di negeri yang indah ini. 

Film khas dokumenter masih belum cukup mengambil kesan dari sisi penyajian produksi berupa edit, tampilan para pemeran yang tercuri objek lain yang seharusnya tidak perlu. 

Kurangnya pembedahan observasi skenario dari tim terlihat dari beberapa respons perempuan yang tidak eksplisit dan komunikatif. Tapi dapat tertolong dari pengarah artistik dan musik yang membantu mendukung penyajian warna tiap adegan.

Sekali lagi, hal tersebut bukan sebuah masalah besar dan saya mengapresiasi Lam Horas Film sebagai pencetus kesadaran bagi para perempuan Indonesia terkhususnya para pemangku jabatan untuk melindungi hak-hak warganya. 

Sebagaimana "ciri khas" produksi para sineas tiap negara yang berhasil bertahan selayaknya Iran yang syarat kritik rezim, Indonesia membutuhkan karya film yang dapat membawa ciri khas tersendiri, tidak ngalor-ngidul. 

Invisible Hopes bisa menjadi sebuah contoh kredibel. Lalu, konsep kritik pelaksanaan hukum masih kurang 'pedas', saya pun dapat membandingkan alur dokumenter Invisible Hopes dengan film A Copy of My Mind yang dibintangi Tara Basro sebagai terapis salon koruptor di lapas perempuan. 

Bagi saya kurang 'eksplisit' karena kebenaran sesungguhnya akan lebih "sexy" jika ditambahkan hal tersebut. Tapi namanya juga dokumenter, saya tentu lebih memilih Invisible Hopes dan melihatnya sebagai sebuah terobosan gemilang yang jujur bahwa isu perempuan, anak dan hukum negeri ini gampang terlupakan dan hanya menjadi janji manis belaka tanpa ada kejelasan. 

Harapan yang besar bagi Festival Film Indonesia untuk mengangkat isu dan mengapresiasi film sejenisnya daripada bualan film-film remaja yang tak 'berbudaya Indonesia banget'

Sesuai judulnya Invisible Hopes, bukan sekadar menyajikan harapan para perempuan dan anak dari balik jeruji dengan tuntutan pemenuhan hak yang tak kunjung terlaksana. Tapi juga, menyelipkan harapan bahwa seutuhnya negara dan kewajibannya harus 'disentuh', film dokumenter Invisible Hopes adalah jawabanya. Posternya sempurna, menjawab ketika sudah menonton filmnya, pesawat kertas dari sang anak yang dibawa terbang oleh fim Invisible Hopes. Saya harap semua orang dapat menonton filmnya, bagi Lam Horas film dapat dengan segera mempublikasikan kembali. Harapan besar dari seorang penonton dan pecinta film karya bangsa Indonesia, semoga film Invisible Hopes dapat menjadi pemenang dalam FFI 2021 dan menerima apresiasi luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun