Saya percaya bahwa manusia tidak berubah, dia hanya beradaptasi. Yang berubah seiring dengan perkembangan waktu adalah kemampuan adaptasinya. Jika seorang anak dibesarkan di lingkungan yang penuh kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi seseorang yang welas asih. Jika seorang anak ditaruh di lingkungan yang berisi orang-orang yang cepat gusar dan pemarah, maka lambat laun ia akan menjadi orang yang cepat gusar dan pemarah juga.
Ini tidak berarti anak itu berubah seratus delapan puluh derajat. Yang berubah adalah jenis adaptasinya terhadap lingkungan eksternal di luar dirinya. Di lingkungan yang berisi orang  pemarah, si anak melihat contoh, melihat teladan, otaknya akan memproses bahwa marah-marah adalah acceptable behavior.
Semua orang melakukannya kok. Tidak ada yang komplain, jadi itu pasti bukan behavior yang salah. Dia ikut-ikutan menjadi pemarah karena dia berusaha berkompromi supaya menjadi sama dengan kelompok tempat dia tergabung. Dia beradaptasi supaya tidak ditolak dan disingkirkan.
Proses yang sama juga berlaku untuk trait lain yang mungkin tidak senegatif trait gusar dan pemarah. Perubahan sikap dari negatif ke positif atau dari positif ke negatif semuanya relatif terhadap nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pada intinya manusia adalah makhluk sosial yang mementingkan persetujuan dari kelompok dan dia akan beradaptasi untuk mendapatkan persetujuan itu.
Pertanyaan tentang apakah manusia berubah masih menjadi perdebatan di ranah medis, psikologi, pedagogi, dan lain sebagainya. Mungkin jawabannya bukan sekedar ya atau tidak, tapi bagaimana bisa. Apa yang menjadi pemicunya, bagaimana prosesnya supaya perubahan itu signifikan, apa yang harus dilakukan supaya perubahan itu menjadi permanen, dan lain sebagainya.
Saya membaca di banyak media bahwa kecelakaan yang menimpa bagian kepala dan otak dapat mengubah karakter dan kepribadian seseorang. Seseorang yang dulunya tidak mudah stres, menjadi gampang sekali merasa tersudut. Seseorang yang dulunya menyukai kecepatan, menjadi takut mengendarai mobil. Tidak hanya trauma fisik, trauma yang bersifat psikis seperti pelecehan dan kekerasan (secara verbal, seksual, dan lain sebagainya) juga bisa menjadi penyebab seseorang berubah.
Fakta di lapangan membuktikan bahwa seseorang juga bisa berubah dengan intervensi tindakan pengobatan dan terapi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa seseorang dikatakan berubah atau tidak karena perbandingan. Sekarang berubah jika dibandingkan dulu, atau berubah setelah suatu kejadian. Ada sebuah tolak ukur di benak orang-orang yang mengenal seseorang yang sudah berubah.
Jika proses adaptasi dan berbagai jenis trauma mengakibatkan seseorang berubah dalam kurun waktu tertentu, maka masuk akalkah ketika ada orang yang masih terikat cinta pertama dengan orang yang sudah berubah itu?
Ini pertanyaan yang mengusik benak saya ketika menonton drakor "Legend of the Blue Sea" pada tahun 2017 silam. Drama yang dibintangi oleh Lee Min Ho dan Jun Ji Hyun ini digawangi oleh penulis naskah terkenal, Park Ji Eun. Ceritanya sendiri terinspirasi dari buku yang ditulis oleh Yu Mong In, seorang penulis terkenal pada masa Dinasti Joseon di Korea, tentang seorang nelayan yang menangkap dan melepaskan seorang putri duyung (sumber: Wikipedia).
Drakor "LotBS" tidak hanya bicara kisah cinta pada satu jaman. Ia mengisahkan cinta yang terpaut beratus-ratus tahun sebelum berdirinya kota Seoul modern di mana Joon Jae (Lee Min Ho) dan Shim Cheong (Jun Ji Hyun) bertemu lagi. Joon Jae dan Shim Cheong yang sekarang adalah reinkarnasi dari dua pribadi yang terpaksa berpisah dahulu kala karena peristiwa naas.