Drama Korea adalah salah satu media yang dapat kita gunakan untuk memperhatikan dan mempelajari kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat Korea Selatan. Dari drama Korea kita jadi tahu beberapa hal, seperti:
1. Pendidikan sangatlah penting
Anak-anak di Korea Selatan sejak di Sekolah Dasar sudah masuk ke bimbingan belajar dan belajar sampai larut malam. Drama Korea seperti "Sky Castle" (2018) memberi gambaran bagaimana ambisi dan persaingan orang tua di sana untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah ternama yang menghasilkan alumni berkarir cemerlang seperti dokter dan pengacara. Mereka berharap, sekolah yang bereputasi baik akan menjamin kelancaran karir dan masa depan anak-anak mereka. Tidak banyak orang tua seperti orang tua musisi Akdong Musician (AKMU) yang merelakan anaknya melewati bangku perkuliahan dan meniti karir di dunia entertainment sejak usia 15 dan 18 tahun. Tulisan lengkapnya bisa kamu baca di sini.
2. Perempuan diharapkan menikah dan mengurus rumah tangga
Drama Korea "Birthcare Center" (2020) menceritakan dengan baik bagaimana pergumulan seorang wanita karir yang melahirkan anak pertamanya di usia yang tidak lagi muda. Pergumulan setelah melahirkan terpampang jelas: kembali bekerja atau resign dan menjadi ibu rumah tangga. Nilai-nilai Konfusianisme di Korea Selatan masih cukup kuat walaupun mulai terkikis jaman: kewajiban utama perempuan adalah kepada nenek-moyang, tetua, dan keluarga, terutama kepada suami dan anggota keluarga laki-laki. Peran ideal seorang perempuan adalah sebagai pengurus rumah tangga dan bukan sebagai pekerja di luar rumah. Perempuan yang sudah menikah diharapkan untuk tidak berkarir dan berkonsentrasi saja pada keluarganya.
3. Orang lanjut usia cukup mandiri dan memiliki kehidupan sosial
Berbeda dengan di Indonesia dimana orang lansia biasanya mengikuti keluarga anak mereka ketika sudah bertambah tua, orang lansia di Korea Selatan memiliki tempat tinggal sendiri yang terpisah dengan anak-anak mereka. Banyak dari mereka yang pada usia senjanya masih mengerjakan pekerjaan kerah-biru supaya memiliki kesibukan dan penghasilan. Pekerjaan seperti janitor, satpam apartemen, dan kasir, adalah sedikit dari banyak pilihan karir untuk orang lansia. Kemandirian mereka membuat mereka juga memiliki kehidupan sosial sendiri, dan tidak tergantung kepada anak dan cucu untuk mengisi hari-hari di usia pensiun. Drama Korea "Dear My Friends" (2016) yang akan saya bahas kali ini memberikan potret yang cukup menyeluruh tentang arti menjadi orang lansia, hubungan mereka dengan generasi penerus, dan cara mereka memandang kehidupan dan waktu yang berlalu terlalu cepat.
Tokoh utama sekaligus narator di dalam drama ini adalah Park Wan (Go Hyun Jung, mantan cucu menantu dari Lee Byung Chul, pendiri konglomerasi Grup Samsung yang mendunia). Park Wan berprofesi sebagai seorang penerjemah buku dari bahasa Inggris ke bahasa Korea. Dia bercita-cita menulis novelnya sendiri, tapi tidak memiliki ide cerita apa yang bisa menarik pembaca. Ibunya, Nan Hee (Go Doo Shim) menyarankan Wan untuk menulis tentang dia dan teman-temannya yang sudah ada di dalam kehidupan Wan sejak dia lahir.
Diceritakan bahwa Nan Hee dan teman-temannya sudah berusia paling muda 70 tahun dan mereka semua adalah alumni dari Sekolah Dasar yang sama, termasuk ibu dari Nan Hee. Konflik telah dibuka mulai episode pertama ketika Nan Hee menyuruh Wan mengantarnya dan teman-temannya ke acara reuni SD mereka. Wan yang sebenarnya tidak suka berkumpul dengan orang-orang lansia karena selalu dikomentari kapan akan menikah dan selalu disuruh melayani makan dan minum mereka, terpaksa menurut atas permintaan neneknya, Ssang Boon (Kim Young Ok).
Dalam acara reuni itu masalah mulai bergulir. Musuh bebuyutan Nan Hee, seorang aktris terkenal bernama Young Won (Park Won Sook), kembali dari Amerika Serikat dan menghadiri acara reuni itu. Mereka dulu bersahabat, tapi Nan Hee mulai memusuhi Young Won karena dia akrab dengan wanita yang berselingkuh dengan suami Nan Hee. Episode pertama sudah dibumbui catfight dan jambak-jambakan? Wih ....
Sahabat-sahabat Nan Hee yang lain memintanya untuk memaafkan Young Won karena toh mereka semua sudah tua, kasarnya "sudah bau kubur". Lebih baik berlapang dada, saling memaafkan, daripada suatu hari ada yang meninggal dunia duluan sebelum sempat mengeluarkan uneg-uneg dan meminta maaf. Nan Hee tetap keras kepala, tapi dia akhirnya mengalah setelah tahu Young Won yang sangat menyayangi Wan ternyata menderita kanker lagi untuk yang kesekian kali.
Setelah bercerai dengan ayah dari Wan, Nan Hee hidup mandiri sampai usia tua dan memiliki kedai mie sendiri. Dia ingin Wan bahagia dengan pilihannya sendiri, tapi dia juga menggandoli Wan dengan tanggung jawab sebagai anak satu-satunya.Â
Siapa yang nanti akan melanjutkan usaha yang kurintis?Â
Siapa yang nanti akan mengurusmu kalau kamu belum menikah juga padahal sudah berusia 40 tahun?Â
Mengapa kamu menjalin hubungan dengan pria beristri? Apa kamu tidak ingat ayahmu yang berselingkuh dan meninggalkan kita?
Mengapa kamu meninggalkan pacarmu di Slovenia dan kembali ke Korea?
Semua itu hanya sedikit dari banyak sekali pertanyaan Nan Hee yang membuatnya sering bertengkar dengan Wan. Mereka saling menyayangi, tapi ekspektasi berlebihan dan luka hati yang tak tersampaikan membuat mereka tidak pernah akur. Akibatnya Wan merasa lebih dianggap anak oleh Tante Young Won daripada oleh ibunya sendiri. Young Won sendiri sudah kawin-cerai berkali-kali, dan hubungan terakhirnya adalah dengan seorang pria beristri yang terpaksa dia tinggalkan karena permohonan istri dari pria itu.
Di dalam grup mereka juga ada Hee Ja (Kim Hye Ja) yang baru menjanda dan mulai mengalami dementia setelah kematian suaminya, Jeong Ah (Na Moon Hee) yang bekerja sebagai pembantu di rumah ketiga anak perempuannya demi mendapatkan nafkah, dan Choong Nam (Youn Yuh Jung) Â yang kaya raya tapi tidak menikah karena semua hartanya dipakai untuk mengurus keluarga besarnya yang miskin/cacat/sakit/yatim piatu.
Kompleks banget ya masalahnya? Bukan drama Korea kalau tidak kompleks dan/atau tragis ....
Sepanjang 16 episode terlibat dalam kehidupan Wan, ibunya, teman-teman ibunya, dan usaha Wan mengumpulkan materi yang cukup untuk novelnya, mata saya dibuka tentang pentingnya memiliki sahabat ketika usia menua.Â
Orang tua saya dulu berkata: "Teman dan sahabat datang dan pergi, yang tinggal sampai akhir hanya keluarga." Saya pikir ada benarnya. Dulu sulit sekali membujuk orang tua saya untuk tinggal dekat dengan kami, anak-anaknya, karena mereka masih memiliki komunitas, saudara, teman kerja, tetangga yang berelasi baik dengan mereka. Mereka memiliki kehidupan sosial sendiri. Akan tetapi, satu per satu dari teman-teman itu pindah mengikuti anak mereka atau meninggal dunia, dan pada akhirnya komunitas orang tua tinggallah keluarga (keluarga inti dan keluarga besar). Demikianlah hidup, semua yang berawal akan menemui akhir, termasuk napas.
Saya pikir, orang-orang lansia di Korea Selatan, jika merujuk pada drama Korea ini, sangatlah beruntung. Mereka masih memiliki komunitas, orang-orang yang bisa ditelepon dan dimintai bantuan kapan saja, teman berjalan-jalan, teman curhat ketika suami sedang bersikap tidak masuk akal. Cerita-cerita yang dikemas rapi di dalam drama ini bukanlah cerita-cerita yang rapi dengan happy ending. Tidak. Semuanya messy, sangat berantakan. Konflik bersilangan di sana-sini, namun tidak ada peristiwa yang tidak memberikan pelajaran hidup buat saya.
Tentang ketakutan merepotkan anak, apalagi kalau anaknya hidup dengan ekonomi pas-pasan/baru bercerai/dipukuli suaminya. Sekali menjadi orang tua, selamanya akan menjadi orang tua, selamanya akan mengkhawatirkan anak. Akan tetapi, rasa tidak enak pada anak dan menantu terkadang membuat para orang lansia di dalam drama ini menyembunyikan perasaannya rapat-rapat. Atau sekalinya curhat, yang dibagikan malah berbeda dari yang sebenarnya. Masalahnya adalah keengganan untuk berbicara jujur karena takut merepotkan.
Drama ini juga membahas tentang pernikahan yang disia-siakan. Punya suami yang suka membentak? Atau istri yang selalu mengeluh bahwa uang tidak cukup? Kesabaran manusia itu tipis, Kawan, suatu saat tali sabar itu bisa putus juga. Itulah yang terjadi pada Jeong Ah yang pada usia 72 tahun meninggalkan suami yang sudah dia bersamai selama hampir lima puluh tahun.
Lima dekade, lho! Bukan waktu yang sebentar. Ada tiga anak yang dihasilkan oleh pernikahan itu. Akan tetapi, sikap kasar, pelit, tidak tahu terima kasih dari suaminya membuat Jeong Ah niat minggat dan membeli rumahnya sendiri. Pemicunya adalah ibunya yang meninggal pada suatu hari yang cerah di pantai di dekat sanitarium tempat ia dirawat.Â
Ibu Jeong Ah seperti Jeong Ah, bekerja keras seumur hidupnya dan tidak pernah punya cukup uang. Pada usia senja dia sakit-sakitan, tapi Jeong Ah tidak dapat merawatnya karena masih ada mertua dan adik-adik ipar yang dia harus urus. Akhirnya sang ibu dirawat di sanitarium dan Jeong Ah tidak sering menjenguk karena dia masih harus bekerja dan mencari nafkah. Jeong Ah merasa hidupnya sangat menyedihkan, dan dengan tekad tidak mengulangi hidup seperti yang dialami ibunya, Jeong Ah berniat meniti kehidupan baru dan meminta cerai.
Choong Nam hidup mapan dengan uang berlimpah, tapi dia tidak pernah menikah. Tanggung jawabnya terhadap keluarga besarnya membuat dia terlalu lelah untuk mencari kebahagiaannya sendiri. Masalah mulai muncul ketika dia mulai sakit-sakitan dan tidak ada orang di rumahnya yang bisa dimintai tolong. Di situ saya dapat membayangkan kecemasan, ketakutan orang lansia jika tubuh mereka mulai menyerah dan tidak ada keluarga yang dapat mendampingi.Â
Walaupun frase "menikahlah biar ada anak yang bisa mengurus ketika kamu tua" kedengaran klise, saya pikir frase itu ada benarnya juga. Untunglah Choong Nam memiliki sahabat-sahabat yang bisa dia andalkan. Akan tetapi, dia juga sadar bahwa usia mereka semua sudah di atas 70 tahun. Waktu mereka di dunia sudah sangat terbatas, tidak ada yang tahu siapa yang akan berpulang kemudian.
Drakor "Dear My Friends" ini adalah tentang slice of life yang sangat relevan, sangat familiar dengan kehidupan saya sebagai ibu yang memiliki anak sekaligus orang tua yang sudah lansia. Walaupun ada istilah sandwich generation dengan segala "deritanya", saya bersyukur masih bisa menikmati waktu bersama generasi sebelum dan sesudah saya.Â
Karena hidup ini teramat singkat, Kawan. Saya belajar banyak dari setiap episode drakor ini dan saya harap kamu juga. "Dear My Friends" dapat ditonton di platform Netflix. Selamat menikmati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H