Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pilih Apa Sebelum Pilih Siapa Saat Pilih Sekolah

12 Januari 2021   00:00 Diperbarui: 12 Januari 2021   00:40 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: 123rf.com

Hampir dua dekade lalu saya pernah menemani kakak sepupu saya berkeliling untuk pilih sekolah di bilangan Jakarta Pusat untuk anaknya yang sulung. Anaknya, yang notabene adalah keponakan saya, ingin masuk ke sebuah sekolah bergengsi. Saya tanya dia: bergengsi dalam artian apa? Katanya, yang kegiatan ekstrakurikulernya adalah berkuda dan polo air.

Wew, itu ya definisi bergengsi buat orang Jakarta.

Buat saya yang datang dari Bandung dengan latar belakang sederhana, sekolah yang menyediakan kuda lengkap dengan istal dan lintasan berkuda, kolam renang pribadi lengkap dengan pelatih renang, adalah sekolah yang too good to be true. Seperti di dalam mimpi saja, walaupun saya duga sekolah-sekolah di kota Jakarta banyak yang menyediakan fasilitas lebih lengkap dari itu.

Ketika menilik sejarah hidup saya sendiri, saya baru menyadari bahwa sekolah tempat saya dan adik-adik saya mengenyam pendidikan sebagian besar adalah sekolah yang kami pilih sendiri,kecuali untuk tingkat TK dan SD. Waktu anak saya yang sulung sudah berusia cukup untuk masuk ke Taman Kanak-Kanak, saya bertanya kepada kedua orang tua saya, apa pertimbangan mereka dalam memilih sekolah untuk anak-anak mereka. 

Hasil diskusi kami akan saya sarikan sebagai poin-poin berikut ini:

1. Apa yang diajar

Buat orang Indonesia, agama dan iman itu penting. Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai agama dan untuk memperkuat iman adalah bagian dari kurikulum kebanyakan keluarga atau orang tua di Indonesia. Hal inilah yang menjadi asas pertama bagi kedua orang tua saya dalam memilih sekolah untuk kami.

Apa yang diajar? Apakah materi pendidikan yang diajar meliputi nilai-nilai agama, moral, dan etika? Apakah dengan bersekolah di sana anak saya akan bertumbuh imannya? Itu adalah hal pertama yang mereka cari, mereka kejar, dan mereka diskusikan dengan pihak sekolah ketika masih dalam tahap survei.

Tidak melulu soal kurikulum, yang pada Orde Baru diatur sangat ketat oleh pemerintah, tapi melampaui itu. Ini soal menemukan partner paling tepat untuk mendidik kami menjadi manusia seperti apa.

Oleh karena saya beriman Kristen, orang tua saya mementingkan pendidikan agama Kristen sejak usia sangat dini. Mereka juga memilih TK dan SD untuk saya dan adik-adik yang menjalankan waktu devosi, berdoa dan merenungkan Firman Tuhan bersama teman-teman sekelas setiap paginya, dan kebaktian bersama seluruh siswa di sekolah setiap minggunya.

Pendidikan formal adalah kerja sama yang tak henti antara orang tua, sekolah, dan pemerintah. Orang tua saya menginginkan sekolah yang akan mendukung pendidikan iman anak-anak di rumah, bukan pendidikan yang hanya berpusat pada kognitif dan melupakan aspek keimanan dan spiritual. Sebab, apa gunanya orang pintar kalau hatinya jahat? Apa gunanya orang cerdas kalau sehari-hari dia selalu ingin merusak orang lain?

Cara pandang yang benar terhadap Tuhan sebagai pencipta dan pemilik hidup, terhadap diri sendiri sebagai ciptaan-Nya yang berharga, terhadap orang lain yang diciptakan untuk kita kasihi sebagai sesama manusia, itulah cara pandang yang orang tua saya harap kami dapatkan setelah lulus dari sekolah yang mendidik kami. Dan mereka bekerja keras untuk mencari sekolah yang terbaik yang bisa memberikan pendidikan akan ketiga hal itu, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab sebagai kitab suci kami.

2. Siapa yang mengajar

Ayah saya lulus sarjana dengan dua gelar, ibu saya adalah dosen. Bagi mereka, hal penting lainnya adalah siapa yang mengajar di sekolah itu. Bagaimana kualifikasi tenaga pengajar di sana? Apa pendidikan terakhirnya? Apakah sudah mengenyam pendidikan keguruan, khatam dengan ilmu pedagogi, ataukah lulus dari jurusan yang tidak nyambung sama sekali dengan mata pelajaran yang dia ajarkan di sekolah?

Pedagogi sebagai ilmu pengajaran, ilmu untuk menentukan strategi tepat untuk mengajar, bukanlah ilmu main-main. Saya rasa di masa pandemi dengan anak-anak Belajar dari Rumah (BDR), banyak orang tua yang merasa frustrasi mengajari anak-anak mereka karena mereka tidak menguasai ilmu ini. 

Menjadi guru pun perlu belajar, lho, ini bukan hanya soal passion dan insting untuk membagikan ilmu. Guru sebagai profesi yang memiliki tanggung jawab besar kepada masyarakat, adalah profesi yang paling harus diperlengkapi dengan berbagai macam ilmu, selain ilmu pengetahuan yang dia ajarkan kepada murid-muridnya di sekolah.

Dari tangan gurulah manusia-manusia yang bermanfaat bagi orang lain, yang membangun komunitasnya, yang berkontribusi kepada kemanusiaan/pengetahuan/ekonomi/dan sebagainya, terlahir.

Oleh karena itu, sebelum menyerahkan anak kepada sekolah, anak yang akan dididik oleh guru-guru sebagai tenaga pengajarnya, pastikan dulu mereka memiliki kompetensi yang cukup. Cara memastikannya cukup mudah. Kalau anak kita masuk SMA, kita tidak mengharapkan guru yang hanya lulus dari Sekolah Keguruan, kita mengharapkan guru yang lebih berilmu, lebih berwawasan, lebih tinggi jenjang pendidikannya dari anak kita yaitu Sarjana Strata 1.

Di sekolah anak saya, kebanyakan gurunya memiliki pendidikan S2. Jadi mereka menempuh pendidikan S1 di suatu bidang keilmuan, lalu melanjutkan ke S2 di bidang keguruan. Saya melihat mereka lebih lengkap, cara mengajarnya lebih holistik, dan banyak poin positif lain yang jauh lebih baik dari jaman saya mengenyam pendidikan dasar dulu.

Hal yang paling terlihat sih soal pengendalian emosi, hubungan yang etis antara guru/sekolah dengan orang tua (terutama soal pemberian hadiah yang dapat memengaruhi nilai anak), dan kemampuan mengajar dengan melibatkan banyak sumber pengetahuan. 

Jadi, setelah sreg dengan apa yang diajar, selanjutnya cek siapa yang mengajar. Itu adalah jalur yang orang tua saya ikuti dan berhasil untuk anak-anak mereka. Ada hal ketiga yang juga perlu diperhatikan, tapi minor perannya. Apa itu?

3. Infrastruktur

Sekolah dengan kolam renang pribadi, istal kuda, lapangan tenis mungkin terlihat bagus untuk banyak orang, tapi apa tujuannya. Setelah tahu apa yang diajar dan siapa yang mengajar, fokus orang tua saya berikutnya adalah pada infrastruktur untuk mencapai tujuan pengajaran.

Jika sekolah ingin siswa mengenal komputer sejak usia dini, maka harus ada lab komputer. Jika sekolah ingin siswa memiliki banyak pengetahuan dan wawasan, maka harus ada perpustakaan dengan koleksi yang ekstensif. Jika sekolah ingin siswa berolahraga cukup dan bugar, maka sediakan lapangan olahraga yang memadai.

Simple saja sih. Di Bandung ada sekolah yang SPP-nya terkenal murah dan lulusan di sana terkenal baik, tapi untuk pelajaran olahraga siswanya senam di trotoar setiap paginya dengan kendaraan yang lalu-lalang. Tentu saja sekolah seperti itu tidak akan menjadi pilihan bagi orang tua saya. Saya tidak tahu ya buat orang tua lain dengan pertimbangan lain, karena setiap keluarga memiliki pertimbangan dan nilai mereka masing-masing.

Demikian tiga inti yang menjadi kiat pilih sekolah dari orang tua saya yang juga saya terapkan untuk anak-anak saya. Semoga pandemi cepat berlalu supaya mereka bisa kembali bersekolah secara normal. Ingat 3M ya: memakai masker, mencuci tangan dengan air mengalir, dan menjaga jarak. Salam sehat, salam pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun