Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apa Jadinya Passion Tanpa Komitmen?

11 Februari 2024   01:42 Diperbarui: 11 Februari 2024   01:56 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi sore saya berbincang dengan seseorang yang baru saja resign dari pekerjaannya. Sebenarnya dia mendapat penawaran di tempat lain, tapi karena satu dan lain hal dia tidak jadi bergabung dengan perusahaan baru tersebut. Selama beberapa hari dia bete dengan dirinya sendiri karena sudah menolak offering yang begitu bagus. Untuk mengatasi stres dia menjalani shopping spree, alias kalap berbelanja.

Dia tertarik dengan produk fashion dan lifestyle dan dia memiliki product knowledge yang bagus akan produk-produk di ranah itu. Beberapa kali dia menghadiahi baju yang sangat cocok dengan badan dan penampilan saya, meskipun kalau disuruh beli sendiri saya pasti nggak kepikiran memilih barang yang itu.

Saya tahu betapa dia memiliki banyak channel, networking, informasi tentang vendor, supplier, shipping, dan lain sebagainya. Saya pun menyarankannya untuk membuka jastip atau drop-ship atau apalah untuk produk-produk fashion dan lifestyle.

Saya yakin usahanya akan lancar karena dia mengerti benar produk yang dijual (sampai perbedaan jumlah rajutan di berbagai jenis kain katun, misalnya) dan berwawasan sangat luas untuk mengoptimasi harga beli dan harga jual (karena tidak segan mengumpulkan katalog dan membandingkan harga).

Setelah mendengar ide saya, dia menjawab dengan:

"Aku punya passion, Kak, tapi aku nggak punya komitmen."

Anak saya yang paling besar dan duduk di dekat kami kontan bertanya kepada saya, apa maksud kalimat itu. Saya menjawabnya dengan kasus saya sendiri dimana saya memiliki passion mempelajari bahasa Korea karena saya memerlukannya untuk pergaulan sehari-hari, dan berkomitmen mengambil les di satu, dua, bahkan pernah lima tempat dalam semester yang sama demi meningkatkan kemampuan saya berbahasa Korea.

"Jadi, komitmen itu berarti bekerja keras?" tanyanya lagi.

Saya mengiyakan. Memang tidak mudah mengubah passion menjadi skill dan kemudian menjadi mastery di dalam sebuah bidang.

Misalnya, saya suka bahasa Korea. Yang menyukai bahasa Korea bukan cuma saya, ada jutaan orang jumlahnya di Indonesia saja. Beda halnya jika ditanya, apakah mereka yang menyukai bahasa Korea juga pasti bisa berkomunikasi dalam bahasa Korea? Jawabannya adalah: belum tentu.

Untuk bisa berbahasa Korea diperlukan pendidikan dan pelatihan, bisa secara formal dan informal, dan semua itu dimulai dari mempelajari grammar. Jangan mengira grammar itu membosankan dan tidak ada gunanya. Salah besar; grammar adalah fondasi bagi pembelajar bahasa asing untuk mulai mengerti dunia bahasa yang baru. Grammar adalah kerangka berpikir, grammar adalah track untuk menjaga komunikasi tetap berjalan sesuai dengan pakem dan aturan yang telah disepakati secara komunal.

Pendidikan dan pelatihan supaya bisa berbahasa asing membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Oleh karena itu, banyak orang yang meninggalkan passion-nya mempelajari sebuah bahasa asing atau hal lain karena mereka tidak sanggup membayangkan dan mengorbankan sejumlah besar waktu, tenaga, dan uang demi mengubah passion mereka itu menjadi sebuah skill yang mumpuni, apalagi menjadi sebuah mastery yang membuat mereka unggul di bidangnya.

Mereka enggan berkomitmen karena berkomitmen itu sukar dan melelahkan. Berkomitmen berarti tetap sabar dan tidak menyerah ketika perjuangan meraih skill dan mastery sangatlah jauh dari kata mulus. 

Dalam kasus saya, berkomitmen berarti mengatur waktu dan logistik sedemikian rupa sehingga keluarga saya tetap aman sejahtera ketika saya les bahasa Korea di malam hari, dan mengurangi waktu tidur saya supaya saya bisa tetap belajar di tengah kesibukan mengurus keluarga dan rumah.

Semua proses berkomitmen terhadap pembelajaran bahasa Korea itu bagi saya tidak mudah, menguras air mata kekhawatiran, menyebabkan stres, menimbulkan darah tinggi, TAPI memberikan kepuasan dan kebanggan yang teramat besar ketika passion itu menjadi skill berbahasa Korea dengan para penutur asli, yang kemudian menjadi mastery ketika saya mulai mengajar bahasa Korea kepada anak-anak.

Saya bertanya lagi kepada teman diskusi saya tadi, apa yang membuatnya sulit berkomitmen jika toh ia menyukai, memiliki passion akan dunia fashion dan lifestyle. Katanya, dia takut komitmen yang berarti keharusan membuat sistem berjalan supaya hobinya itu mendatangkan uang, malah akan membuat hobinya tidak lagi terasa menyenangkan.

Saya mengerti betul maksudnya karena hal itu terjadi pada saya 8 tahun lalu ketika memutuskan mengubah passion menulis fiksi menjadi pekerjaan novelis yang memerlukan skill sets tertentu. Berhubungan dengan penerbit, distributor buku, toko buku, legal, perpajakan, periklanan, dan lain sebagainya adalah hal-hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelum saya terjun bebas menjadi penulis fiksi yang menjual karya saya dalam bentuk buku di toko-toko.

I just wanted to write stories. Itu hobi utama saya, tapi saya nggak bisa santai-santai lagi begitu saya ingin hobi itu mendatangkan uang.

Ada banyak sekali hal yang harus dipelajari dan diurus, yang membuat saya frustrasi karena tidak mendapat partner bisnis yang reliable, yang membuat saya dongkol karena tetek-bengek administrasi merenggut waktu saya untuk menulis lebih banyak cerita. Pokoknya sepanjang 8 tahun terakhir ada banyak hal yang saya sesali dan harap berjalan berbeda, seandainya saya tidak mengklaim tite 'novelis' itu sendiri.

Akan tetapi, saat ini 8 tahun setelah saya berkomitmen menulis cerita lebih dari untuk kesenangan diri semata, profesi saya tetaplah seorang penulis. Saya tetap menulis fiksi, yang harus dibukukan untuk kemudian dijual. Saya tetap mengikuti berbagai training kepenulisan supaya bisa menulis fiksi lebih baik. Semuanya saya jalani dengan senang hati karena suka, karena cinta, dan karena passion.

Pada akhirnya saya menyarankan dia berpikir baik-baik jika ingin berkomitmen mengubah passion menjadi bentuk lain. Pikirkan baik-baik supaya kesenangannya dalam menjalani hobi tidak lenyap tak berbekas. Pertimbangkan semua kemungkinan terburuk yang bisa diprediksi dan dikendalikan ketika semua hal berjalan kacau dan bukannya untung secara finansial, eh malah buntung.

Jangan lupa untuk menetapkan juga support system dan safety net yang akan menopang ketika semua rencana optimis buyar dan dia memutuskan rehat atau berhenti sama sekali di bidang itu. Manusia tidak bisa sendirian; untuk keputusan besar berkomitmen terhadap passion dia memerlukan pendapat dan saran dari orang lain. Saya sangat menekankan hal ini padanya.

Sebagai kesimpulan, apakah jadinya passion tanpa komitmen? Tidak jadi apa-apa atau menjadi sesuatu itu semua tergantung pada pilihan si pemilik passion. Mendalami atau tidak mendalami passion, keduanya menyediakan jalan berliku yang tak mudah dilalui. Berkomitmen berarti harus siap dengan hari-hari buruk, tidak berkomitmen berarti harus legowo dengan status quo yang tidak menghasilkan apa-apa.

Pilihan selalu ada, terserah kita mau memilih apa. Selamat memilih (bukan pesan pemilu ya, ehehe).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun