Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seluk Beluk Berpikir Runut, Berbicara Teratur dan Menulis Terstruktur

19 Januari 2023   06:48 Diperbarui: 21 Januari 2023   13:59 2040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi komunikasi (Foto oleh Shutterstock/FIZKES)

Kemarin suami saya cerita begini, dia menerima pesan singkat dari salah seorang rekan kerjanya yang berbunyi sebagai berikut:

"Pak, gimana sih caranya nulis email dengan singkat, padat, dan terstruktur? Kalau saya nulis email saya bingung sendiri, mulai dari mana berakhir di mana."

Itu gara-gara setiap hari Rabu si kolega membaca laporan analisa harga yang suami saya tulis. Setelah menceritakan itu suami saya bilang begini ke saya:

"Aku langsung ingat lho kata-katamu soal orang yang berpikir runut, bicaranya pasti teratur, dan menulisnya pun pasti terstruktur."

Saya manggut-manggut. Ember. Segitiga itu adalah sebuah keniscayaan:

Berpikir -- Berbicara -- Menulis

Runut -- Teratur -- Terstruktur

Beres di pangkal (berpikir) pasti beres di ujung (menulis). Oleh karena itu kita harus mengajari anak-anak kita menulis karena sebenarnya kita membereskan pangkalnya (berpikir yang runut) dan mediumnya (berbicara yang teratur dan menulis yang terstruktur).

Bagaimana melatihnya, apalagi di usia paruh baya ketika orang sudah sulit berubah?

Saya cuma geleng-geleng kepala. Jika orang bilang hari-hari berjalan lambat, tapi tahun-tahun berlalu cepat, maka mereka memiliki konsep yang keliru tentang waktu dan penggunaan waktu.

Memiliki segitiga berpikir -- berbicara -- menulis yang baik adalah latihan seumur hidup, ia bukan hanya latihan semasa sekolah atau semasa kuliah. Ia adalah latihan yang terus menerus selama hayat masih dikandung badan karena kepiawaian dalam hal ini adalah salah satu dari sekian banyak life skills.

Suka kesel nggak kalau baca email dari kolega yang mbulet, nggak jelas maunya?

Atau pesan dari tukang antar paket dan abang ojol yang mau nanya alamat rumah aja pake bahasa terlalu sederhana yang lagi-lagi tidak mencerminkan maksudnya?

Apa yang salah, di mana yang salah?

Pendidikan kita di sekolah, di rumah, atau bagaimana?

Saatnya menelisik ke diri sendiri, mengambil kesimpulan berdasarkan pengalaman, dan introspeksi:

Kurangnya saya di mana sampai saya tidak bisa berpikir runut, berbicara teratur, dan menulis terstruktur?

Kepada koleganya yang menanyakan cara menulis email suami saya hanya menjawab begini:

Rajin membaca.
Sederhana, ya? Namun, itu adalah tips yang paling dasar dan paling manjur.

Rajin-rajinlah membaca. Selamilah pemikiran orang lain. Bandingkanlah dengan pemikiran dirimu sendiri. Buat perbandingan dan kontras, dan terakhir ambillah keputusan berdasarkan pengamatan dan analisis mendalam.

Dari membaca kita mendapat wawasan yang akan membantu kita merunutkan pikiran, membuat diagram relasi dari berbagai hal acak yang menyesaki pikiran kita.

Dari membaca kita terdorong dan diberikan semangat untuk memiliki suara kita sendiri. Sesungguhnya hakikat dari membaca adalah mendengarkan orang lain berbicara kepada kita. Itu bagus untuk menemukan nada yang teratur saat kita berbicara, bukan?

Dari membaca kita memperkaya perbendaharaan kosakata, cara menjalin kalimat demi kalimat sampai membentuk sebuah paragraf, sampai pada akhirnya membentuk sebuah tulisan yang utuh.

Huruf --> Kata --> Kalimat --> Paragraf --> Tulisan Utuh

Itu adalah struktur yang kita kejar. Ada kerunutan di situ sebagai cerminan dari benak yang berpikir runut. Semuanya akan berjalan baik jika hal yang tepat diletakkan pada urutan yang tepat, dengan porsi yang tepat.

Di tengah gempuran media sosial yang berbasis video dan audio, membaca dan menggemari kegiatan membaca adalah sebuah kelangkaan. Akan tetapi, membaca ibarat menyelami gua berisi harta karun di dasar laut.

Begitu kaya.
Begitu berkelimpahan.
Begitu menjanjikan kemakmuran.

Bagaimana menurut Anda? Mari bagikan di kolom komentar. Sampai tulisan berikutnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun