Mohon tunggu...
Rika Salsabila Raya
Rika Salsabila Raya Mohon Tunggu... Lainnya - Jurnalisme dan ibu dua anak

Pernah bekerja sebagai Staff Komisioner Komnas Anak dan Staff Komunikasi di Ngertihukum.ID

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Juta Kasus Covid-19, Awal 2021, dan The Beatles

26 Januari 2021   21:05 Diperbarui: 27 Januari 2021   07:28 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua pekan ini, keadaan di bumi pertiwi mengalami banyak masalah baik internal dan eksternal. Bangsa Indoensia terbawa gelombang duka tak henti, tetapi tak menyurutkan semangat yang membara untuk bangkit perlahan. Pada akhirnya, kabar pembengkakan kasus Covid-19 tak terhindarkan.

Satu juta kasus terdapat di Indonesia, entah apa yang harus kita ekspresikan? Rasa sedih atau biasa saja? Sudah tidak bisa dibedakan. Masyarakat Indonesia yang berjuta-juta ini memang sudah biasa menelan duka, layaknya pada saat bencana melanda sekitar awal bulan-pertengahan Januari, 2021.

Banyak pula tokoh-tokoh agama yang wafat, bahkan ada yang berkesimpulan bahwa ini adalah tanda dari Tuhan, bumi sudah tua dan siap punah yang terparah adalah mengaitkan hal ini karena kabut politik yang makin runyam.

Lantas, mengapa masyarakat Indonesia terkesan ‘sabar’ dan ‘legowo’ Ketika bencana terbesar saat ini berhasil membuat masyarakat dunia terkejut bukan kepalang? Bayangkan, puncak tertinggi kasus Covid-19 berhasil didapatkan oleh Indonesia.

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa ini hasil dari kinerja pemerintah yang tak kongkret, asal-asalan dan terkesan formalitas saja. Kalaupun bicara formalitas saja, mungkin berlaku ketika Covid-19 baru ditemukan di antara bulan Februari-Maret, 2020.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada saat itu dianggap sebagai kondisi darurat yang tak darurat, tentu semua ingat dengan kasus penimbunan masker dan hand-sanitizer? Belum lagi kasus persekusi para tenaga Kesehatan, penolakan jenazah dan berbuat rusuh di rumah sakit.

Apalagi, muncul Meme tentang ‘masuk angin’ yang jauh lebih ditakuti dibanding Corona. Luar biasa, masyarakat Indonesia ini bisa dibilang sangat santai pada saat itu namun paniknya sangat menjijikan.

Selanjutnya, pemerintah pusat yang pada saat itu sangat ‘telat’ memulai peraturan ketat terkait pemutusan mata rantai penularan mulai panik juga. Muncul Peraturan Pemerintah Pusat, Satgas Covid-19, dan aturan terkait bantuan sosial selama pandemi. Luar biasanya, para pakar saat itu sudah meramalkan angka tertinggi akan didapatkan oleh Indonesia di kemudian hari, ramalan dua kali kasus Covid-19 melanda, dan bencana nasional terkait ekonomi.

Respons penulis, akademisi, dan oposisi pemerintah juga berseliweran, tak sedikit yang memberikan saran kepada pemerintah pusat saat itu untuk meniru negara tetangga, seperti program pemerintah Wuhan, Singapura, dan Vietnam. Kembali lagi, masyarakat Indonesia yang sangat bermobilitas tinggi dan sangat santai membuat pilihan tersebut tak bisa dipilih.

Pemerintah pusat juga tak ingin mengambil risiko dengan menghentikan arus ekonomi, hasilnya sekarang, sekitar 4-5% ekonomi merosot namun berkat sifat konsumerisme masyarakat Indonesia, pemerintah tak deg-degan sedikit walau kepalang ribet dengan urusan lainnya. Sampai rasa ribet ini juga membebankan kementerian terkait, seperti Kementerian Kesehatan yang membuat presiden menegur dan Kementerian Sosial yang membuat rakyat menegur.

Pandemi ini memberikan kita satu pelajaran berharga, bahwa beberapa oknum pejabat dan penguasa tak berhenti bermain di air yang sedang menggenang. Selagi basah kenapa tidak menyelam sekalian? Itu budaya kita, mencari kesempatan dalam kesempitan, korupsi itu selalu ada walau dalam celah yang sempit. Entah apa yang membuat mereka tertutup hatinya, hingga menutup dirinya dari amanah yang dititipkan, ngeri!

Ulasan di awal tahun 2021 juga tak terlalu bagus. Kita mendengar banyak bencana yang terjadi di negeri ini. Banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, gunung meletus, dan gempa bumi melanda tanpa henti. Sampai ada seorang teman saya menulis secara lantang, “Ya tuhan, baru saja saya rasakan bangkis di tahun kemarin, kok saya merasa ingin menangis ya sekarang? Baru Januari ternyata,” melalui Facebook saat itu. 

Tapi di balik bencana yang melanda, masyarakat Indonesia tak bisa jauh dari hiburan contohnya: melejitnya pengguna Tiktok. Selanjutnya, masyarakat juga tak lagi kaku mengenai kabar para selebritis dimulai dari kasus video tak senonoh dari seorang aktris, kasus perceraian tokoh terkenal, sampai munculnya paranormal yang membuat masyarakat Indonesia terhibur dengan ramalannya.

Segi Sosial-Ekonomi juga tak kalah seru, dimulai dari harga telur yang jatuh, munculnya tren kuliner angkringan dan taco serta hangatnya kabar vaksin yang menciptakan dua kubu seperti dahulu kala, yaitu tim setuju dan tak setuju vaksin Sinovac. Hal ini layak disyukuri, apalagi para kalangan biasa seperti saya, yang tak mau ikut campur tapi dapat tersenyum terhibur sembari was-was dan haru akibat bencana ini.

Apa yang membuat negeri ini penuh warna? Tersimpan luka dan bahagia secara menyeluruh, walau disebabkan oleh situasi yang sama dan menyakitkan namun terselip optimism yang berbentuk ‘santai’.

Terakhir dan bukan akhir segalanya, saya kembali mendengar lagu lawas berjudul Yesterday dari The Beatles yang mengingatkan dan memberikan pertanyaan kepada diri saya akan dua hal.

Pertama, apa yang sudah saya lakukan sejak kemarin (semenjak Covid melanda, 2020)? Dan mengapa orang yang menyakiti saya merekomendasikan lagu ini sebelum saya memutuskan hubungan? Its complicated, hehe. Saya merasa lagu Yesterday ini lebih menjerumuskan untuk mengulas demi menjawab pertanyaan pertama.

“Yesterday

Love was such an easy game to play

Now I need a place to hide away

Oh, I believe in yesterday”

Tergambarkan, ketika kita mulai mencari cara agar terhindari dari situasi yang kita tak harapkan seperti sekarang ini, di awal Januari, 2021. Walau bukan awal yang dikatakan baik, tapi apa salahnya untuk tetap optimis menjalankan kehidupan saat ini?

Apalagi hal baru akan segera dirasakan sesuai dengan berubahnya politik dunia akibat terpilihnya Joe Biden di panggung perpolitikan Amerika yang berpengaruh bagi dunia Internasional. Namun tetap, bagi kita (masyarakat Indonesia) bertawakal, berikhtiar serta bahu-membahu agar kita tak lagi saling salah-menyalahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun