Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Antara Kompasiana, Kedaulatan Tuan Rumah, dan Kebebasan Individu

18 Juli 2020   09:57 Diperbarui: 18 Juli 2020   11:01 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir seminggu ini ada drama di Kompasiana. Ujungnya tidak usahlah saya sebut. Melelahkan. Yang pasti artikel demi artikel saling bersambut. Memang demikian jika berada di sebuah komunitas penulis; adu argumen dan bantahan tertuang di dalam tulisan-tulisan nan apik dan jujur.

Saya mengikuti drama ini belakangan setelah dibisiki oleh sepupu saya. Yang jelas drama ini membelah penghuni komunitas menjadi kubu-kubu. Sindiran pun tak elak dilontarkan, baik kepada sesama penulis maupun kepada admin dan editor Kompasiana. Kenapa admin dan editor Kompasiana kena getahnya? Tentu karena ada ketidakpuasan anggota komunitas yang telah tertimbun selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan akhirnya "meledak".

Oleh karena itu saya tak heran ketika login ke akun saya pagi ini dan dihadang oleh tampilan "Syarat dan Ketentuan" yang harus saya klik "Setuju" jika ingin melanjutkan ke laman saya. Saya baca sepintas saja dan saya sempat tergelak waktu membaca sebuah kalimat yang kurang lebih berisi: silakan tidak menggunakan platform ini jika tidak setuju (dengan syarat dan ketentuan yang berlaku).

"

2dbf4b81-80e2-4e45-9677-fd4c4ded0972-5f12720fd541df3fad57c192.png
2dbf4b81-80e2-4e45-9677-fd4c4ded0972-5f12720fd541df3fad57c192.png
"Peringatan" ini sudah pada waktunya. Kekisruhan, perbedaan pendapat, surat protes, penghapusan akun, atau apalah namanya sudah agak mengganggu lalu lintas saya di Kompasiana. Okelah saya tidak secara khusus atau sengaja mencari artikel-artikel yang terkait drama yang saya sebutkan di atas, namun kadang saya tertarik untuk meng-klik, sekedar ingin tahu sudah sejauh mana alur konfliknya.

Dua tahun lalu saya menulis artikel ini di Kompasiana. Waktu itu ada artikel yang berargumen bahwa makanan dan minuman yang dijual di bioskop itu kemahalan. Penulis artikel menyarankan supaya penjualan makanan dan minuman diserahkan juga ke pihak eksternal dan tidak menjadi monopoli pengelola bioskop. Tujuannya adalah supaya harganya menjadi lebih bersaing dan terjangkau.


Dengan susah payah saya merunutkan pemikiran saya bahwa pengelola bioskop berhak mengoperasikan apa pun di area yang dia sewa. Bahwa dia berhak menjual makanan dan minuman dengan standar harga tertentu menurut kalkulasi bisnisnya. Dan bahwa dia tidak pernah memaksa penonton untuk membeli dan mengonsumsi makanan dan minuman yang dijual.

Inti dari tulisan saya adalah mengenai kebebasan individu. Setiap individu bebas memilih mau menonton film dengan platform apa: mau streaming di HP-kah, mau menonton di bioskopkah, atau yang lainnya. Setiap individu juga bebas memilih mau ngemil atau tidak sambil menonton, itu semua pilihan. Tidak ada paksaan karena kita ini orang-orang merdeka yang hidup di negara merdeka.

Namun tak hanya itu, saya juga menulis tentang kedaulatan tuan rumah. Bioskop adalah sebuah "rumah" yang kita kunjungi dan kita adalah "tamu-tamunya". Sebagai tamu, adalah wajar dan lazim jika kita mengikuti aturan tuan rumah, termasuk jika kita harus membayar lebih mahal dari harga di luar bioskop untuk makanan dan minuman yang kita memang ingin konsumsi.

Ini yang ada di benak saya ketika menyaksikan drama yang bergulir di Kompasiana. Saya terus mengingatkan diri sendiri bahwa Kompasiana adalah sebuah rumah yang menerima banyak tamu, sebuah rumah yang punya kedaulatan atas aturan-aturan yang dia buat, dan sebagai tamu yang sopan kita menerima, menghargai, dan mematuhi aturan-aturan tersebut.

Ada penulis yang ngambek lalu hengkang dari Kompasiana. Ada juga yang berjanji tidak akan menulis lagi di platform ini. Ada yang mengeluh dicurangi sehingga tidak mendapatkan K-Rewards. Ada yang bertanya-tanya mengapa tulisannya selalu menjadi "Pilihan" tapi tidak pernah "Artikel Utama". Ada beragam opini dan pengalaman pribadi dengan satu benang merah: ketidakpuasan. Ada yang tidak puas dengan cara kerja di Kompasiana.

Tidakkah mereka yang mengeluh ingat bahwa Kompasiana adalah sebuah rumah yang kita singgahi sebagai tamu? Sebagai rumah, ia memiliki aturan main tersendiri yang ditegakkan oleh admin dan editor. Sebagai rumah, ia memiliki "dapur" keputusan sendiri yang ia tidak wajib bagikan atau jelaskan kepada kita sebagai tamu.

Kita ini hanya pendatang, kok, peminjam (bukan penyewa) kamar-kamar di sebuah rumah besar yang bernama Kompasiana. Kita ini ibaratnya anak kos. Untuk bisa masuk ke dalam rumah, kita membagikan data kita yang paling pribadi dalam bentuk KTP yang harus terverifikasi. Untuk bisa tetap beraktivitas di dalam rumah, kita diwajibkan untuk terus menulis. Mendapat follower atau bahkan teman di sini hanyalah bonus; menulis dan menulis adalah kegiatan utamanya.

Semua aktivitas kita di dalam rumah belum dipungut bayaran karena entitas bisnis Kompasiana masih dibiayai oleh iklan-iklan yang berderet setiap kali kita mengakses sebuah tulisan. Padahal kalau ibaratnya rumah kos, di mana ada kos yang gratis? Makan siang saja tidak ada yang cuma-cuma, kata pepatah.

Disediakan rumah, dibiarkan beraktivitas (menulis) asal bisa dan mau bertanggung jawab atas aktivitasnya (tulisannya), tidak dikenai biaya apa pun, lalu kenapa mereka yang tergabung di Kompasiana masih tidak puas? Oh katanya karena admin dan editornya. Jalan pikiran dan aturan yang dibuat ditenggarai tidak jelas dan merugikan beberapa pihak yang mengharapkan predikat artikel utama dan imbalan berupa K-Rewards.

Hey, pintu di belakang kita terbuka lebar, lho.

Sama halnya dengan tidak ada yang mengundang kita untuk bergabung di Kompasiana, tidak ada juga yang bisa dan berhak memaksa kita untuk tinggal dan bertahan di platform ini. Kompasiana punya kedaulatan atas rumahnya; ia adalah seorang tuan rumah yang tidak wajib menjelaskan filosofi di balik setiap aturan yang ia buat kepada setiap tamunya. Aturannya ya begini. Jika setuju, bagus. Jika tidak setuju, pintu selalu terbuka. Anda bisa pergi kapan saja.

Pendapat saya ini bukan untuk menyepelekan peran para penulis di Kompasiana, ya. Sebagai sebuah blog keroyokan, apalah artinya blog tanpa para penulis yang mengisi kontennya? Yang saya ingin tekankan adalah, tidak ada seorang penulis pun yang wajib tinggal di sebuah platform jika ia menilai tidak ada imbalan yang sepadan dengan waktu dan tenaga yang ia keluarkan.

Platform menulis ada banyak di luar sana yang menawarkan mungkin hal yang sama: publikasi, jejaring, dan materi. Ada platform yang mengurasi sebuah tulisan sejak ia diunggah, ada yang memilah tulisan mana yang pantas menjadi artikel pilihan atau artikel utama, ada juga yang langsung menayangkan tulisan apa pun yang diterima tanpa editing. Kesimpulannya, Kompasiana bukanlah platform satu-satunya.

Sebagai penulis, kita bisa nyaman menulis di rumah kita sendiri, blog yang kita buat dengan nama dan domain kita sendiri. Atau kita bisa juga bertamu di rumah orang lain, meminjam kamarnya, berkenalan dengan penghuni kamar lain, dan berkarya di situ. Platform seperti Kompasiana memang menawarkan eksposur karya kita kepada khalayak yang lebih luas dibandingkan blog pribadi, tapi ia bukan satu-satunya cara untuk dikenal.

Bagi penulis di Kompasiana, adalah sebuah kebanggaan tersendiri jika tulisan menjadi artikel pilihan atau artikel utama. Tiga bulan lalu saya menulis sebuah artikel tentang cara membuat tulisan menjadi artikel utama di Kompasiana (kamu bisa klik di sini). Ringkasan dari tulisan saya itu adalah sebagai berikut:

1. Perhatikan waktu mengunggah artikel.

Pada malam hari lebih ada kesempatan untuk menjadi artikel pilihan.

2. Usahakan masuk ke kategori artikel pilihan.

Artikel utama ditentukan setelah menyaring sekian banyak artikel pilihan yang muncul setiap menit.

3. Jadilah penulis spesialis.

Tulisan seorang penulis spesialis lebih berkesempatan menjadi artikel utama karena dia punya kekhasan genre dan follower setia.

Tentu saja cara-cara tersebut bukan cara yang terbukti pasti manjur karena mereka adalah kesimpulan dari pembelajaran saya selama hampir tiga tahun di Kompasiana. Saya menuliskan poin-poin tersebut berdasarkan pengalaman pribadi saya yang notabene berbeda dengan pengalaman penulis lain di platform ini.

Tentang menjadi artikel utama, saya kutip dari tulisan saya waktu itu:

"Dalam satu hari bisa ada ratusan artikel di dalam satu kategori; saya ini bersaing dengan banyak penulis lain. Artikel saya bisa menjadi artikel pilihan atau artikel utama adalah sepenuhnya wewenang editor yang memiliki pandangan lebih luas dan pertimbangan lebih banyak.

Meskipun buat saya statistik sebagai penulis tidak lagi penting, statistik adalah hal pertama dan terutama untuk Kompasiana sebagai sebuah entitas bisnis. Artikel yang banyak dibaca akan menambah kesempatan eksposur iklan dan pundi-pundi untuk platform tercinta ini.

Terkadang artikel saya menjadi artikel utama beberapa hari setelah ia menjadi artikel pilihan, dan ini tidak mengherankan. Itu artinya pada hari yang sama ada artikel lain dalam kategori yang sama yang menjanjikan lebih banyak view dibanding artikel saya."

Penggalan di atas menyangkut kedaulatan tuan rumah seperti yang saya telah ungkit sebelumnya. Para admin dan editor sebagai penjaga rumah, memiliki pertimbangan dan kedaulatan tersendiri untuk memutuskan tulisan mana yang layak mendapat predikat apa. Pandangan mereka lebih luas, jauh lebih luas dari pandangan kita sebagai penulis yang menilai tulisan kita sendiri.

Kita mungkin membandingkan tulisan kita dengan tulisan orang lain dengan topik sejenis. Admin dan editor Kompasiana tidak hanya membandingkan sekian banyak tulisan, ia juga menganalisa tren di masyarakat, probabilitas view artikel untuk pemasukan dari iklan, originalitas tulisan, dan banyak hal lain yang mungkin luput dari perhatian kita. Tujuan keberadaan mereka cuma satu, yaitu menjaga harmoni di dalam rumah yang ditempati oleh banyak (akun) penulis.

Mungkin tulisan ini terkesan membela Kompasiana secara membabi-buta. Tidak. Saya juga ingin memberi masukan kepada admin yang tidak responsif dalam berkomunikasi.

Satu kali artikel saya diblok karena memuat sebuah kata yang katanya terlarang, padahal saya sedang menjabarkan sejarah ditetapkannya International Women's Day. Lewat kanal percakapan saya menjelaskan panjang lebar maksud saya mencantumkan kata itu. Beberapa hari kemudian artikel saya ditayangkan, tapi saya tidak pernah mendapat penjelasan apa pun dari admin.

Kali lain saya membaca sebuah pesan mengejutkan masuk ke akun saya: dua buah artikel saya dihapus oleh Kompasiana karena sudah ditayangkan beberapa kali dan dikhawatirkan sebagai spamming. Tentu saja saya tidak terima karena saya yakin sekali saya hanya mengunggah kedua artikel tersebut sebanyak satu kali di Kompasiana. Jeda lima bulan antara penayangan dan penghapusan artikel juga menjadi tanda tanya besar buat saya. Baru sempat patroli sekarangkah? Keberatan saya ini juga tidak ditanggapi.

Dari kedua contoh tersebut saya mendapati admin yang enggan menjelaskan alasan tindakan mereka. Soal bagaimana sebuah artikel bisa menjadi artikel pilihan dan artikel utama, itu sudah kedaulatan tuan rumah. Saya menghormati hak prerogatif Kompasiana untuk memutuskan hal itu sepenuhnya. Yang saya sayangkan adalah admin yang kurang courtesy untuk setidaknya membalas pertanyaan yang saya layangkan.

Sebagai kesimpulan, Kompasiana adalah rumah tempat kita bertamu, bukan rumah kita sendiri. Kalau platform ini adalah rumah pribadi kita, sangat alamiah jika kita ingin ikut memutuskan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Oleh karena kita adalah tamu, sepatutnya kita menghargai kedaulatan Kompasiana sebagai tuan dan pemilik rumah, dan kedaulatan admin dan editor yang menjaga platform ini.

Lagipula, pilihan itu selalu ada. Kalau tidak suka sesuatu, bertahanlah atau pergilah. Tidak ada yang memaksamu untuk tinggal.

After all, nobody puts a gun to your head.

Apalagi untuk perkara sederhana seperti tetap menulis di Kompasiana atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun