Baru-baru ini seorang teman saya di grup Whatsapp Komunitas Literasi Ibu Profesional (KLIP) yang bernama Mbak Shanty mengutip salah satu aforisme yang ditulis oleh Putu Wijaya di dalam bukunya "Uap" (1999). Bunyinya demikian:
WAKTU
Detik jam terus terdengar menyesaki kamar yang sempit. Yang mengherankanku mengapa ia tak pernah penuh.
Sudah dua puluh tahun lebih sejak saya mendengar istilah aforisme yang diajarkan oleh guru bahasa Indonesia di bangku SMP, dan sekarang saya tergelitik untuk menggali kembali memori dari masa lalu. Yang saya ingat, aforisme di dalam bahasa Indonesia disebut sebagai peribahasa. Mari kita telusuri seluk-beluknya.
Saya lansir dari Wikipedia, istilah aforisme pertama kali dikemukakan oleh Hippocrates, seorang Yunani yang hidup kira-kira pada tahun 460 - 370 SM.
Beliau diberi gelar sebagai Bapak Kedokteran yang menciptakan Hippocratic Oath, sebuah sumpah yang diucapkan oleh seseorang yang akan berprofesi sebagai dokter secara resmi. Sumpah Dokter di Indonesia sendiri adalah bentuk penyempurnaan dari Sumpah Hippocrates, dengan mengacu pada Deklarasi Jenewa (1948).
Aforisme adalah suatu pernyataan yang ringkas, tajam, dan mudah diingat tentang suatu doktrin, prinsip, atau kebenaran yang diterima secara umum. Salah satu aforisme yang terkenal adalah via trita via tuta dalam bahasa Latin, yang berarti jalan yang sudah licin karena ditapaki adalah jalan yang aman.
Peribahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah kalimat yang memakai perbandingan dan perumpamaan untuk menyampaikan nasihat, prinsip hidup, dan aturan tingkah laku. Maksud yang terkandung di dalam peribahasa dimahfumi oleh masyarakat pemakai peribahasa itu sebagai sebuah kebenaran. Menilik kedua definisi ini, tak heran jika aforisme disamakan dengan peribahasa.
Mari kita lihat beberapa contoh peribahasa.
1. Alah bisa karena biasa
Memang betul, seseorang akan memiliki kemampuan/keahlian dalam mengerjakan sesuatu jika ia memiliki kebiasaan mempraktekkan hal tersebut. Bagaimana mungkin seseorang jago memasak kalau ia tidak membiasakan diri memasak setiap hari? Bagaimana mungkin seseorang pandai menulis kalau ia tidak memberanikan diri menuliskan pendapatnya akan setiap isu yang beredar?
2. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Semua orang tahu dan mengamini bahwa hasil yang baik, buah yang manis menanti di setiap akhir kerja keras. Tidak ada orang yang bersantai-santai dan tiba-tiba mendapatkan prestasi atau rejeki. Semua prestasi atau rejeki diawali dengan bekerja, karena seperti kata orang: hasil tidak pernah mengkhianati usaha.
3. Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.
Peribahasa ini ingin menggambarkan orang yang menjelek-jelekkan keluarga atau lingkungan terdekatnya dan tanpa sadar mengungkapkan keburukan dirinya sendiri kepada orang lain. Sebab setiap orang adalah bagian dari sebuah komunitas; mustahil mengungkapkan rahasia dari komunitas itu tanpa membocorkan sedikit hal dari diri sendiri.