Lama aku merenung sampai akhirnya aku tiba pada sebuah kesimpulan: Jun Pyo adalah pria terkaya di antara mereka semua. Dan sekolah tempat mereka mengenyam pendidikan, atau hanya nebeng status sebagai siswa, adalah sekolah milik keluarga Jun Pyo. Mereka semua harus taat, takluk penuh padanya untuk menjamin kesejahteraan hidup mereka sehari-hari.
Sesederhana itu.
Kedua orang tuaku bersorak gembira ketika aku menerima tawaran untuk bersekolah di sekolah milik Jun Pyo. Orang tuaku berharap di sana aku akan menemukan seorang pria kaya yang akan melepaskan keluargaku dari lilitan kehidupan yang susah dan sarat akan kemiskinan. Seandainya waktu itu aku tidak sangat muda, seandainya waktu itu aku tidak terlalu mencintai keluargaku, tentu aku akan menolak mentah-mentah untuk mewujudkan cita-cita mereka.
Kita hidup pada abad ke berapa dan pada jaman apa? Korea Selatan tidak termasuk negara terbelakang di dunia, namun mengapa masih ada orang tua yang memiliki pola pikir seperti kedua orang tuaku? Mereka ingin menjualku untuk mendapatkan kepastian dan kenyamanan finansial. Memikirkan niat mereka saja sudah membuatku sangat muak.
Kedua orang tuaku tidak lagi menjadi prioritas begitu aku masuk ke sekolah itu. Tujuan hidupku setiap harinya telah berubah, dari hanya belajar seperti layaknya siswa SMA biasa menjadi melepaskan diri dari target perundungan Jun Pyo, kacung-kacungnya, dan seisi sekolah yang berpikir aku layak disiksa karena aku sudah menyinggung F4, demikian Jun Pyo dan kawanannya menyebut diri mereka.
Aku tak tinggal diam; dengan segenap hati aku melawan. Berbeda dengan tiga orang pria pengecut yang menyebut diri mereka sahabat Jun Pyo tapi tidak pernah mengoreksi perilakunya yang salah, aku dengan gamblang menyebutkan satu per satu tindakannya yang tidak manusiawi dan membuatku muak.
Pasti pemberontakanku, pasti penolakanku untuk tunduk padanya, yang membuat Jun Pyo mulai tertarik padaku.
Di saat gadis-gadis lain di sekolah memandangnya dari jauh dan malu-malu, serba salah tingkah, takut membuatnya marah, aku menatapnya dengan berani. Aku tak segan melotot kalau dia berbuat kurang ajar, seperti saat dia menyuruh temanku menjilat es krim yang tak sengaja ia jatuhkan pada sepatu pria itu.
Aku tak sungkan meninggikan suaraku untuk melawannya, untuk membentak pria manja yang tidak pantas hidup berdampingan dengan milyaran orang di muka bumi ini sekaya apa pun dirinya. Aku tak ragu-ragu mendelik, menunjukkan ketidaksetujuan dan ketidaksukaanku padanya. Semua kulakukan di saat gadis-gadis lain mau melakukan apa saja untuk merebut perhatiannya.
Pasti itu, pasti itulah yang membuat Jun Pyo mulai tertarik dan akhirnya dengan lantang mendeklarasikan dirinya sebagai kekasihku. Padahal aku yakin benar aku tidak pernah menunjukkan bahwa aku pun suka padanya.
Itu semua karena aku sangat berbeda dengan gadis-gadis lain yang dia kenal. Itu semua karena aku tidak memandang diriku lebih rendah daripadanya. Aku selalu menunjukkan diriku adalah manusia yang memiliki martabat yang setara dengannya, tak peduli sesedikit apa pun uang yang dimiliki oleh keluargaku.