Saya meragukan para pembaca pesan tersebut akan simpati/empati dengan maksud si pengirim, sekalipun mereka mungkin memiliki pemikiran yang sama. Apalagi kalau pesannya bertaburan deretan tanda tanya, singkatan bahasa gaul, dan huruf besar yang tidak pada tempatnya. Pembaca pesan pasti kesal dan jadi malas mencoba mengerti atau menanggapi isi pesan tersebut.
Dalam pesan yang di-forward oleh teman saya, tersurat ketidakpuasan karena tugas-tugas yang diberikan kepada siswa dianggap terlalu banyak, terlalu berat, dan membebani orang tua yang mendampingi anak belajar di rumah. Sekali lagi, tugas banyak/berat itu relatif.
Ada orang tua yang menganggap tugas-tugas selama PJJ lebih banyak tapi tidak lebih sulit daripada sebelum pandemi, dan mereka membiarkan anak-anaknya mengerjakan sendiri. Ada lagi orang tua yang merasa terbebani karena harus bekerja dari rumah sambil membantu anak mengerjakan tugas yang dulunya selalu dibantu oleh guru di sekolah. Semua relatif. Yang pasti, guru harus tetap mengajar.
Selama PJJ dadakan dari bulan Maret sampai tahun ajaran lalu berakhir tak terhitung berapa sekolah dari keluarga, teman, dan kenalan saya yang hanya memberikan tugas dan mengharapkan: 1) orang tua mengajari anak (orang tua harus mendadak menjadi murid dan guru sekaligus), atau 2) anak akan mengerti dengan sendirinya.
Di sekolah anak saya bahkan muncul istilah dumping (membuang) dan bukan dropping (memberikan) tugas, saking jengkelnya orang tua menerima email bertubi-tubi berisi tugas untuk anak, tanpa adanya jam mengajar guru yang memadai. Namun sedikit demi sedikit ada perbaikan karena selalu ada pihak yang memberi masukan.
Pada intinya kita memikirkan apa yang terbaik bukan untuk anak kita saja melainkan untuk semua siswa. Jam mengajar guru selama satu minggu pertama PJJ adalah nol, guru-guru hanya dumping tugas melalui email anak.
Dua minggu berikutnya PJJ menjadi satu jam sehari, itu pun masih banyak yang tidak puas. Banyak orang tua keberatan dengan pengalihan tugas mengajar dari guru ke orang tua dan tuntutan penyelesaian semua tugas, padahal orang tua yang tiba-tiba WFH, bekerja dari rumah, juga sedang kelabakan.
Sekolah meminta orang tua untuk mempersiapkan fasilitas PJJ berupa gawai dan internet, masakkan sekolah tidak melakukan bagian mereka mengajar materi sesuai kurikulum? Oleh karena itu jam PJJ kemudian ditambah lagi 1-1.5 jam per hari untuk pelajaran-pelajaran khusus yang tidak diajarkan oleh wali kelas. Pada tahun ajaran baru ini jam belajar meningkat menjadi 4.5 jam per hari, berkurang 2 jam dari jam pelajaran normal di sekolah.
Saya dan suami termasuk orang tua yang aktif urun rembuk dengan pihak sekolah mengenai PJJ ini. Kami tidak ingin pandemi menjadi alasan tidak tercapainya target pengetahuan dan keterampilan pada jenjang pendidikan yang ditempuh oleh kedua anak kami. Ada dua hal yang kami pelajari dari proses komunikasi dengan sekolah anak pada masa ketika semua orang cenderung merasa tertekan, khawatir, dan tidak bahagia.
1. Jangan "tembak" gurunya.
Ini serius. Ketika kita tidak setuju terhadap suatu bagian di dalam PJJ, jangan protes, marah, mengeluh pada wali kelas atau guru mata pelajaran, apalagi lewat grup Whatsapp. Hargailah dan jagalah kehormatan para guru yang kita percayai untuk mendidik anak kita. Yang harus disasar adalah kepala sekolah dan/atau koordinator kurikulum seperti di sekolah anak saya.
Mereka adalah think tank sebenarnya. Mereka adalah orang-orang yang menjabarkan kurikulum menjadi rencana pengajaran, pembelajaran, dan penilaian yang kemudian disampaikan kepada guru-guru untuk dijalankan. Mereka yang menetapkan dan melakukan revisi jika situasi meminta demikian. Kalau ada ketidaksetujuan, jalinlah komunikasi dengan kedua pihak ini untuk mendapatkan solusi yang tepat cara dan tepat sasaran.