Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Masyarakat Kita dan Pola Pikir yang Bekerja Berdasarkan Rumor

26 Maret 2020   00:21 Diperbarui: 27 Maret 2020   18:05 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari saya bertemu mantan tetangga yang pindah rumah karena rumahnya yang sekarang sedang direnovasi. Sambil menjaga jarak sekitar dua meter, kami mengobrol dengan suara agak keras di bawah hangatnya sinar matahari. 

Mendung dan hujan sudah mengepung kota kecil kami seminggu ini, jadi cuaca cerah tadi pagi dimanfaatkan banyak orang untuk berjemur dan berolahraga.

Awalnya kami mengobrol tentang anak-anak yang bosan di rumah setelah semua tugas dari sekolah selesai dikerjakan dan tidak ada les-les karena ikut diliburkan berdasarkan himbauan pemerintah setempat.

Setelah itu kami bertukar-kabar tentang forwarded messages yang kami terima di grup-grup WA yang berkaitan dengan Covid-19.

Tentu saja kami mengeluh kalau berita yang kami baca itu (seringnya) tidak benar. Sungguh bertanggung jawab manusia yang gampang forward dan kalau ternyata hoaks cuma bisa bilang, "Dari grup sebelah kok."

Sebagai karyawan yang tidak bisa WFH, ada kekhawatiran di hati tetangga saya mengenai keselamatan dan kesehatan diri dan keluarganya. Saya juga mempunyai kekhawatiran yang sama, karena suami saya bekerja di bagian produksi dan sampai sekarang masih wajib masuk kantor.

Lama-kelamaan topik obrolan kami berubah menjadi tentang perubahan permintaan barang dari pasar karena situasi pandemi sekarang. Topik ini sangat menarik buat saya yang pernah bekerja di supply chain.

Tetangga saya bekerja di sebuah perusahan yang memproduksi susu dan produk turunannya, seperti keju dan es krim. Tak lama setelah para penderita pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan, permintaan untuk produk susu dari pabriknya melonjak drastis, sampai 200% secara nasional.

Saya tak heran. Sewaktu pandemi ini baru dikabarkan merebak di Wuhan, Cina, setiap kali ke gerai pasar modern saya melihat iklan yang gembar-gembor bahwa susu bisa mencegah virus Corona (sebuah pernyataan yang tidak dipertanyakan kebenarannya tapi diamini oleh pemakai produknya sebagai sugesti untuk memperkuat daya tahan tubuh).

SPG yang menawarkan sampel susu juga sangat agresif mendekati calon konsumen.

Permintaan akan produk susu meningkat, lalu bagaimana dengan produk lainnya? Permintaan akan produk keju stagnan, namun permintaan akan produk es krim turun drastis sampai tinggal 30% dari penjualan awal Februari.

Mendengar hal ini saya spontan tertawa dan berkata, "Pasti gara-gara rumor kalau minum air hangat bisa mematikan virus. Orang jadi tidak mau lagi makan es krim."

"Betul sekali!" kata tetangga saya.

"Padahal dulu kami menjual es krim sebagai produk substitusi dari susu. Kalau konsumen tidak bisa membeli susu dengan harga sekian untuk kemasan besar, dia tetap bisa mendapatkan protein yang dikandung susu dari es krim. Mindset seperti ini sangat ampuh untuk konsumen dengan medium-low buying power."

Saya manggut-manggut. "Jadi bagaimana dengan kelebihan karyawan di lini produksi es krim?"

"Kami alihkan ke lini produksi susu. Syukurlah cara produksinya masih ada kemiripan jadi tidak butuh training dari nol. Oya, permintaan untuk kemasan es krim dari pabrik kami ke pabrik tempat suamimu bekerja juga terpengaruh."

Saya mengiyakan dan saya mulai bercerita bagaimana pandemi Covid-19 dan social distancing yang kita terapkan sekarang mengubah konsumsi dari produk yang kemasannya dibuat oleh kantor suami saya.

Mulai akhir Februari direksi di kantornya sudah memperkirakan lonjakan permintaan akan produk pembersih. Akibatnya permintaan akan kemasan botol untuk cairan pembersih kamar mandi, pouch untuk deterjen, dan pouch untuk sabun cuci tangan melonjak drastis.

Namun tak hanya itu, setelah sekolah-sekolah di berbagai wilayah di Indonesia resmi diliburkan sampai waktu tak terbatas, ada tiga produk yang penjualannya juga meningkat sangat tajam, yaitu:

1. minyak goreng
2. bumbu masak instan
3. cemilan

Waktu suami saya pertama kali cerita tentang hal ini, saya tergelak. Sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak yang harus belajar di rumah padahal sehari-harinya bersekolah, saya sudah bisa membayangkan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi selain kebutuhan untuk belajar.

Makan, makan, dan makan.

Oleh karena takut tertular virus (atau bakteri), orang-orang jadi enggan makan di luar. Mereka akan memilih masak sendiri dan karena itu butuh minyak goreng karena makanan khas Indonesia banyak yang diproses dengan cara digoreng.

Oleh karena enggan makan di luar, tentu saja akan ada banyak orang yang terpaksa belajar masak dan membutuhkan bumbu instan, daripada mulai belajar dari nol di saat perut sudah keroncongan. 

Bumbu instan sangat laku, mulai dari penyedap rasa, tepung bumbu, bumbu marinasi daging/ayam/ikan, sampai bumbu yang tinggal ditambahkan ke masakan matang.

Diberkatilah mereka yang menciptakan bumbu instan. Saya adalah pelanggan setianya sewaktu pertama kali belajar masak setelah menikah.

Selain itu, pencari nafkah yang WFH dan anak-anak yang homelearning sangat rentan terhadap godaan cemilan.

Di keluarga saya sendiri godaan ini bisa terdeteksi minimal dua kali sehari, sebelum makan siang dan pada sore hari. Kebutuhan mengunyah dikali jumlah anggota keluarga membuat saya wajib menyediakan cemilan supaya tidak bolak-balik memasak di dapur.

Cemilan berupa roti, biskuit, jelly, dan susu dalam kemasan menjadi barang yang rutin disediakan di rumah saya. Saya tahu teman-teman saya juga menyediakan ini pada masa-masa #DiRumahAja sekarang.

Pembelian dari rumah tangga saya digabung pembelian dari ribuan, atau jutaan, rumah tangga lain tentu saja meningkatkan permintaan akan produk dan meningkatkan penjualan kemasan produk tersebut dari kantor suami saya.

Produksi perusahaan tempat tetangga saya bekerja sangat terpengaruh oleh rumor yang beredar di masyarakat. Kalau nanti ada himbauan bahwa makan yang dingin seperti es krim bisa meningkatkan imunitas tubuh, bukan tidak mungkin pabriknya akan kewalahan memenuhi permintaan pasar.

Rumor dan kesadaran tiba-tiba masyarakat akan higienitas juga mempengaruhi penjualan kemasan dari kantor suami saya. Kalau pandemi ini sudah berlalu, bukan tidak mungkin penjualan kemasan produk pembersih, minyak goreng, bumbu masak instan, dan cemilan kembali normal seperti tren biasanya.

Manusia memang makhluk yang resilien dan mudah beradaptasi. Dalam kondisi bencana non-alam akan ada yang meraup untung lebih dari biasanya karena rumor. Ini sah-sah saja asal produknya memang bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat.

Dan jangan berperilaku seperti para penimbun masker, hand sanitizer, alkohol, dan sarung tangan yang menjual dengan harga tidak masuk akal. Sebelum berpisah kami masih meributkan kenalan kami yang minggu lalu menawarkan 1 kotak masker isi 50 buah seharga 280 ribu Rupiah.

Kemarin malam ia merevisi penawarannya menjadi 320 ribu Rupiah untuk 40 buah masker. Tidak jelas apa kemasannya dia modifikasi sendiri sampai-sampai isinya berkurang 10 buah.

Kebangetan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun