Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kau Harus Belajar Bersyukur

5 Agustus 2020   11:20 Diperbarui: 5 Agustus 2020   11:27 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anakku, sini dulu Mamak ceritakan sebuah kejadian belasan tahun lalu.

Waktu itu Mamak tinggal di Jepang satu tahun buat program pertukaran mahasiswa. Ada kawan Mamak orang Denmark. Dia tampan kali, matanya biru dan rambutnya pirang. Mirip kali sama vokalis band "Michael Learns to Rock" itu. 

Ah kau pasti ga tahu mereka, ya? Nasib mereka sekarang memang tak jelas; masih manggung atau tidak, Mamak kurang paham. Yang pasti mereka sangat terkenal waktu Mamak beranjak remaja sampai dewasa.

Kawan Mamak ini, namanya Patrik, ditaruh di satu apartemen dengan kawan lain dari Jerman, namanya Michael. Semua mahasiswa asing di kampus kami diberi tempat tinggal di dua asrama di dua lokasi yang dekat kampus. Satu asrama untuk laki-laki dan perempuan, itu yang Mamak tempati. Satu asrama lagi khusus untuk laki-laki, itu yang ditempati si Patrik dan Michael ini.

Karena jumlah kami yang genap, dua belas orang laki-laki dan delapan orang perempuan, paslah kami ditempatkan berpasang-pasangan. Mamak kebagian satu apartemen dengan orang Iran. Cerita soal dia kapan-kapanlah Mamak kasih tahu kau. Panjang dan lebar dan menguras emosi. Sekarang Mamak cerita dulu soal si Patrik ini.

Kau tahu kan, Nak, kalau negara-negara di Eropa, Jepang, dan di bagian lain Asia tidak punya standar kesejahteraan yang sama? Jaman Mamak ke sana, Oppungmu baruuuu saja membeli mesin cuci. Kami baru belajar mengoperasikannya. Tak bisa mesin cuci kami tinggal bekerja seperti yang diiklankan karena listrik PLN dan air PAM sering mati tiba-tiba. Jadi sedikit-sedikit kami harus cek, mesinnya masih jalan tidak, baju di dalamnya masih berputar tidak.

Jadi Mamak agak norak sedikit waktu melihat mesin cuci dan fasilitas lain di apartemen yang Mamak tempati. Mamak lompat-lompat melihat mudahnya hidup di sana. Kompor di apartemen memakai gas yang disalurkan lewat pipa ke rumah-rumah, tidak ada cerita ganti-ganti tabung gas kayak di rumah Oppungmu. Oven ada, microwave ada, AC ada, heater (untuk musim dingin) ada, air panas dan dingin tersedia di kamar mandi. Apalagi yang kurang?

Kata Mamak sih tidak ada, tapi si Patrik ini berpendapat lain.

Okelah Mamak baru tahu kalau baju berwarna bakal lebih awet kalau dicuci dengan air hangat, suhunya bervariasi tergantung warna bajunya. Mamak tidak ingat detailnya, tapi si Patrik ingat betul. Jadi kawan ini, yang sangat necis dan sangat memperhatikan penampilan, mulai mengoceh soal mesin cuci di apartemen yang dia tinggali yang konfigurasinya sama persis dengan apartemen Mamak.

Satu hal yang dia persoalkan, kenapa air panas dan dingin bisa keluar di kamar mandi tapi tidak bisa keluar di mesin cuci yang diletakkan di luarnya? Dia SANGAT PERLU mesin cuci yang bisa mengeluarkan air dingin, hangat, dan panas. Dia SANGAT PERLU mencuci setiap bajunya yang hitam, putih, dan berwarna sesuai petunjuk perawatan di bagian belakang kerah baju. Air dingin dan panas bisa keluar di kamar mandi, seharusnya sekalian bisa keluar di mesin cuci, begitu argumennya.

Mamak bingung mendengar kebingungannya. Kawan ini jurusan teknik mesin, masak tidak dilihatnya kalau di kamar mandi ada dua pipa, satu untuk air dingin dan satu lagi untuk memanaskan air supaya keluar menjadi hangat atau panas? Nah di belakang mesin cuci hanya ada satu pipa dan satu jenis keran untuk air dingin.

As simple as that.

Apakah selalu seperti itu di setiap rumah di Jepang? Ya, enggak kaliii .... Setiap rumah bisa berbeda tergantung kebutuhan si pemilik rumah. Selama di sana saat akhir pekan Mamak sering menginap di rumah orang Jepang, yaitu keluarga angkat yang diberikan untuk menemani Mamak selama satu tahun dan keluarga seorang guru bahasa Jepang yang mengajari Mamak dua kali seminggu.

Anak dan cucu ibu guru Mamak itu ada di New York, jadi sejak kami berkenalan Mamak dianggapnya sebagai anak dan sering diajak menginap. Mereka orang yang sangat kaya dan memiliki perusahaan di Cina. Orang Jepang biasanya tinggal di apartemen atau mansion kalau agak kaya, tapi dia punya rumah sendiri. Rumahnya tiga lantai, lengkap dengan basement, tiga ratus meter dari stasiun kereta terdekat.

Waktu si Patrik mulai meributkan mesin cuci di apartemennya, diam-diam Mamak intip mesin cuci di rumah ibu guru. Sama pun, hanya bisa mengeluarkan air dingin padahal rumahnya mewah. Di rumah keluarga angkat Mamak yang sederhana juga sama seperti itu karena fasilitas apartemennya mirip-mirip dengan apartemen Mamak. Mamak cerita ini ke si Patrik tapi kawan itu cuma mendengus.

Mamak dan kawan-kawan lain pikir sepele kalilah yang dia ributkan. Cuma soal mesin cuci, soal air dingin-hangat-panas, soal bajunya yang mungkin jadi tidak awet, tapi buat dia itu hal maha penting. Pokoknya dia tidak mau mencuci bajunya yang berwarna dengan air dingin, dia takut bajunya rusak. Kalau bajunya rusak, dia harus beli baju baru, yang artinya dia harus keluar uang lagi. Pokoknya dia tidak mau itu terjadi.

Selama berminggu-minggu si Patrik memimpin kampanye meminta mesin cuci yang bisa mengeluarkan air hangat dan panas. Setiap kali kami bertemu, atau dia bertemu teman lainnya, dia akan membahas hal ini, mengajak orang lain untuk ikut protes bersamanya. Kawan-kawan dari negara yang sama dengannya hanya diam saja dan tidak menanggapi keluhan-keluhannya. Ada beberapa kawan yang satu kampus dengannya di Kopenhagen sana, jadi mereka sudah paham wataknya yang suka meributkan hal kecil.

Buat kawan-kawan dari negara Eropa Barat, permintaan si Patrik itu masuk akal, tapi bukan prioritas. Toh ada bathtub dan air panas di kamar mandi. Kalau baju itu begitu berharga, bisalah dia celup-celup dan cuci baju itu di dalam bathtub; tidak usah selalu mengandalkan mesin cuci. Awalnya si Patrik mau mendengarkan saran ini, namun lama kelamaan dia mengomel lagi. Pinggang dan punggungnya sakit karena harus membungkuk-bungkuk, katanya. Eh tahe, umur kawan ini baru dua puluh dua tahun, masak sudah encok?

Buat kawan-kawan dari negara Asia, permintaan si Patrik ini mengada-ada. Cuma soal air lho, kenapa jadi panjang merembet ke mana-mana? Kawan Mamak dari Thailand pun ada yang datang dari kelas ekonomi menengah ke bawah dan baru mengenal mesin cuci. Kami berdua sama-sama terpesona dengan apartemen yang serba lengkap, jadi kami pun tidak terpikirkan untuk mengeluh.

Kami sangat bersyukur dengan apartemen yang kami bisa tinggali dengan harga terjangkau dan dengan fasilitas yang begitu memadai. Setiap apartemen memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan balkon. Tempat tidur, lemari baju, meja belajar, lemari buku, sofa, meja-kursi makan, kitchen set, jemuran pakaian semua disediakan. Walaupun ukuran ruangannya kecil-kecil, keadaan kami di Tokyo lebih baik dari di negara asal.

Karena kami dekat dan sering mengobrol, Mamak juga lupa bagaimana Mamak bisa jadi akrab dengan si Patrik, Mamak sarankan dia untuk membawa keluhannya ke Sensei yang menjadi pembimbing kami di program pertukaran. Orang-orang sudah mulai bosan dengan keluhannya, kayak tidak ada lagi bahan obrolan lain. Kalau mau perubahan nyata, dekatilah pengambil keputusan yang sebenarnya, begitu saran Mamak.

Si Patrik pun menurut. Jadi suatu hari pada bulan Januari pergilah dia ke International Student Office, tempat Sensei pembimbing kami, berkantor. Sambil menunggunya Mamak menghabiskan waktu di laboratorium komputer. Waktu itu masih ada Friendster, jadi Mamak log in dan membaca-baca status kawan-kawan di tanah air. Ada kawan yang minta Mamak kasih testimony untuk membalas testimony dia. Bah, kok pamrih? Mamak tak kerjakan karena Mamak tak pernah minta testimony-nya.

Tak lama kemudian Patrik datang ke tempat Mamak menunggu. Mukanya yang biasanya pucat sekarang berwarna merah padam. Telinganya juga ikut berwarna merah jambu. Rambutnya yang pendek naik-naik seperti tersengat listrik. Mamak kaget, apa pula yang terjadi sampai dia kelihatan semarah itu?

Sambil menghempaskan badan ke kursi di sebelah Mamak, dia bercerita,

"Sensei only said this, 'Patrik, your scholarship is funded by the tax that the Japanese people collect. Mine is included. You should be grateful for all the things you receive here.' She only said that to me and told me to leave. Can you believe that?!"

Beberapa detik berlalu sebelum Mamak tertawa terbahak-bahak. Mamak mengakak keras sekali sampai air mata keluar. Sensei kami ini memang jagoan. Dia seorang wanita paruh baya yang terlihat tenang di permukaan, tapi dia selalu menangkap gosip, isu, concern apa pun yang menyangkut mahasiswa-mahasiswa di program. Dia pasti sudah sedikit-sedikit mendengar rentetan keluhan si Patrik dari mahasiswa lain.

"So, what do you think?" tanyanya pada Mamak.

"I think she's right," jawab Mamak.

Setelah itu Mamak merasa berada di atas angin untuk ikut menceramahi dia. Mamak ceritakanlah bagaimana kondisi ekonomi dan fasilitas di negara Mamak. Mamak ajak dia membandingkan kondisi itu dengan di Jepang dan di negaranya. Kalau kondisi di Denmark Mamak tidak tanya lagi; Mamak sudah khatam karena kawan Mamak ini gemar sekali menceritakan tentang dirinya dan latar belakangnya. Mamak tanya pendapatnya; Mamak minta dia bersyukur, sama seperti yang dibilang Sensei tadi.

Si Patrik yang keras kepala cuma bisa cemberut dan menggerutu.

"But I expect Tokyo and Japan to be better than this," omelnya.

"It's better than Denmark in some things and not better in others. Just try to accept it and curb your dissatisfaction. Sensei had a point about our scholarship and how we should be grateful," timpal Mamak.

Setelah itu si Patrik tidak mengeluh lagi soal air selama beberapa bulan. Mamak lupa apa topik berikutnya yang dia keluhkan karena waktu itu kami semua sibuk melakukan penelitian. Mamak dan kawan-kawan dikirim ke kota-kota yang berbeda. Mamak pergi ke kantor pusat Denso di Nagoya, satu orang kawan Mamak menyusul Mamak ke sana dan sesudahnya kami berjalan-jalan di Gifu. Mamak lupa si Patrik dikirim ke mana.

Moral of the story-nya, Anakku, kalau jadi orang harus belajar bersyukur. Bagaimana pun kondisimu, kau harus bisa merasa cukup dan diberkati. Mungkin kau tidak menyukai apa yang kau terima, dari Tuhan atau dari sesama manusia, tapi sebagai anak beradab dan berbudi pekerti tetaplah kau harus mengucapkan terima kasih.

Jangan kau lupakan nasihat Mamak ini, ya! Kalau sampai kau lupa, Mamak jewer kupingmu, tak peduli kau sudah bersuami/beristri dan beranak. Kalau kau salah, kubilang kau salah, supaya kau kembali ke jalan yang benar.

Kawan Mamak si Patrik itu waktu meninggalkan Tokyo pun sempat bikin malu. Jadi, sebagai orang asing ada pajak yang harus kami bayar setiap bulan ke sejenis kantor kecamatan di sana. Jumlahnya kalau dikumpulkan selama setahun cukup besarlah, lumayan kalau dibelikan oleh-oleh buat Oppungmu.

Tapi Mamak takut kalau tidak bayar. Mamak takut dendanya yang besar; Mamak juga takut dengan stigma orang. Mamak di sana membawa nama bangsa; Mamak tidak ingin orang dari negara kita dicap ini dan itu. Lain Mamak, lain si Patrik. Dia nekat tidak membayar berbulan-bulan dan di imigrasi waktu dia hendak terbang pulang ke Denmark dia dicegat. Dia diharuskan membayar pajak itu beserta dendanya.

Patrik pulang dua minggu sebelum Mamak pulang ke Bandung. Email Mamak dari kampus belum dihapus, jadi Mamak cukup kaget waktu menerima email dari Sensei menceritakan apa yang Patrik alami dan meminta kami menyelesaikan semua kewajiban sebelum lepas landas. Bah, bikin malu saja si Patrik ini. Tidak hanya bikin malu angkatan kami, tapi juga adik kelasnya yang ada di angkatan berikutnya.

Moral of the story yang kedua adalah jangan berhutang. Ke mana pun kau pergi, hutangmu akan mengejarmu. You can run, but you can't hide. Tunaikan kewajibanmu, lunasi hutangmu. Yang ketiga, jaga nama baik negara asalmu. Buat kebanyakan orang Jepang waktu itu hanya ada tiga bangsa di dunia: Jepang, Amerika Serikat, dan lain-lain. Jangan bikin mereka mencibirmu dan negaramu karena kau silap sekejap.

Itulah pelajaran yang Mamak ingin kau serap hari ini. Camkanlah baik-baik di benak dan hatimu ya, Nak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun