Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Memaknai Kemarahan Annisa Pohan

9 Mei 2020   17:43 Diperbarui: 10 Mei 2020   05:53 7343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber gambar: tangkapan layar pribadi
sumber gambar: tangkapan layar pribadi
Saya beri satu contoh. Waktu anak sulung saya kelas 2 SD, dia pernah menemukan selembar uang Rp2.000,00 di kelas. Saya memang tidak memberikan uang jajan karena selalu menyiapkan bekal makan siang, jadi dia melihat uang itu sebagai kesempatan untuk jajan makanan yang menarik hatinya.

Anak saya terkadang lupa bahwa dia alergi makanan laut dan semua turunannya. Dengan uang itu dia membeli asinan ikan dan memakannya dengan antusias sambil menunggu dijemput.

Alangkah kagetnya saya waktu menjemputnya di lobi sekolah. Wajahnya bengkak, ingusnya terus mengalir, dia batuk keras dan sulit bernafas. Saat melihat apa yang ia pegang, saya tahu bahwa alerginya kambuh. Saya cepat-cepat menyetir pulang untuk memberinya obat.

Setelah saya dan anak saya tenang, saya menanyakan dari mana dia mendapat asinan ikan itu. Awalnya dia berbohong, saya selalu tahu kalau ia berbohong, dan bilang bahwa temannya yang memberikan. Saya kejar lagi, siapa nama temannya. Dia tidak bisa menjawab.

Firasat saya berkata bahwa anak saya menemukan uang itu dan menginginkannya sehingga tidak melaporkan temuannya ke wali kelas. Akan tetapi, ia terlalu malu untuk mengakui perbuatannya dan hanya bisa diam menangis waktu saya tanya. Dia juga sangat ketakutan karena gara-gara makanan itu dia jadi tidak bisa bernafas.

Keesokan harinya saya bertemu wali kelasnya untuk menanyakan apakah ada teman anak saya yang kehilangan uang di kelas. Ternyata ada, dan anak itu tidak mempermasalahkan karena bagi dia jumlahnya tak seberapa.

Saya tahu anak saya tidak mencuri. Waktu dia akhirnya cerita bahwa dia menemukan uang itu tercecer di lantai kelas, saya percaya padanya. Kesalahannya adalah mengambil apa yang bukan miliknya dan kemudian berbohong tentang itu. Sebuah kebohongan yang langsung diganjar dengan penyakit.

Kalau saya membela anak saya, saya akan menyalahkan teman anak saya yang teledor sampai-sampai kehilangan uang. Namun saya tidak ada niat membela anak saya, saya hanya ingin melindunginya dari membuat kesalahan yang sama di masa depan.

Apa yang saya lakukan? Saya mengajak anak saya menemui wali kelas dan temannya untuk mengganti uang yang dia pakai dan meminta maaf. Sambil berlinang air mata, anak saya meminta maaf. Wajahnya ditekuk karena menahan malu. Dalam hati saya pun menangis, dalam hati saya pun merasa sangat malu akan tindakan anak saya.

Karena dia anak saya, insting saya adalah melindunginya terjerumus ke dalam kebiasaan berbohong, mencari-cari alasan, mencuri, dan mungkin hal yang lebih fatal lagi dari itu. Caranya adalah dengan berani mengakui kesalahan, walau hati dan harga diri babak-belur.

Jadi, saya bisa sangat mengerti insting Annisa Pohan yang langsung melindungi anaknya. Ini anak-anak yang tidak sepantasnya dibawa ke dalam perdebatan, perseteruan, dan perbedaan paham orang dewasa. Ini anak-anak yang dibawa ke dunia maya oleh ayah (atau ibunya) hanya karena mereka ingin membuat catatan tumbuh kembangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun