Membaca buku puisi bagiku adalah ibarat duduk di bangku taman bersama seorang kawan, mata memandang lurus ke depan untuk menikmati pemandangan, sambil telinga mendengarkan percakapan demi percakapan yang dibuka.
Semua dimulai dengan sapaan "apa kabar", lalu dilanjutkan dengan pembicaraan yang mendalam. Aku mengalami ini, apakah kamu mengalaminya juga? Aku berpendapat begini, kira-kira apa pendapatmu? Aku merasakan ini, aku ingin tahu apakah kamu pernah merasakannya. Dan seterusnya.
Membaca buku puisi adalah perkara berbagi pengalaman paling intim dan berbekas di kalbu. Untaian kata mungkin tidak bermakna dan tidak terlihat indah, jika tidak ada sekelebatan peristiwa, seuntai kejadian latar belakang yang sama-sama dialami oleh si pencipta dan pembaca puisi.
Pada banyak kasus, buku puisi tidak meninggalkan kesan pada pembaca karena tidak ada irisan kenangan itu, yang membuat pembaca mengangguk-angguk dan berkata dalam hati: "Aku tahu persis apa yang kamu bicarakan. Aku mengerti betul apa yang kamu maksud."
Buku kumpulan puisi karya M. Aan Mansyur yang berjudul "Tidak Ada New York Hari Ini" adalah buku kumpulan puisi pertama yang aku baca sampai habis, baca sebanyak dua kali, dan baca dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Pada banyak fragmen aku mengerti perasaan yang ingin disampaikan oleh M. Aan Mansyur. Pada semua bait aku menangkap satu perasaan yang terkubur dalam, disampaikan dengan romantis, dan disimpan rapat kembali karena ia terlalu menyakitkan.
Rindu.
Itulah perasaan yang aku tangkap dari buku setebal 81 halaman untuk bait demi bait yang ditulis dan kemudian diterjemahkan pada halaman sesudahnya.Dari ratusan baris dan mungkin ribuan kata, hanya ada satu frasa yang menohok hatiku.
"Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang."
Bukankah itu kerinduan? Yang ketika mampir ke pikiran, membuat semua roda gigi yang sudah lama membeku di otak seperti mendapat minyak baru untuk kembali berjalan, bergesekan, dan berirama. Dari energi kembali ke energi. Energi tidak pernah hilang, ia hanya berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Dari energi rindu timbullah energi panas, ketika roda gigi memori di kening itu kembali berputar, mengingatkan apa yang sudah lampau, dan menimbulkan penyesalan akan apa yang mungkin tapi mustahil.
Akan tetapi, bukankah manusia makhluk yang berakal panjang tapi beringatan pendek, yang suka mengenang tapi mudah melupakan? Bukankah kerinduan yang meluap-luap dan yang menggebu-gebu di benak, yang membelit hati seperti tanaman rambat dan menimbulkan panas yang menghangatkan, seiring berjalannya waktu akan mendingin?
Sebab semua manusia melangkah meninggalkan satu titik, entah itu kesedihan, kegembiraan, kehampaan, keputusasaan, dan harapan, tidak ada titik yang abadi. Dan jika manusia tak segan menanggalkan, apa hak kerinduan untuk menahan manusia supaya berjalan di tempat?
Begitulah kesimpulan yang aku dapatkan tentang kerinduan dan perannya di kening dan di kenang. Merasakan rindu adalah sebuah gesture yang dapat dimaklumi, tapi tidak untuk berkabung di dalamnya. Kerinduan pada akhirnya akan membekukan hati karena tak mungkin bertahan hidup hanya dengan kenangan.
Yang merasakan rindu harus mengusahakan untuk bertemu. Tanpa usaha, kerinduan akan berubah menjadi seonggok tas kumal yang kita simpan rapat-rapat di dalam lemari yang berisi segala macam tetek bengek. Tak akan dilirik lagi, tak akan berarti kembali. Terlupakan oleh orang-orang yang pernah bersumpah untuk selalu mendambakan.
Metafora lain tentang kerinduan dalam puisi yang ditulis oleh M. Aan Mansyur adalah ketika dia mengandaikan perasaan rindu dengan sayuran yang sudah lama disimpan di kulkas. Sudah lama tak mengenal tanah, tak terkena cahaya, tak mengecap air, tapi menumbuhkan tunas baru. Seketika, tanpa pertanda, tanpa tuntutan.
Bukankah demikian dengan kerinduan yang mendadak menyergap? Ketika di kenang sudah mendingin, cukup satu peristiwa, sekelebatan ingatan, sebuah pemberian, atau bahkan sesungging senyuman, untuk membangkitkan kembali rasa rindu yang sudah disimpan rapat-rapat. Dan seketika itu juga, kening menjadi panas karena tornado emosi itu melanda atas nama rindu.
Puisi-puisi M. Aan Mansyur secara keseluruhan menyiratkan sebuah kerinduan akan manusia lain, akan sebuah relasi yang personal. Ini bukan hanya tentang cinta dan romansa. Di dalam puisinya yang mengambil lokasi di samping jendela pesawat terbang atau di sebuah kafe, sosok yang melantunkan baris demi baris puisi adalah sosok yang menantikan kehadiran sosok lain yang akan datang untuk berbagi waktu, atau berbagi hal lain di samping itu.
Aku sangat menyukai buku ini, meskipun aku tidak selalu mengerti apa yang M. Aan Mansyur ingin sampaikan. Seperti yang kutulis di awal narasi ini, membaca dan memahami puisi adalah perkara menemukan irisan pengalaman antara dia sebagai pencipta dan aku sebagai pembaca puisi. Dan di dalam dialog itu, tidak ada pemaksaan apalagi penghakiman. Yang ada hanya pembukaan wawasan dan penerimaaan, bahwa jika aku tidak mengalami yang dia alami, itu pun adalah sebuah keniscayaan.
Saking aku sangat menyukai buku ini, aku melanjutkan membaca buku M. Aan Mansyur yang lain yang berjudul "Mengapa Luka Tidak Memaaafkan Pisau". Aku baru sampai pada halaman 50 ketika paket berlanggananku habis. Buku ini terasa lebih personal bagiku karena mempercakapkan banyak hal tentang pasangan hidup, anak-anak, dan orang tua. Sebuah topik yang sangat melekat di hatiku, yang merupakan sumber inspirasi yang tak ada habisnya bagi tulisan-tulisanku.
Satu pertanyaan terakhir bagi diriku sendiri, dan kau pun boleh menjawabnya: apakah baru-baru ini ada yang singgah di keningmu yang membuat kenangmu kembali menggeliat? Aku ingin tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H