Kita bisa menyesal membeli satu set sofa ruang tamu, karena begitu diantar ke rumah ternyata sofa itu terlihat memakan banyak ruang. Jelas saja, kita melihat dan memilih sofa yang dipajang di showroom yang memiliki langit-langit setinggi 6 meter.
Ada ilusi sofa terlihat mungil atau bahkan cukup untuk ruang tamu kita yang memang tidak terlalu besar. Kita lupa bahwa langit-langit rumah kita hanya setinggi 3 meter, sehingga waktu sofa itu diletakkan ia membuat ruangan terasa sempit dan sesak .
Kita bisa menyesal membeli sepotong gaun. Waktu mencoba gaun itu di department store kita lupa untuk mengambil berbagai posisi duduk dan berdiri untuk menguji apakah gaun terasa dan terlihat nyaman.
Kita juga lupa kalau cermin dan pencahayaan di ruang ganti sudah diatur sedemikian rupa sehingga sosok terbaik kita ditampilkan.
Sewaktu kita mencoba gaun itu di rumah, kita duduk di kursi di bawah sorotan lampu neon. Ternyata oh ternyata gaun itu terasa sempit di bagian perut, dan sorotan lampu neon membuat warnanya berubah, tidak seperti yang kita bayangkan.
Adakah gunanya menyesali barang yang sudah kita beli? Sayangnya, tidak. Selain menguras waktu, pikiran, dan tenaga, yang disebut penyesalan memang tidak memberikan manfaat apapun.
Lain halnya jika kita mempunyai rencana cadangan, misalnya berbelanja di toko yang mengijinkan pengembalian/penukaran barang dalam kurun waktu tertentu jika kita berubah pikiran akan suatu barang. Walaupun demikian, mencari barang pengganti tidaklah mudah karena kita harus mengalokasikan waktu/pikiran/tenaga lagi. Rasanya jadi rugi dua kali.
Bagaimana dengan penyesalan karena membeli suatu barang dengan harga yang (kita ketahui di kemudian hari) ternyata terlalu mahal?
Yang pasti, Saudara-saudara, diskon di masa depan tidak dapat dirapel ke transaksi di masa lalu.
Minggu lalu saya pergi ke sebuah toko furnitur untuk mencari set meja makan. Tanpa disangka saya mendapat satu set yang tampilannya bagus dengan harga 700 ribu Rupiah lebih murah dari toko lain. Saya berpikir panjang (saya tidak mengambil keputusan yang impulsif) dan memutuskan membeli di toko itu.
Saat itu saya dibantu oleh seorang salesman yang sangat informatif dan cekatan. Selain memastikan barang sudah diantar ke rumah saya, dia juga terus mem-follow up jadwal kunjungan teknisi yang akan menangani instalasi.
Siang tadi dia mengirimkan pesan ke saya bahwa harga set meja makan yang saya beli turun lagi sebesar 700 ribu Rupiah. Bayangkan betapa dongkolnya saya.Â
Seandainya saya membeli benda itu hari ini tentu saya sudah menghemat 1,4 juta Rupiah dari anggaran awal. Seandainya saya sabar menunggu, seandainya ini, seandainya itu, dan seterusnya.
Eh tapi ..., saya lupa ya kalau set meja makan itu akan saya pakai hari ini? Hari ini saya kedatangan banyak tamu dan tentu saja saya harus menyiapkan meja makan sebelum hari-H, yang artinya saya tidak bisa menghindari pembelanjaan yang saya lakukan minggu lalu.
Saya juga lupa ya kalau pada momen itu harga sekian untuk kualitas barang demikian masih masuk di akal saya? Pembanding yang saya gunakan adalah harga barang yang sama di tempat lain. Tentu masih masuk akal kalau saya memilih barang dengan spesifikasi sama dan harga lebih murah. Satu-satunya pembeda hanya nama toko yang menjual dan harga, kok.
Iya, saya lupa, dan saya tambah rugi karena memberatkan diri dengan penyesalan yang tidak berguna.
Tidak mungkin saya meminta diskon sekarang untuk transaksi yang sudah lewat. Itu namanya aneh. Tidak mungkin juga saya membeli set itu lagi untuk mengejar diskon. Memangnya saya kelebihan uang?
Jadi pelajaran hidup untuk saya hari ini adalah: dilarang menyesali  barang yang sudah dibeli. Karena tidak ada gunanya dan (dalam kebanyakan kasus) tidak ada tindak lanjutnya.
Tiba-tiba saya teringat kenapa waktu berwisata di Bali saya paling tidak suka berbelanja di Pasar Sukowati dan bersorak-sorai ketika toko souvenir Krisna mulai beroperasi. Saya tidak anti tawar-menawar harga, tapi saya mudah dongkol (dan kesalnya bisa lama) kalau teman saya mendapatkan barang yang sama dengan harga yang lebih murah.
Wah, saya jadi menyesal kenapa tadi tidak menawar lebih rendah lagi. Padahal kelebihan harga yang saya bayarkan adalah rejeki pedagang yang barangnya saya beli. Harga yang kami sepakati masih masuk akal buat saya, saya mampu dan tidak keberatan membayarnya, jadi kenapa saya sewot ketika uang saya menjadi rejeki bagi orang lain?
Kembali ke soal pembelian di toko furnitur tadi. Saya harus mengubah pola pikir saya, bahwa harga yang saya bayar minggu lalu bukanlah harga yang terlalu mahal, tapi harga yang saya pikir masih masuk akal untuk mengompensasi kenyamanan berbelanja di toko yang dingin dan bersih, fasilitas pengantaran dan instalasi barang, dan salesman yang teramat melayani.
Semoga menjadi berkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H