Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sekali Menulis Dua Ribu Kata, Mengapa Tidak?

4 Oktober 2020   11:56 Diperbarui: 4 Oktober 2020   12:04 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menemukan satu hal menarik dalam percakapan di grup Whatsapp pada hari ini. Salah seorang teman membagi tulisannya yang berisi seribu delapan ratus kata ke dalam dua tulisan karena menurutnya tulisan itu terlalu panjang. Saya sontak jadi berpikir: sebenarnya apa tolak ukur sebuah tulisan dikatakan, atau dirasakan, panjang atau pendek?

Apakah dari jumlah kata?

Apakah dari uraian yang terlalu bertele-tele?

Apakah dari topiknya yang tidak sesuai minat pembaca?

Atau dari apa?

Mengapa saya menjadikan pertanyaan ini pertanyaan bagi diri sendiri?

Dalam tiga bulan terakhir, setiap tulisan yang saya setorkan ke KLIP mengandung rata-rata lebih dari seribu kata. Data tepatnya saya tidak ingat dan sejujurnya saya tidak pernah menjadikan jumlah kata sebagai target. 

Menulis ya menulis, tak masalah berapa kata yang pada akhirnya terekam. Setelah saya pikir-pikir, saya menulis banyak kata untuk tulisan fiksi (bisa dimaklumi karena tergantung pada imajinasi saat itu), dan juga tulisan nonfiksi. Mengapa bisa demikian?

Menulis banyak kata hanya bisa dilakukan jika kita memiliki banyak hal yang ingin disampaikan. Menulis banyak kata tidak bertujuan untuk memanjang-manjangkan dan membuat tulisan tersebut kehilangan arah.

Teknik bercerita secukupnya tetap perlu diaplikasikan tanpa mempedulikan jumlah kata. Teknik bercerita secukupnya berarti senantiasa bergerak dari struktur pembuka ke isi dan pada akhirnya ke penutup di dalam sebuah tulisan.

Jika saya ditanya mengapa saya bisa menulis banyak kata untuk tulisan nonfiksi, maka saya akan mengemukakan dua prinsip yang saya pegang ketika menulis.

  1. Menulis adalah sebuah perjalanan

Sebagai perjalanan, ia tidak berlangsung singkat dan saya bisa berlama-lama menkmatinya. Kata kuncinya adalah menikmati. Saya berlama-lama berpikir, menguntai kata, melihat kesesuaian ide pokok dengan setiap kalimat yang tertuang. Saya tidak terburu-buru masuk ke dalam jawaban dari topik atau pertanyaan yang diberikan.

Saya beri sebuah contoh. Pada tantangan menulis dari grup Drakor & Literasi, ada pertanyaan siapa aktor Korea favorit saya dan apa alasannya.

Saya tidak akan langsung menjawab aktor tersebut adalah si A, atau si B, atau si C. Saya akan mencoba merunut berdasarkan garis waktu dan urutan peristiwa bagaimana saya bisa mengetahui aktor tersebut. 

Saya akan mencoba mengingat-ingat kejadian-kejadian pendahuluan yang mengantarkan saya kepada sebuah momen: ini lho aktor yang bernama si A, dia berakting di dalam drama X, dan aktingnya sangat menggugah hati saya sampai-sampai saya menonton drama/film lain yang dia bintangi.

Teknik ini sering kali saya gunakan di dalam tulisan nonfiksi yang bersifat campuran antara opini dan deskripsi. Sebelum masuk ke opini, saya mencoba untuk membuat deskripsi terlebih dahulu. 

Ada dua contoh tulisan saya yang kamu bisa baca tentang K-Tigers, yang mengombinasikan taekwondo dan K-Pop (1511 kata), dan tentang Akdong Musician, duo pemusik kakak-adik yang telah terbukti sebagai jenius di bidangnya (2591 kata). Silakan klik link di atas untuk masuk ke laman yang saya maksud.

Pada artikel tentang K-Tigers yang mengombinasikan taekwondo dan K-Pop, saya memilih taekwondo sebagai titik awalnya. Saya tidak memilih K-Pop karena core dari K-Tigers adalah taekwondo, bukan musik.

Saya tahu taekwondo pertama kali bukan di kota yang saya dan sekitar empat puluh ribu orang Korea tinggali sekarang. Tidak, perkenalan saya yang pertama terjadi jauh sebelum itu. 

Tepatnya tujuh belas tahun yang lalu saat teman-teman baru saya di Tokyo, tiga orang mahasiswa dari Korea Selatan, mendemonstrasikan jurus-jurus yang mereka kuasai sebagai taekwondo-in pemegang sabuk hitam.

Dari situ penjelasan saya bergerak ke bagaimana saya bisa terekspos lagi kepada olaharaga ini belasan tahun kemudian. Saya memasukkan pelaku lain ke dalam tulisan, yaitu kedua anak saya, untuk membuat tulisan saya ini menghadirkan sudut pandang lain dan memiliki lebih banyak dimensi.

Saya juga menceritakan pengalaman saya menggeluti olahraga ini selama beberapa tahun terakhir. Ini adalah bonus menarik bagi pembaca yang datang hanya untuk mendapatkan informasi tentang K-Tigers. Terakhir saya memberikan contoh K-Tigers yang membawakan lagu K-Pop dengan jurus taekwondo sebagai pembeda mereka dengan grup musik lain.

Begitu pula dengan tulisan saya tentang Akdong Musician yang lebih dikenal sebagai AKMU. Saya tidak langsung masuk ke dalam pembahasan mengenai bagaimana grup ini terbentuk dan bisa seterkenal sekarang. Informasi semacam ini banyak beredar di internet, di Wikipedia maupun situs lain, dalam bahasa Korea maupun bahasa Inggris. 

Tujuan tulisan saya bukanlah merangkum dan mengemas ulang informasi yang sudah dituliskan orang lain. Tujuan tulisan saya adalah memberikan sudut pandang baru terhadap topik yang saya angkat.

Salah satu caranya adalah dengan menghadirkan sebuah latar belakang waktu dan tempat bagi topik musisi K-Pop mana yang menjadi favorit saya. Untuk tulisan tentang AKMU, saya menceritakan awal mula pandemi dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang membawa saya dan keluarga bisa mengenal dan  menyukai lagu-lagu yang mereka bawakan.

 Saya juga menjabarkan situasi sosial di negara asal AKMU untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa mengijinkan anak menjadi musisi bukanlah pilihan yang populer bagi orang tua di Korea Selatan. Akan tetapi orang tua kakak beradik ini berkomitmen mendukung anak-anak mereka dengan pilihan karirnya.

Saya akui, sebagai penulis ada sebuah pertanyaan yang kerap mengganggu sebelum mulai menuangkan pikiran. Apakah cerita saya ini, perjalanan pribadi saya dalam tulisan ini, cukup menarik/menggugah hati/bermanfaat bagi pembaca saya? 

Mengharapkan orang lain membaca tulisan saya berarti mengharapkan orang lain menyerahkan waktu dan perhatiannya untuk saya. Saya memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menghasilkan tulisan yang sia-sia.

Sebelum mengharapkan orang lain membaca tulisan kita, buat tulisan tersebut sebagai tulisan yang pantas dibaca. Jika tulisan bersifat informasi, maka pastikan informasi yang dijabarkan adalah akurat dan berasal dari sumber terpercaya. 

Jika tulisan bersifat deskripsi, maka pastikan deskripsi sesuai dengan keadaan sebenarnya. Selalu ada potensi deskripsi tidak bersifat obyektif karena ada bias persepsi si penulis, namun tetap upayakanlah. Tanggung jawab moral pertama seorang penulis bukanlah pada pembacanya, tetapi pada dirinya sendiri.

Sesudah memastikan tulisan kita memberikan manfaat/inspirasi bagi orang lain, pastikan juga tingkat keterbacaannya. Tingkat keterbacaan tidak ditentukan oleh banyak sedikit kata di dalam sebuah tulisan. 

Tingkat keterbacaan terutama ditentukan, dan hanya ditentukan oleh kehadiran struktur seperti yang saya sebutkan di atas. Pembuka, isi, dan penutup adalah kerangka utama. 

Seorang penulis bebas mengembangkan setiap bagian, bebas menuliskan opini/deskripsi pada setiap bagian dalam berapa kata pun, asalkan ketiga bagian ini masih terhubung, mengalir dengan baik, dan tentu saja berkesinambungan.

Mari saya beri sebuah contoh.

Topik                                  : Di mana saya biasanya menonton drama Korea?

Kerangka tulisan          :

1. Pembuka

Awal saya berkenalan dengan drama Korea.

(6 kata)

2. Isi

Perjalanan saya mencoba berlangganan TV kabel, situs, atau metode lain yang menyediakan drama Korea terbaru dan terlengkap.

(19 kata)

3. Penutup

Setelah mencoba berbagai metode, saya akhirnya memilih Netflix yang menyediakan koleksi drama Korea yang legal, melimpah, dan dengan harga terjangkau.

(20 kata)

Tulisan akhir                 :

1. Pembuka

Mei, 2016

Setelah memutuskan Song Joong Ki Oppa sebagai bias pertama, saya mau cerita di mana saya bertemu dengannya (ealah, macam ketemu teman akrab saja #halu).

(26 kata)

2. Isi

Pertama kali kecemplung di dunia perdrakoran saya biasa menonton secara streaming di kissasian. Ada pilihan untuk men-download sih tapi saya tidak pernah melakukannya karena HP saya tak sanggup. Ini adalah situs yang direkomendasikan teman baik saya yang memperkenalkan "Descendants of the Sun". Oleh karena saya menonton drakor sambil menyetrika, maka saya hanya membuka situs ini 1-2 kali seminggu.

Setahun pertama saya tidak merasa terganggu dengan iklan-iklan aneh yang bermunculan begitu saya berada di beranda situs. Saya pikir okelah tidak apa-apa, namanya juga situs gratisan, pemasukannya paling hanya dari iklan.

(dan seterusnya ...)

Skeptisme saya akan film Hollywood produksi Netflix tidak berlaku untuk drama Korea. Sejauh ini drakor yang diproduksi/didistribusikan oleh Netflix bagus-bagus. Sebut saja "CLoY", "When Camellia Blooms", "Hotel del Luna", dan "Oh My Venus". Pada Netflix saya juga menemukan drakor bak menemukan harta karun seperti "Misaeng" dan "Signal".

Dengan harga 109 ribu Rupiah per bulan saya bisa menikmati banyak drakor, suami menikmati film-film Hollywood, dan anak-anak menonton serial kesukaan mereka secara berurutan seperti "Tayo" dan "Paw Patrol". Kalau dihitung-hitung, cost per view-nya terjangkau dan ini membuat kami enggan beralih ke layanan streaming lain walau ada banyak promo di luar sana.

(784 kata)

3. Penutup

Kesimpulannya, Netflix is still da best lah untuk sumber drakor populer dan berkualitas dengan legalitas terpercaya. Hati saya juga lebih tenang karena tahu iuran saya memberi hak orang-orang yang sudah bekerja keras membuat drama/film Korea yang saya gandrungi.

Teman-teman saya punya pengalaman berbeda-beda nih bagaimana mereka bisa mengakses drakor kesukaan kita semua. Cerita mereka mungkin bisa menjadi info yang kamu butuhkan.

(61 kata)

Tidak sulit mengembangkan setiap bagian pembuka, isi, dan penutup menjadi banyak kata selama kita memiliki banyak hal bermanfaat yang bisa disampaikan kepada pembaca. Manfaat adalah kata kuncinya, bukan jumlah kata.

2. Menulis adalah sebuah hal personal

Tentang hal ini, saya belajar banyak dari situs berita New York Times. Sudah enam belas tahun saya berlangganan situs ini, mulai dari jaman media sosial dipelopori oleh Friendster (yang sekarang sudah lenyap tak berbekas) sampai sekarang jaman riuh-rendahnya TikTok. 

Cara menyajikan berita, gaya bahasa, dan ketajaman analisa dari artikel berita dan opini yang ia turunkan tidak pernah berubah. Yang berubah tentu saja afiliasi politiknya karena media massa mana yang murni netral dari kepentingan dan ambisi pribadi, bukan?

Dari artikel opini yang NYTimes tayangkan saya belajar untuk merangkul setiap topik tulisan sebagai hal personal, sebagai hal yang saya atau orang yang saya kenal dekat alami sendiri, sebagai hal yang saya minati dan menaruh harapan padanya. Sentuhan personal itu menjadikan tulisan saya unik, menjadikannya berbeda dengan tulisan orang lain, karena kami tentu saja mengalami hal yang berbeda.

Sebagai contoh, ketika kampanye "Black Lives Matter" mulai didengungkan kembali di Amerika Serikat, kolom artikel opini di NYTimes dipenuhi oleh tulisan dari para penulis berkulit selain putih.

Kampanye BLM menantang supremasi kulit putih, ia menantang privilege, hak istimewa yang diterima oleh orang kulit putih di sebuah negara demokrasi yang sebenarnya dibangun oleh para pendatang dari berbagai bangsa, bukan oleh orang-orang yang satu ras.

Penulis yang tepat untuk isu ini tentu saja bukan mereka yang berkulit putih, bukan mereka yang terbiasa diuntungkan oleh sistem sosio-kultural yang ada, tapi mereka yang selama ini tidak bisa bersuara bebas karena warna kulit mereka. Kampanye BLM dan media mainstream seperti NYTimes memberikan corong suara bagi mereka yang selama ini mengalami opresi.

 Apalagi ketika Kamala Harris terpilih sebagai calon wakil presiden mendampingi Joe Biden untuk pemilihan umum pada bulan November mendatang, suara mereka semakin menggelegar dan tidak bisa lagi tidak didengarkan.

Tulisan-tulisan mereka ini sangat menggugah hati karena bersifat personal. Mereka tidak hanya memberikan opini mengapa mereka mendukung (atau tidak mendukung) kampanye BLM, tapi mereka juga menceritakan apa yang melatarbelakangi opini mereka dan apa outcome yang mereka harapkan dari kampanye ini. 

Dari tulisan-tulisan mereka, saya mendapat pencerahan tentang pemikiran, perasaan, dan cita-cita dari orang-orang yang sehari-hari tidak dianggap bukan karena mereka tidak berprestasi atau tidak bisa membuktikan diri. Tapi karena mereka tidak pernah diberikan kesempatan.

Tentu saja tidak semua tulisan itu adalah hal personal yang dialami oleh penulisnya. Ada juga pengalaman orang lain yang diceritakan ulang oleh si penulis, dengan dibumbui pendapat pribadi. 

Sentuhan personal itu tetap tidak hilang. Penulis artikel opini di NYTimes yang saya kagumi mampu merangkul setiap isu dan menunjukkan empati yang sangat mendalam, sehingga pembaca (bahkan pembaca non-native speaker seperti saya) masih bisa merasakan importance dan urgency dari tulisannya.

Artikel berita dan opini di NYTimes membekali saya untuk menjadikan tulisan nonfiksi sebagai sesuatu yang personal, sebagai bukan hanya sebuah topik melainkan sharing pengalaman, pendapat, dan pemikiran pribadi.

 Dan jika sudah menyangkut hal personal, jumlah kata dalam tulisan bukanlah pembatas. Jika ada banyak hal yang bisa dibagikan, tentu ada banyak kata yang bisa dirangkai.

Tantangan terbesar saat menulis nonfiksi adalah memberikan porsi sentuhan personal yang berimbang dengan obyektivitas terhadap data dan fakta yang terjadi di lapangan. Sebuah tantangan yang sayangnya saya belum pernah hadapi sejauh ini.

Sebagai penutup, menulis dua ribu kata dalam satu tulisan bukanlah hal yang sulit. Jumlah kata di dalam artikel berita dan opini di NYTimes berkisar antara dua ribu sampai tiga ribu kata. Tidak sekali pun saya ingin berhenti membaca di tengah jalan karena artikel-artikel tersebut memiliki tingkat keterbacaan yang baik.

Selalu ada sentuhan personal dari penulisnya, dan penulisnya ingin mengajak pembaca menikmati perjalanan sebuah tulisan dalam kerangka pembuka-isi-penutup yang konsisten dari awal sampai akhir.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun