Waktu ia mendongak ke langit, di pelupuk matanya daun-daun kering terbang dan berguguran. Bukan bunga Sakura seperti yang kulihat belasan tahun lalu, namun nuansanya sama. Damai, penuh kasih, rasanya ingin menghentikan detik yang terus berjalan.
Berbeda denganmu, Shin Joon Young tidak memiliki tubuh yang sehat. Kamu gemar menjelajah alam dan melintasi gunung. Aku ingat saat kita mendaki Gunung Fuji, lambatnya langkahku membuatmu tidak sabar.
Tanpa mengindahkanku kamu melaju dengan tongkat kayu di tanganmu. Amarah kutahan karena aku tak rela pengalaman di puncak gunung itu dinodai oleh pertengkaran. Keesokan harinya baru kuungkapkan isi hati dan perang mulut tak terhindarkan.
Waktu itu tinggal dua minggu sebelum kita berpisah, aku ingat sekali. Gunung Fuji dibuka pada akhir bulan Juli dan kita pergi pada pertengahan bulan Agustus. Sesudah itu kita dan teman-teman yang lain menjelajahi Aomori dan Hokkaido, namun dari sana kamu memisahkan diri. Lambaian tanganmu dari balik jendela kereta terlihat sangat kikuk. Sudah waktunya, kupikir, hatimu sudah mendingin jauh sebelum aku benar-benar lepas landas.
Dari petualanganmu kamu kembali sebentar ke asrama kita untuk mengucapkan selamat tinggal. Semalam-malaman aku mengepak barang, namun kamu enggan membantu. Lebih baik berjarak dari sekarang, kamu bilang. Aku mengerti dan sedih bukan kepalang.Â
Keesokan pagi kamu menunggu di depan pintu asrama. Tidak sendirian, tapi bersama beberapa orang teman yang akan tinggal sampai dengan akhir bulan September. Guru bahasa Jepang aku sudah siap dengan mobilnya; ia akan mengantarkan aku dan dua orang teman lain ke bandara.
Kita melewati sebuah perpisahan yang canggung. Hatiku meratap tapi air mataku tak keluar. Kamu terus-menerus mengalihkan pandangan, tak berani menatapku. Ketika waktunya tiba untuk memasukkan koper-koper besar itu ke dalam bagasi, kamu membantu. Ketika kami satu persatu mengucapkan selamat tinggal pada kalian yang berdiri murung di depan pintu, kamu mendekapku sedikit lebih lama.
Tak ada kalimat manis penuh cinta yang terucap, yang ada hanya janji sepintas untuk bertukar kabar. Tenggorokanku tercekat. Jemarimu bergetar waktu kamu meremas pundakku. Kucari-cari matamu namun kamu menghindar.Â
Saat itu juga aku tahu, bahwa kita memang sudah retak. Kenangan kutinggalkan di Tokyo, bersama memori duduk berdua denganmu di bawah pohon Sakura yang sudah lama mati. Tidak ada lagi harapan untuk kembali, seperti tidak ada lagi harapan untuk pohon itu dapat berbunga lagi.
Berbeda denganku, Noh Eul (Suzy) memiliki hidup yang tidak tenang dan dikejar-kejar hutang. Satu kesamaan kami hanya rasa tanggung jawab kami sebagai anak tertua di dalam keluarga dan tekad kami untuk memastikan adik-adik kami bisa bersekolah dengan sebaik-baiknya. Biarlah kami yang bekerja keras, adik-adik hanya perlu berkonsentrasi pada pelajaran mereka masing-masing.