Dear Mas Menteri,
Kita sudah sampai pada bagian terakhir dari rangkaian surat terbuka saya untuk Mas. Bagian terakhir ini akan singkat saja, tapi merupakan jeritan hati terdalam dari para orangtua yang mendadak jadi murid dan guru tanpa pendidikan dan pelatihan gara-gara pandemi Covid-19.
Dear Mas Menteri,
Saya tidak pernah keberatan mengajar anak, wong yang diajar anak saya sendiri bukan anak orang lain. Akan tetapi, situasi ini menyadarkan saya akan minimnya pengetahuan dan keterampilan saya soal mengajar materi pelajaran di sekolah.
Saya sebut secara spesifik ya: untuk mengajar materi pelajaran di sekolah. Saya bisa mengajari anak keterampilan hidup sederhana seperti mandi sendiri, makan sendiri, cuci piring sendiri, dan sebagainya. Tidak sulit, hanya butuh kesabaran dan disiplin dalam jangka waktu yang lama.
Lalu apa bedanya dengan mengajari anak materi pelajaran di sekolah? Mungkin itu pertanyaan Mas.
Beda sekali, Mas. Yang pertama, saya harus mengulik-ulik lagi materi yang saya pelajari dua sampai tiga dekade lalu karena anak-anak saya masih duduk di bangku SD. Teman-teman saya yang anaknya duduk di bangku SMP dan SMA malah harus mengulik lebih jauh lagi.
Saya bisa mengatasi kesulitan ini untuk mata pelajaran dasar seperti matematika dan bahasa. Begitu diperhadapkan dengan sains dan mata pelajaran lainnya, saya mengibarkan bendera putih.
Anak saya yang sulung belajar sistem pernafasan, pencernaan, dan peredaran darah dalam satu bulan. Satu bulan, Mas, semua materi dikebut seperti orang kesetanan.Â
Saya ingin menghindarkan anak-anak dari hanya menghafal mati pelajaran biologi seperti ini. Itu yang saya lakukan dulu dan akibatnya saya hanya ingat nama Latin untuk padi adalah Oryza sativa dan untuk harimau Felis tigris.
Enam tahun belajar biologi di SMP dan SMA dan saya hanya ingat itu. Menyedihkan sekali, bukan? Jadi selain materi berlembar-lembar dari gurunya, saya menjelajah internet, mencari buku untuk mencoba menjelaskan "mesin-mesin" apa yang bekerja di dalam tubuh manusia. Saya mencoba menemukan penjelasan yang dekat dengan bahasa mereka sehari-hari, supaya mereka tidak hanya hafal tok.
Nah sekarang kita masuk ke bagian kedua perbedaan antara mengajari anak keterampilan hidup dan materi pelajaran di sekolah.
Saya bukan guru, Mas. Saya tidak pernah mendapat pendidikan dan pelatihan untuk menjadi guru. Apa yang saya lakukan terkait pengajaran adalah murni insting dan pengalaman karena memiliki anak, tapi saya bukan guru yang terdidik dan terlatih. Saya tidak tahu apa cara mengajar saya benar, apa anak bisa benar-benar menangkap materi, apa cara assessment saya tepat.
Setiap kali saya mendapat materi yang "sepertinya" menunjang pembelajaran di sekolah, saya terus meragukan diri saya sendiri. Materi ini tepat tidak ya? Apakah memang sesuai dengan teori dan kaidah yang berlaku? Cara mengajarkannya bagaimana ya?
Terkadang saya berkonsultasi perihal ini dengan guru anak saya, namun saya sering menemui jalan buntu kalau gurunya baru lulus sekolah dan kurang berpengalaman. Itu sebabnya saya menulis surat terbuka untuk Mas mengenai guru dua hari lalu.
Dari dua kesulitan yang saya hadapi karena mendadak menjadi guru, saya ingin memberikan saran ilmu apa yang kementerian Mas bisa supply untuk membantu para orangtua.
1. Psikologi anak dan remaja
Ini sepertinya ilmu pertama dan utama yang saya butuhkan bahkan sebelum saya memiliki anak. Beberapa waktu lalu sempat ada wacana keharusan calon pengantin mengikuti kelas bimbingan pra-nikah sebelum melangkah ke pelaminan. Bagaimana kelanjutan wacana ini, saya tidak tahu. Namun saya berharap materi psikologi anak dan remaja tercakup di dalamnya.
Orangtua semestinya belajar cara menghadapi anak jauh sebelum anak hadir di dalam keluarga. Dengan begitu orangtua terhindarkan dari kekeliruan paling dasar: anak berulah, saat sedang belajar atau tidak, pasti karena ia sedang memberontak pada orangtua.
Padahal belum tentu. Anak-anak usia TK yang otaknya masih berkembang dan belum memiliki kemampuan verbal yang memadai, bisa rewel dan bertingkah tanpa juntrungan saat belajar bukan karena mereka sedang menguji kesabaran orangtua. Itu semata-mata karena mereka tidak tahu cara mengungkapkan pikiran dan emosi mereka dengan tepat.
Kalau orangtua memiliki bekal ilmu psikologi anak dan remaja, orangtua akan terbantu untuk melihat situasi anak ogah-ogahan belajar sebagai situasi anak yang sedang minta tolong karena ia menghadapi kesulitan. Orangtua akan menggeser fokus dari dirinya yang wajib mengajar kepada anak yang memang belum paham. Dengan ilmu psikologi, orangtua dan anak akan terhindar dari stres karena anak tidak kunjung mengerti materi yang diajarkan.
Mengenai ini saya ada pengalaman unik.
Tahun lalu saya mengajari anak saya cara mengerti soal cerita dalam matematika. Entah saya yang tidak sensitif dengan kondisi anak yang sedang tidak fokus, atau saya yang sedang lelah, atau apa, pokoknya kalimat berikut meluncur dari mulut saya tanpa saya sadari.
"Kok gini aja ga ngerti-ngerti sih?"
Kontan anak saya menjawab, "Ya belum ngerti karena belum diajarin."
Waw, saya pikir. Saya ini kenapa? Anak saya benar sekali, tentu saja dia belum mengerti karena dia belum belajar. Tentu saja itu tugas saya untuk mengajarinya dan tugas saya memahami otaknya yang belum berkembang sempurna seperti orang dewasa.
Pemahaman dan daya tangkapnya belum sama dengan saya. Sementara itu, saya memaksakan sebuah ilmu yang sudah membeku di otak saya selama bertahun-tahun untuk secara cepat diterima dan dipahami oleh seorang anak berusia 9 tahun yang baru beberapa tahun mempelajari ilmu itu. Jelas saya yang keliru!
Seandainya saya tahu sedikit banyak tentang psikologi anak, mungkin saya tidak akan salah berbicara seperti itu.
2. Pedagogi
Pedagogi, kata Wikipedia, adalah ilmu atau seni untuk menjadi seorang guru yang mencakup strategi dan gaya dalam mengajar. Orangtua semestinya juga belajar pedagogi supaya mereka bisa menerapkan strategi dan gaya mengajar yang tepat untuk anak mereka.
Mas tahu kan bahwa ada banyak tipe pembelajar: visual, audio, kinestetik, dan lain sebagainya. Tidak banyak orangtua yang tahu hal ini, apalagi mencari tahu lebih banyak untuk membantu mereka dalam mengajar anaknya. Kesibukan orangtua dalam bekerja dan terlalu berlimpahnya informasi di internet membuat beberapa orangtua yang saya kenal jadi enggan belajar.
Padahal, jika pedagogi menjadi ilmu yang wajib bagi orangtua, tidak akan ada yang kewalahan walau aktivitas belajar di sekolah dipindahkan ke rumah. Orangtua malah bisa mengecek pemahaman anak terhadap suatu materi sesuai dengan gaya belajarnya; sebuah hal yang mungkin luput dari perhatian seorang guru yang harus mengajar dan memperhatikan banyak anak di sekolah.
Selain itu, Mas, dengan ilmu pedagogi orangtua juga bisa tahu cara menilai kemajuan anak dalam penguasaan sebuah materi. Apakah dengan tes pilihan berganda, menulis esai, atau membuat eksperimen, ilmu pedagogi bisa memberikan tambahan wawasan pada orang tua dalam memilih kriteria assessment.
Dear Mas Menteri,
Saya sangat berharap Mas bisa mengarahkan kementerian Mas untuk membantu orangtua dalam hal ini. Kalau perlu berkoordinasilah dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendidik dan melatih orangtua dengan ilmu psikologi dan pedagogi. Kesejahteraan anak (siswa) dan orangtua semasa pandemi tentu penting bagi kesejahteraan masyarakat, bukan?
Oya, Mas, semisalnya kementerian Mas akan mulai menyediakan pendidikan dan pelatihan tersebut, tolong jangan pakai lama. Tidak usah ribet dengan wacana. Tidak usah bingung budgetnya dari mana. Ada banyak orang pintar dan ahli di bidangnya di bawah kepemimpinan Mas, mengapa tidak minta mereka saja membagi ilmunya melalui kelas online?
Tentukan siapa yang akan jadi pemateri, tentukan apa yang akan diajarkan, tentukan waktu kelas, dan sebar undangannya di media sosial.Â
Saya jamin banyak orangtua yang akan tertarik mengikuti dan belajar bersama. Jika diperlukan, saya bersedia jadi humasnya, Mas. Tujuan saya cuma satu, supaya lebih banyak orangtua yang bisa mengajari anak di rumah di tengah ketidakpastian kapan sekolah akan dibuka kembali.
Dear Mas Menteri,
Demikian uneg-uneg saya sebagai orangtua tentang guru, kurikulum, dan apa kami butuhkan. Saya sangat berharap Mas dan jajaran Mas melakukan banyak terobosan selama pandemi ini. Oya, sebagai bocoran, mungkin saya akan menulis surat lagi tentang sekolah yang tidak tepa selira dengan kesulitan yang dihadapi orangtua selama SFH. Tunggu ya, Mas.
Terima kasih dan Salam Pendidikan (dari murid dan guru dadakan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H