Sebab semua manusia melangkah meninggalkan satu titik, entah itu kesedihan, kegembiraan, kehampaan, keputusasaan, dan harapan, tidak ada titik yang abadi. Dan jika manusia tak segan menanggalkan, apa hak kerinduan untuk menahan manusia supaya berjalan di tempat?
Begitulah kesimpulan yang aku dapatkan tentang kerinduan dan perannya di kening dan di kenang. Merasakan rindu adalah sebuah gesture yang dapat dimaklumi, tapi tidak untuk berkabung di dalamnya. Kerinduan pada akhirnya akan membekukan hati karena tak mungkin bertahan hidup hanya dengan kenangan.
Yang merasakan rindu harus mengusahakan untuk bertemu. Tanpa usaha, kerinduan akan berubah menjadi seonggok tas kumal yang kita simpan rapat-rapat di dalam lemari yang berisi segala macam tetek bengek. Tak akan dilirik lagi, tak akan berarti kembali. Terlupakan oleh orang-orang yang pernah bersumpah untuk selalu mendambakan.
Metafora lain tentang kerinduan dalam puisi yang ditulis oleh M. Aan Mansyur adalah ketika dia mengandaikan perasaan rindu dengan sayuran yang sudah lama disimpan di kulkas. Sudah lama tak mengenal tanah, tak terkena cahaya, tak mengecap air, tapi menumbuhkan tunas baru. Seketika, tanpa pertanda, tanpa tuntutan.
Bukankah demikian dengan kerinduan yang mendadak menyergap? Ketika di kenang sudah mendingin, cukup satu peristiwa, sekelebatan ingatan, sebuah pemberian, atau bahkan sesungging senyuman, untuk membangkitkan kembali rasa rindu yang sudah disimpan rapat-rapat. Dan seketika itu juga, kening menjadi panas karena tornado emosi itu melanda atas nama rindu.
Puisi-puisi M. Aan Mansyur secara keseluruhan menyiratkan sebuah kerinduan akan manusia lain, akan sebuah relasi yang personal. Ini bukan hanya tentang cinta dan romansa. Di dalam puisinya yang mengambil lokasi di samping jendela pesawat terbang atau di sebuah kafe, sosok yang melantunkan baris demi baris puisi adalah sosok yang menantikan kehadiran sosok lain yang akan datang untuk berbagi waktu, atau berbagi hal lain di samping itu.
Aku sangat menyukai buku ini, meskipun aku tidak selalu mengerti apa yang M. Aan Mansyur ingin sampaikan. Seperti yang kutulis di awal narasi ini, membaca dan memahami puisi adalah perkara menemukan irisan pengalaman antara dia sebagai pencipta dan aku sebagai pembaca puisi. Dan di dalam dialog itu, tidak ada pemaksaan apalagi penghakiman. Yang ada hanya pembukaan wawasan dan penerimaaan, bahwa jika aku tidak mengalami yang dia alami, itu pun adalah sebuah keniscayaan.
Saking aku sangat menyukai buku ini, aku melanjutkan membaca buku M. Aan Mansyur yang lain yang berjudul "Mengapa Luka Tidak Memaaafkan Pisau". Aku baru sampai pada halaman 50 ketika paket berlanggananku habis. Buku ini terasa lebih personal bagiku karena mempercakapkan banyak hal tentang pasangan hidup, anak-anak, dan orang tua. Sebuah topik yang sangat melekat di hatiku, yang merupakan sumber inspirasi yang tak ada habisnya bagi tulisan-tulisanku.
Satu pertanyaan terakhir bagi diriku sendiri, dan kau pun boleh menjawabnya: apakah baru-baru ini ada yang singgah di keningmu yang membuat kenangmu kembali menggeliat? Aku ingin tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H