Hari Sabtu pekan lalu saya menemani si Kakak mengikuti workshop memotret dengan kamera SLR. Yang menjadi obyek fotonya adalah salah seorang seniornya yang sedang bermain piano.
Saya sudah lama sekali tidak bertemu dengan teman-teman si Kakak, mungkin sekitar 3 tahun sejak pandemi bermulai. Jadi, saya agak kaget dengan anak-anak remaja yang sudah tinggi menjulang, berwajah jerawatan, dan memiliki suara yang semakin nge-bass.
Salah satu peserta workshop adalah kakak dari teman anak saya. Waktu saya duduk menunggu sambil mengamati para peserta workshop, saya tak menyangka ternyata adik dari anak itu duduk di sebelah saya.
Akhirnya saya mengobrol sedikit, menanyakan kabar dan kesibukannya. Saya tanya apa dia masih les piano dan gitar karena dia dulu satu sekolah musik dengan si Kakak. Jawabnya, tidak, sudah lama berhenti. Kenapa? Bosan, katanya.
Saya tanya lagi soal les robotik yang dia ikuti setelah dia keluar dari sekolah coding yang dikelola oleh suami saya. Katanya sudah berhenti juga. Kenapa begitu? Bosan, tidak jelas mau belajar apa.
Saya ingat sekali, ketika anak itu dan si Kakak masih satu sekolah, mama si anak sering sekali bertanya kepada saya sebaiknya memberi les apa kepada anak.
Saya yang sedari dulu menginginkan anak-anak berkembang dari sisi akademis dan non akademis hanya menjawab dua hal: olahraga dan seni musik.
Olahraga dan seni musik akan menjadi bekal mereka untuk tetap fokus dan berkarya di tengah masa remaja yang penuh dengan gejolak hormon, kegalauan akibat penerimaan teman sebaya, dan pencarian jati diri.
Ini berkaca dari pengalaman hidup banyak orang yang saya kenal. Saya sendiri menghabiskan tahun-tahun remaja dengan mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Jerman, bukan olahraga dan seni musik, supaya tahun-tahun itu tidak berlalu dengan sia-sia.
Mama si anak sempat setuju dengan usul saya dan memasukkan anaknya ke sekolah musik yang sama dengan anak-anak saya. Dia juga memasukkan anaknya ke sekolah coding karena anak saya juga belajar di situ.
Mendengar dari anak itu kalau dia sudah berhenti belajar, semuanya berhenti di tengah jalan setelah satu sampai dua level saja, tidak ada keahlian baru untuk menambah potensi dirinya, saya jadi patah hati.
Ada dua hal yang saya pegang erat, yang menjadi kunci dalam mengembangkan minat dan bakat anak:
1. GUNAKAN OTORITAS ORANG TUA
Orang tua adalah orang yang lebih berpengalaman. Anak, belum. Orang tua adalah orang yang memiliki jauh lebih banyak pertimbangan dalam segala hal. Anak, belum sampai ke tahap itu.
Ketika orang tua memasukkan anak ke insitusi pendidikan formal (sekolah) dan informal (les), pertimbangannya banyak, menyeluruh, dan melampaui masa kini.
Ini bukan soal memberikan apa yang anak sukai, ini soal membekali anak dengan sesuatu yang pasti akan berguna bagi masa depannya.
Proses belajar terlalu lama? Tidak bisa melihat hasil belajarnya sekarang?
Tentu saja. Proses belajar, terlebih bagi anak-anak, adalah seperti proses menanam padi. Semuanya dimulai dari membajak sawah, menyiapkan tanah agar gembur dan siap ditanami. Apatah gunanya bibit yang unggul kalau tanahnya masih keras dan berbatu-batu?
Kapan menuai hasilnya? Bisa besok, bisa tahun depan, bisa sepuluh tahun lagi, bisa jadi bukan kita, orang tua, yang menuai hasilnya.
Menyemai dan menumbuhkan bakat dan minat adalah perkara kemauan untuk bekerja keras, persistence and perseverance, kegigihan dan ketabahan bahkan ketika semuanya seperti berjalan di tempat, sudah keluar banyak uang/waktu/tenaga dan sepertinya tidak ada skill baru yang dicapai.
Sebagai anak-anak yang otaknya belum berkembang sempurna, mereka belum bisa memikirkan terlampau jauh ke situ. Bagi mereka yang penting adalah kesenangan mereka sendiri, apa yang membuat mereka nyaman dan bahagia saat ini.
Ketika mengembangkan minat dan bakat anak, fokus kita adalah ke masa depan, ke masa yang jauh dari masa sekarang yang penuh dengan perjuangan, keringat, darah, dan air mata.
Bagaimana kalau ternyata anak tidak gigih dan tidak tabah?
Gunakan otoritas orang tua.
Paksa anak untuk tetap dan terus belajar.
Anak mengalami trauma? Itu salah satu kemungkinan yang belum tentu terjadi. Namun, anak menemukan comfort dari rutinitas yang dia harus kerjakan, perlahan-lahan akan menyukai rutinitas itu dan meraih kepakaran? Itu adalah kepastian.
Sama seperti ketika saya masih kuliah di tingkat akhir, sedang membuat skripsi, sedang praktikum Teknik Industri di pabrik, dan tetap diharuskan mengikuti les bahasa Jerman level intermediate oleh ibu saya, saya juga menerapkan aturan yang sama pada anak-anak saya.
Come hell or high water, kalau nggak benar-benar tepar karena sakit, tetap harus les.
Harus tetap les. Harus menghargai kesempatan belajar. Harus menghargai jerih payah orang tua yang memungkinkan mereka memiliki kesempatan belajar.
Kebetulan pula les yang saya berikan adalah olahraga dan musik, bukan les pelajaran yang membuat otak butek.Â
Dari les, mereka mempelajari hal yang menyenangkan, bergerak, menjalin pertemanan, semuanya untuk menyeimbangkan tuntutan akademis di sekolah.
Kesimpulannya, ketika anak mulai memberontak, mulai punya alasan macam-macam untuk berhenti belajar, gunakan otoritas orang tua. Karena otoritas orang tua itu murni digunakan untuk kebaikan mereka.
2. KETIKA ANAK MENYERAH, ORANG TUA HARUS TETAP TABAH
Dari cerita teman anak saya itu, dan cerita langsung dari mamanya, saya menangkap kesan bahwa ketika anak itu merasa lelah dan bosan, dia langsung diijinkan untuk berhenti.
Kelelahan itu biasa. Kebosanan itu pasti terjadi. Namun, berhenti bukanlah opsi.
Apakah perjalanan belajar anak-anak saya selalu lancar jaya? Tentu saja tidak.
Saya sudah mengalami jatuh bangun mencari guru piano yang cocok bagi si kakak, waktu dia berganti 4 orang guru dalam 5 tahun karena berbagai alasan.
Saya juga sudah mengalami si Abang, anak saya dipecat menjadi murid oleh guru pianonya karena dianggap membangkang, tidak bisa berkembang, dan hanya membuang waktu semua orang.
Pelajaran pianonya sampai beralih kepada saya untuk sementara waktu, sampai emosinya lebih matang dan guru pianonya mau menerimanya kembali.
Apakah ketika mengalami itu saya tetap bahagia dan perasaan saya tidak terpengaruh? Tentu saja tidak.
Saya frustrasi. Saya kecewa. Saya putus asa.
Tidak ada banyak pilihan sekolah musik di kota tempat kami tinggal, tapi saya bertekad memberikan yang terbaik yang saya mampu.
Saya ikut belajar piano supaya bisa mendampingi anak-anak belajar piano, sebuah keputusan yang terbukti menunjukkan hasil ketika si Abang ditolak menjadi murid dan tiba-tiba tidak memiliki guru.
Padahal waktu saya mulai belajar piano pada usia 36 tahun, banyak orang yang mencibir. Udah tua, ngapain capek-capek, kata mereka. Ya harus capek-capeklah, 'kan buat anak, timpal saya.
Di saat anak-anak lelah dan hampir menyerah, saya sebagai orang tua harus tetap tabah.
Malas les? Saya tetap antar dan tunggui. Saya berdiskusi dengan guru-guru les mereka perihal PR dan progres belajar. Saya tidak melepaskan mereka dari pengawasan saya.
Merasa skill tidak naik-naik? Sabar. Saya harus sabar, saya juga bilang kepada anak-anak supaya mereka tetap sabar.
Anak saya si Abang lebih tidak sabar ketika belajar. Keinginannya untuk maju begitu besar, sampai dia lupa harus melalui level basic untuk mencapai level advanced. Dalam hal apa pun di dalam hidup ini.
Untuknya saya harus ekstra sabar. Waktu dia bosan latihan beat drum yang itu-itu saja selama dua tahun penuh, saya mendampinginya untuk tetap sabar. Sabar, semua pelajaran pasti ada maksudnya. Percaya pada gurumu, percaya pada kurikulum yang dipakai. Itu yang saya tekankan berulang-ulang.
Dan waktu dia bisa memakai beat drum itu untuk mengiringi lagu-lagu dari Coldplay, baru dia menyadari manfaat dari semua latihan rutin itu. Dua tahun penuh, 96 jam pelajaran, dan hasilnya baru terlihat sekarang. Memang tidak ada yang instan di dunia ini.
Kesimpulannya, ketika anak-anak kehilangan semangat belajar di tengah jalan, saya lah yang menjaga mereka supaya fokus ke masa depan. Saya tidak memanjakan mereka dengan istirahat dari les. Saya tetap menjalankan rutinitas supaya kebiasaan baik mereka terbentuk.
PENUTUP
Dengan mama si anak yang saya ceritakan di awal saya kemudian bertemu dan berbincang-bincang. Dia menanyakan level anak-anak saya di taekwondo, musik (piano, biola, gitar, drum), dan coding.
Hebat ya sudah level-level tinggi, katanya.
Saya diam saja. Saya tahu dia menginginkan hal yang sama bagi anak-anaknya, tapi mereka sekarang sudah remaja, sudah melawan, sudah punya keinginan sendiri, dan tidak ada satu pun kepakaran yang diraih dari les-les yang berhenti di tengah jalan.
Oleh karena itu, poin pertama yang saya tulis di atas sangat penting.
Gunakan otoritas orang tua.
Ketika mereka masih kecil, masih menurut, masih bisa dibilangin, gunakan otoritas itu. Niscaya kita memegang hati dan kemauan mereka dari saat yang tepat (masa kecil) dan melepas mereka untuk menuai hasil dari yang mereka tabur pada masa remaja.
Selamat mencoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H