Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anda Beriman atau Nekat?

30 Juni 2020   11:54 Diperbarui: 30 Juni 2020   12:05 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: yalemedicine.org

Beriman dan nekat itu betilafea, kata sepupu saya, Kak Dwi, alias beda tipis.


Setiap orang pasti beriman. Tidak harus kepada Tuhan, bisa juga kepada sesuatu yang ia percayai memiliki kekuasaan yang lebih dari dirinya (deity). Tidak harus kepada Tuhan, bisa saja kepada kayu dan batu, kepada pemimpin negara, kepada nenek moyang, atau yang lainnya, tergantung pada apa yang ia mau percayai.

Apa sih definisi beriman? Menurut saya pribadi nih, beriman berarti:

1. Sebuah kesadaran bahwa hidup yang kamu punya sekarang adalah pemberian dengan tujuan tertentu.

Pemberian mana yang tidak ada tujuannya? Kamu diberi sesuatu, diberi hadiah ulang tahun misalnya, minimal untuk menyenangkan hatimu, bukan? Sesederhana apapun sebuah pemberian, ia memiliki tujuan.

2. Sebuah kesadaran bahwa apapun yang terjadi di dalam hidupmu yang singkat ini, ada deity yang pegang kendali dan memastikan kamu akan selalu baik-baik saja.

Kesadaran ini menguatkan kamu baik di kala hari dipenuhi hujan dan badai, maupun di kala hari indah karena bunga mawar dan pelangi. Kesadaran ini memberi kamu pengharapan bahwa hari esok akan lebih baik di kala hari ini menyebalkan dan menyakitkan setengah mati. Karena satu alasan saja, ada Pemilik hidupmu yang tidak pernah lalai menjaga kamu.

Beriman adalah perilaku yang dibangun cukup dengan dua kesadaran tersebut. Beragama adalah perilaku kolektif yang identik, tapi belum tentu sama, dengan beriman. Beriman adalah soal hubungan yang akrab dan personal dengan deity yang seseorang sembah. Beragama adalah soal menyamakan pikiran, sikap, dan perilaku agar sesuai dengan norma dan kode yang sudah disepakati bersama.

Banyak orang bilang bahwa agama/iman tidak ada sangkut pautnya dengan sains/ilmu pengetahuan. Banyak orang bilang bahwa sains membuktikan bahwa agama adalah cerita rekaan yang tidak bisa menjelaskan alam semesta dan semua penghuninya. Penemuan demi penemuan, teknologi demi teknologi yang ditemukan manusia seakan-akan berlomba untuk membuktikan bahwa Tuhan tidak ada di dalam agama. Katanya, Tuhan ada di dalam ilmu pengetahuan.

Mengapa cara pandangnya tidak dibelokkan sedikit?

Semakin manusia mempelajari tentang makhuk hidup, benda mati, dan alam, ia akan semakin menyadari bahwa ada deity di luar sana. Ada kekuatan besar yang bagi sebagian orang dipanggil sebagai "Tuhan", dan bagi sebagian yang lain dipanggil sebagai "kebetulan".

Kalau benar "kebetulan", kenapa bisa begitu teratur dan terencana?

Jika benar semuanya dimulai dari black hole, siapa yang menciptakan black hole itu? Jika benar sebuah planet tercipta dari debu, gas, dan gravitasi (seperti kata Storybots di Netflix), kenapa bisa debu-gas-gravitasi dengan komposisi X menciptakan planet Bumi dan partikel-partikel yang sama dengan komposisi Y menciptakan planet Mars, misalnya?

Siapa yang mengatur semuanya sedemikian rupa?

Siapa yang menciptakan rantai makanan dari semula, sehingga setiap tanaman yang menjadi produsen akan selalu memiliki konsumen berupa herbivora dan karnivora di atasnya? Siapa yang menciptakan garam dan menggarami laut, sehingga kematian makhluk hidup yang ada di dalam laut tidak menyebabkannya berbau busuk ?

Semakin manusia mencari tahu siapa dirinya dan siapa lingkungan di sekitarnya, dia akan semakin terkesima akan deity yang mengatur alam semesta dan segala isinya dengan begitu sempurna, tanpa campur tangan dan intervensi manusia. Manusia boleh saja tidak mau mengakui deity yang bernama Tuhan itu, namun penyangkalannya tidak menyebabkan Tuhan terbukti tidak ada.

Tahun 2020 diawali dengan sebuah epidemi yang kemudian berubah menjadi pandemi dalam waktu sekejap. Kehidupan seluruh penduduk dunia diporakporandakan oleh sebuah makhluk (tidak hidup) berukuran mikroskopik yang awalnya berpindah dari binatang ke manusia akibat kegiatan makan-makan.

Ini bukan pandemi pertama yang terjadi di dunia; manusia (seharusnya) sudah lebih siap. Berbagai propaganda dan protokol kesehatan digulirkan untuk mencegah penularan dari pengidap virus ke lebih banyak orang. Semuanya bersifat trial and error. Semua rekomendasi adalah hasil penelitian yang sambil jalan, belum ada satu orang ilmuwan pun yang berhasil menemukan bentuk akhir dari virus yang terus bermutasi ini, apalagi menemukan vaksin dan obat untuk menyembuhkannya.

Langkah awal pendeteksian orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 adalah dengan mengukur suhu tubuh dan mengecek riwayat perjalanannya. Masalah baru muncul ketika ada Orang Tanpa Gejala (OTG) yang setelah dites ternyata positif terinfeksi virus, namun tidak menunjukkan gejala klinis yang umum menyertai penderita Covid-19. Semua orang pun panik. Virus ini merenggut nyawa dengan cepat, apalagi nyawa orang-orang yang sudah memiliki penyakit komorbid sebelumnya.

Selama beberapa bulan, berbagai aktivitas manusia di berbagai negara dihentikan. Ini akibat pemikiran bahwa virus menular paling cepat lewat mobilitas dan kedekatan fisik antar manusia. Kita membatasi diri, akhir-akhir ini tidak ada yang tahu wajah kita seutuhnya tanpa masker. 

Kita menjaga jarak, kita menghindari sentuhan, kita takut tertular atau menulari. Semua orang paranoid; semua orang berdoa pandemi ini segera berlalu dan mimpi buruk penduduk dunia cepat berakhir.

Saya teringat kata-kata orang bijak pada jaman Romawi yang mengatakan "ora et labora", berdoa sambil bekerja. Doa supaya pandemi segera berlalu harus disertai dengan manusia yang melakukan sesuatu. 

Iman yang kita miliki, kalau kita percaya deity yang disebut Tuhan, bukanlah iman tanpa perbuatan. Iman yang membuat kita selalu memercayai Tuhan dalam suka dan duka, bukanlah iman yang membuat kita melupakan ikhtiar, melupakan usaha kita untuk selalu menjaga diri.

Orang bijak lain mengatakan "do your best and let God do the rest". Lakukan yang terbaik dan percayakan pada Tuhan untuk menyelesaikan apa yang ada di luar kekuasaanmu. 

Bagaimana bisa melihat Tuhan bekerja, jika kita sendiri tidak melakukan sesuatu? Bagaimana berharap Tuhan menjaga kita dari virus, jika kita mengobrol tanpa mengenakan masker, dengan ludah muncrat ke mana-mana, tanpa tahu pasti apakah ada OTG atau ODP (Orang Dalam Pemantauan) di antara kita?

Baiklah, memang benar ekonomi dunia sudah berada pada titik terendah. Penghentian mobilitas dan pengadaan jarak membuat banyak mata pencaharian hilang. 

Semakin banyak orang yang meninggal akibat Covid-19, semakin banyak pula orang yang memilih meninggal akibat virus daripada akibat kelaparan. Setidaknya kalau meninggal akibat virus, ada pemerintah yang mengurus jenasahnya, begitu percakapan yang saya pernah tak sengaja dengar. Miris sekali.

Ini buah simalakama bagi pemimpin dunia dan tenaga kesehatan. Menggerakkan kembali bumi ini berarti memperluas penyebaran virus. Menghentikan aktivitas manusia, entah sampai kapan, berarti menyimpan bom waktu bernama gejolak ekonomi, sosial, keamanan yang tidak akan bisa diredam dalam waktu satu, dua, atau tiga tahun.

Akhirnya satu per satu para pemimpin mengambil keputusan, mengijinkan kembali mobilitas manusia tapi dengan berbagai syarat dan pembatasan. Jangan kira new normal berarti kembali ke kehidupan sebelum pandemi. Tidak, new normal berarti bersiap menjalani kehidupan dengan cara yang sama sekali baru dan akan diwariskan ke generasi-generasi selanjutnya.

Flu Spanyol menghilang sendiri setelah mewabah selama empat tahun. Obat untuk penyakit Sifilis ditemukan setelah manusia menderitanya selama lima ratus tahun. Siapa yang tahu berapa lama Corona akan berdiam di antara kita?

Yang pertama dan utama perlu digerakkan kembali adalah ekonomi. Manusia diijinkan keluar dari rumah. Bekerja dan beribadah di luar rumah diijinkan kembali dengan berbagai syarat. Pembukaan sekolah adalah prioritas terakhir karena menyangkut anak-anak, kelompok usia rentan tertular dan menjadi penderita atau OTG. 

Zona dengan berbagai warna dibuat dan disematkan ke setiap wilayah, untuk menentukan tingkat keamanan jika manusia mulai berkerumun kembali. Semuanya berdasarkan penelitian dan data, melibatkan ilmu pasti dan bukan tebak-tebakan.

Tempat usaha dan tempat perbelanjaan mulai dibuka kembali karena masyarakat masih memerlukan barang dan jasa. Pegawai dan karyawan tempat usaha juga perlu digaji dan ini mungkin hanya jika ada pembelanjaan dan pemasukan. 

Orang kembali bekerja di luar karena kewajiban dan mereka bekerja dengan berbagai protokol kesehatan: selalu memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak dengan orang lain, dan lain sebagainya.

Ada orang beriman yang mengabaikan semua protokol itu atas nama imannya. Dia dengan lantang berkata, "Tuhan pasti menjaga saya," atau "Kalau sudah takdir, saya pasti kena walaupun saya sudah berusaha menghindarinya." Dengan pola pikir seperti itu mereka melewati garis tipis antara beriman dan nekat. Bukan hanya mengabaikan semua himbauan pemerintah, ia pun keluar rumah dan melakukan aktivitas yang tidak perlu.

Himbauan untuk "di rumah aja" bukan soal keselamatan dan kesehatan personal, ini soal kebaikan untuk banyak orang (komunal). Dengan adanya ODP yang sering tidak mengaku karena takut mendapat stigma dan OTG yang tidak terdeteksi, beraktivitas tidak perlu di luar rumah akan meningkatkan resiko diri kita tertular atau menjadi medium penularan virus tanpa kita sadari.

Perlu diingat bahwa virus ini berukuran mikroskopik dan tidak kasat mata. Ia berada di udara dalam bentuk aerosol, ia menempel di permukaan benda-benda dan bertahan hidup selama berjam-jam atau berhari-hari, tergantung jenis bendanya. 

Ia dibawa oleh cairan tubuh penderita yang tak sengaja kontak dengan tubuh kita. Walaupun kita sudah menjalankan berbagai protokol kesehatan, apa yang bisa menjamin kita pulang ke rumah tanpa membawa serta virus?

Para pekerja pergi keluar rumah dengan segala resiko, dengan segala kecemasan, dan doa kencang-kencang supaya tidak tertular di luar dan akhirnya menulari anggota keluarga di rumah. 

Tujuan mereka mulia; merekalah yang patut kita doakan, apalagi kalau mereka bagian dari keluarga kita. Di sisi lain, banyak orang yang sudah lupa (atau melupakan) bahwa kita masih berada di tengah pandemi, dan seenaknya berselancar dari mal ke mal, dari kafe ke kafe, dari arisan ke arisan.

Mereka ini duduk berdempetan, berbicara tanpa mengenakan masker, ber-selfie dengan wajah saling menempel, selama bermenit-menit dan berjam-jam. 

Mereka dengan riang gembira mem-posting aktivitas sosial selama pandemi di media sosial, dengan berani "beriman" dan menantang virus. Buat apa? Apa motivasi utamanya? Apa kabar usaha menjaga diri dan keluarga di rumah?

Gara-gara ketemu teman satu jam, sia-sia menahan diri di rumah saja selama berbulan-bulan. Apakah ketawa-ketiwi sesaat itu sepadan dengan resiko kesehatan mereka pribadi dan kesehatan orang yang kontak erat dengan mereka? 

Saya sendiri menolak semua undangan kumpul-kumpul dalam dua minggu terakhir, apalagi kalau dari orang yang saya tahu sudah kelayapan jauh sebelum PSBB dilonggarkan.

Beriman dan nekat itu memang betilafea; kelihatannya sama-sama berani menantang bahaya dan maju terus pantang mundur.

Salah, yang namanya beriman tahu pentingnya ikhtiar. Manusia yang beriman dengan benar akan mengakui kedaulatan Tuhan dan mengupayakan yang terbaik dari dirinya sendiri. Manusia yang beriman dengan benar pasti memikirkan imbas perbuatannya terhadap orang lain. Sebab beriman dengan benar bukan semata-mata tentang hubungan vertikal dengan deity yang kita sebut Tuhan, tapi juga tentang hubungan horizontal dengan manusia lain ciptaan-Nya.

Manusia yang nekat tidak memiliki pertimbangan. Ia melakukan semua atas azas apa yang bermanfaat bagi dirinya sendiri. Manusia yang nekat tidak memikirkan kepentingan orang lain. Parahnya, banyak manusia yang nekat berani mengklaim dirinya beriman. Apakah orang yang menantang mau "menghisap" virus Corona untuk membuktikan bahwa pandemi ini hanyalah konspirasi termasuk pada orang beriman atau orang nekat? Entahlah.

Kesimpulannya, new normal berarti ada kebiasaan baru yang mesti kita integrasikan dengan kehidupan kita sehari-hari. Ada kekagetan, ada pengorbanan, dan pastinya ada ketidakrelaan. Semua kita lakukan demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Sejujurnya saya pesimis kapan rantai itu akan putus kalau melihat banyak manusia egois yang sudah tidak sabar untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain. Saya tidak bicara tentang di Indonesia saja, namun di berbagai negara yang menyandang mulai dari predikat "maju", "berkembang", sampai "tidak berkembang". Jumlah orang yang terjangkiti dan meninggal sepertinya belum cukup untuk membuat orang-orang lebih eling. Sayang sekali.

Berimanlah. Dan jangan nekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun