Ini yang menjadi sumber pertikaian dan perpecahan kita sebelum awal September tahun itu. Kamu ingin aku mengikutimu pulang ke negaramu. Tak apa aku menghabiskan satu tahun lagi di sekolahku di Indonesia, yang penting setelah itu aku harus langsung menyusulmu. Kamu bilang tempatmu di sana adalah sebuah negeri penuh harapan, ada banyak kesempatan. Kendala keuangan bukan masalah, selalu ada beasiswa dan bantuan bagi yang membutuhkan.
Berkali-kali kutegaskan tentang tugas dan tanggung jawabku kepada keluargaku di rumah. Dengan ayah yang pensiun dini karena sakit dan dua adik lagi yang masih duduk di bangku kuliah dan SMA, aku dituntut untuk membantu ekonomi keluarga. Fokusku waktu itu adalah cepat lulus dan cepat mendapatkan pekerjaan. Aku tak berpikir untuk mencari cara pindah ke negaramu. Pasti makan waktu, makan tenaga, makan biaya; bermigrasi begitu saja bukanlah sebuah kemewahan yang aku mampu miliki.
Diskusi kita tentang ini di atap asrama seringkali terhenti tiba-tiba dan tak pernah berkesimpulan. Kamu selalu mendengus dan beranjak pergi setiap kali mendengar alasanku yang tidak pernah berubah. Aku hanya bisa melapangkan dada, mencoba melupakan kerikil-kerikil tajam yang perlahan-lahan merusak jalan yang menyambungkan hati kita. Yang aku inginkan adalah menghargai waktu yang teramat singkat yang kupunya bersamamu. Itu saja.
Tidak seperti Noh Eul, aku tidak pernah dipaksa untuk berpisah denganmu. Kamu tidak pernah membuat-buat alasan untuk menjauh dariku sepanjang bulan-bulan yang kita habiskan berdua. Kita berada di dalam lingkungan yang sehat. Teman-teman kita banyak, keseharian kita sibuk dengan berbagai kegiatan. Latar belakangmu yang dari Barat dan aku dari Timur menjadi bahan pembelajaran. Setiap hari kita menemukan hal baru dari diri masing-masing.
Di negara asal, kita berdua juga bahagia dengan keluarga dan teman-teman. Perpisahan kita tak terelakkan; semua orang tahu bahwa kita hanya punya waktu dua belas bulan. Sesudah itu perlu tekad yang kuat untuk tetap mempertahankan hubungan, kesabaran untuk menunggu saat berbincang. Perbedaan waktu dua belas jam lama-lama menyakiti dan menyurutkan niat kita. Satu, dua bulan kita masih bersemangat. Kesibukan dan lingkungan yang baru membuat tangan kita lepas dan kita melanjutkan hidup.
Tak seperti Shin Joon Young dan Noh Eul yang memutuskan bersama sampai Shin Joon Young sembuh (atau meninggal?), kita tidak pernah memutuskan seperti itu. Hidup kita sudah terpisah jauh. Ingatanku akan kamu dan ingatanmu akan aku kadang-kadang saja muncul di permukaan, tersimpan di bagian belakang kepala kita. Terkenang, namun tidak ingin diulang. Kita sudah bahagia dengan pilihan kita masing-masing, jauh setelah kita berpisah di perbatasan kota Yokohama.
Pada bulan Maret dan April setiap tahunnya, ketika musim semi tiba, ketika bunga Sakura bermekaran, aku akan selalu ingat pohon Sakura yang sudah mati itu. Dan kamu yang bersandar padanya. Tertawa renyah ketika melihatku berlari menujumu dari seberang jalan. Melambaikan tangan dan memanggilku,
"Rui!"
Tempat kita di bawah pohon Sakura yang sudah mati itu tidak pernah diganggu orang. Mereka yang datang ke kampus kita setiap kali bunga Sakura mekar berlomba-lomba menggelar tikar dan mengeluarkan penganan, menikmatinya sambil dikelilingi bunga-bunga cantik. Tak sekalipun mereka melirik ke pohon kita yang kering kerontang. Dengan tenang kita menikmati kebahagiaan kita sendiri.
* hanami = kebiasaan orang Jepang piknik di bawah pohon Sakura ketika bunganya sudah bermekaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H